Saturday, 27 August 2016

JINGGA UNTUK MATAHARI

Posted by Unknown at 03:51 0 comments

JINGGA UNTUK MATAHARI


Tari menggigit bibir bagian bawahnya. Sedikit tegang ia duduk di belakang orang yang selama ini sangat dibencinya, yang telah memorakporandakan hidupnya, tapi tanpanya… Tari hampa. Dan Tari tidak akan pernah menyangka, bahwa kali ini, di dekat Matahari Senja bisa terasa begitu menenangkan. Meski ada yang mengganjal hatinya. Omongan Ata tadi…
Apa maksudnya? Apa yang akan dilakukan Ata nanti? Mengapa? Lalu apa hubungannya dengan Tari?
Dengan sekali tatap Tari sudah bisa tahu bahwa Ata sama sekali bukan orang jahat. Sama sekali bukan. Tetapi Tari juga tahu. Sorot mata itu, nada bicara itu… Seperti pertanda bahwa nanti hidupnya tak akan pernah sama lagi. Ya Tuhan… akan ada apa lagi? Apakah belum cukup drama yang terjadi dalam beberapa bulan belakangan ini?
“Pegangannya yang bener, Tar. Kalo nggak, lo bisa jatuh.”
Kata-kata Ari yang lembut namun dengan nada memerintah sontak membuyarkan lamunan Tari.
“Yee, gue juga pegangan, kok!” elak Tari, yang memang memegang bagian belakang motor – yang sebenarnya percuma saja karena di belakang jok tidak ada pegangannya.
“Pertama, gue bukan tukang ojek. Kedua, bagian situ nggak ada pegangannya. Jadi nggak usah malu-malu, peluk gue aja.”
Tari memukul bahu Ari pelan. ”Idiiiih, apaan sih? Nggak usah aneh-aneh, deh!”
“Gue suka cewek hardcore.”
Ari tergelak ketika cubitan Tari melayang di pinggangnya. ”Wah... Ternyata lo genit ya sekarang, udah berani nyubit-nyubit – “
“Kak Ari!” jerit Tari kesal.
“Makanya... peluk! Atau nanti gue nggak pake rem pas bawa motornya,” ancam Ari.
Tari menghela napas. Pasrah. Tuan Besar memang keukeuh kalo sudah ada maunya. Setelah meletakkan tas antara tubuhnya dan tubuh Ari, dengan malu-malu Tari melingkarkan tangannya di pinggang Ari. Sedetik… dua detik… tiga detik… Tari merasa tak bisa bernapas. Jantungnya berdetak tidak karuan, seakan ingin melesak dari tempatnya. Meski terhalang tas, Tari takut Ari bisa mendengar degup jantungnya.
Ari tersenyum. Dengan tangan kirinya, ia memegang erat tangan Tari yang memeluk pinggangnya. Motor mereka melesat melalui ramainya jalanan di pagi yang sibuk ini.
*
Seperti yang sudah bisa Ari duga, kehebohan melanda SMA Airlangga. Kali ini bukan karena preman sekolah jadi dua, tetapi karena kedatangan Ari dengan gadis yang biasanya lari darinya. Ari tersenyum geli melihat muka-muka terkejut, masam, ketakutan bahkan prihatin saat ia melintas sambil menggandeng Tari. Tari yang menyadari hal itu menjadi rikuh. Ia hanya menunduk sepanjang jalan.
“Kak, kayaknya gue bisa jalan sendiri deh tanpa perlu digandeng-gandeng gitu,” ucap Tari lirih.
“Jingga Matahari,” Ari memandang Tari dengan tatapan mata tajam. ”Lo pikir gue tipe cowok yang bakal ngebiarin cewek yang gue suka jalan sendirian ke kelasnya, sementara dia datang ke sekolah bareng gue? Kan udah gue bilang, gue bukan tukang ojek yang cuma
nganterin lo sampe sekolah. Gue juga harus mastiin lo selamat sampe kelas.”
“Berlebihan,” balas Tari, tetapi ia tersenyum juga. ”Lagian siapa yang berani gangguin gue? Perasaan yang selama ini gangguin gue itu cuma elo, deh.”
“Oh iya, ya...” Ari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. ”Mana ada yang berani gangguin Ibu Negara.”
“Hah?” Tari terperangah. Sebelumnya Ari tidak pernah seterang-terangan ini.
Ari tertawa, kemudian mengacak rambut Tari, pelan. ”Sudah sampai di kelas, Tuan Putri. Sekarang, hamba mohon diri…”
Tari menjulingkan matanya, tapi senyum masih tersungging di bibirnya. Ia memasuki kelas. Tanpa perlu memandang ke belakang, Tari tau Ari masih disana. di tempat yang sama dimana ia melepas Tari menuju kelas. Tari berusaha tidak menatap ke arah Ari, karena selain takut akan tercipta drama lagi pagi ini, ia… nervous.
Tapi tatapan itu masih dapat ia rasakan. Sedikit enggan, ia memalingkan wajah agar dapat melihat pintu kelas. Senyum lebar tersungging di bibir pentolan sekolah itu dengan mata tak lepas dari Tari. Senyuman yang sangat jarang dilihat Tari. Senyuman yang membuat orang-orang menatap aneh sekaligus takut pada pentolan sekolah itu.
Tari menatap Ari lekat-lekat. Senyum itu… Kak Ari sedang bahagia. Sangat bahagia.
Terbawa suasana, Tari ikut tersenyum dan kemudian melambaikan tangan pada Ari. Tari tau tindakannya norak, memang. Dan ia segera menyesali tindakannya itu, karena kemudian Ari tergelak dan
melemparkan kissing in the air. Tari terkesiap. Ya Tuhan! Mau ditaruh dimana muka gueee!
Seisi kelas berusaha keras menahan tawa melihat adegan tersebut. Pentolan sekolah kemudian meninggalkan kelas Tari, masih sambil memasang senyum jumawa.
Tari benar.
Ari sedang bahagia dan ia tidak pernah sebahagia ini. Ia hanya berharap agar setiap hari Ari seperti ini. Selalu seperti ini. Sudah cukup ia menahan beban seorang diri selama Sembilan tahun. Dan ia berhak untuk istirahat.
Tapi manusia hanya bisa berharap, bukan?
“Tariiii!!” Pekikan Nyoman membuyarkan lamunan Tari.
“Apaaaa?” Balasnya ogah-ogahan. Nyoman ini memang benar-benar patut diacungi jempol. Radarnya untuk menangkap gosip terhangat seperti hiu yang mencium bau darah. Cepat sekali nyantolnya!
“Galak banget, sih, Tar…” Rayu Nyoman sembari mengambil tempat duduk di sebelah Tari.
“Hush! Lo ngapain duduk disini? Ini kan tempat Fio.”
“Fio nggak masuk, baru aja dia SMS gue. Katanya dia udah SMS lo tapi nggak delivered,” jawab Nyoman cuek. ”Lagian lo kudu bersyukur gue mau nemenin lo saat Fio nggak ada. Jadi hari ini lo nggak menjanda.”
“Ih, naïf amat gue kalo ngira niat lo setulus itu!” Tari tergelak. ”Bilang aja… gosip apa yang mau lo denger?”
“Katanya lo dateng sama Kak Ari tadi pagi,” jawab Nyoman polos. ”Apa itu pertanda–“
“Pertanda apaaaa?”Tari tidak suka dengan omongan Nyoman yang berbelit-belit.
Nyoman mengangkat bahu. ”Entah ya, Tar. Tapi menurut gue, sih… Sebaiknya elo hati-hati. Nggak tau kenapa gue berasa was-was aja. Kayak ada yang ganjel. Ada yang salah, tapi nggak tau dimana…”
Tari mengernyit mendengar kata-kata Nyoman. Bahkan yang diindentifikasi sebagai orang luar saja berpikir yang tidak-tidak. Apakah Nyoman tahu sesuatu? Tari rasa tidak. Namun kata-kata Nyoman ini membuatnya kembali terpikir kata-kata Ata tadi pagi.
Elo bakal banyak nangis.
“Omongan lo ngaco!” tegur Tari, kemudian berdiri. ”Gue mau ke kantin... Sendiri,” tambahnya ketika melihat Nyoman ikut berdiri.
Benar, Tari sangat pusing dan butuh minuman dingin untuk menyegarkan kepalanya yang sepagi ini sudah dijejali terlalu banyak peristiwa.
*
Ari tidak bisa berhenti tersenyum. Tidak bisa. Suasana hatinya sangat baik hingga ia seakan ingin menularkan kepada semua orang. Adik kelas yang memandangnya takut-takut, ia rangkul. Pak Gun, cleaning service yang biasa Ari jahili dengan menyembunyikan perlatan perangnya – kemoceng, lap, sapu lidi dan alat pel – ia peluk dan selipkan beberapa lembar uang ke dalam sakunya. Bu Sam, ‘mama’nya, ia sapa dengan ramah dan tak lupa dicium tangannya – yang membuat Bu Sam melongo beberapa saat.
Bagaimana ia tidak menghilangkan senyum jumawanya? Mama dan kembarannya yang hilang selama sembilan tahun telah ia temukan kembali. Dan yang lebih membahagiakan lagi, ia didampingi oleh gadisnya. Mataharinya.
Sudah lama ia tidak merasakan hal seperti ini hingga dadanya terasa sesak. Namun, rasa sesak ini... adalah rasa sesak yang menyenangkan. Ari tidak keberatan jika selamanya seperti ini. Bahkan tadi pagi ia berdoa sesuatu yang musykil: biarkan bahagia ini tetap begini! Walau hati kecilnya sendiri menyadari, bagaimanalah Tuhan mengabulkan hal absurd seperti itu.
Tapi Ari bertekad untuk tidak merusak moodnya hari ini.
Nun jauh disana, meski masih dalam jarak pandang namun tidak terlihat kentara, sepasang mata memandangi Ari dengan tajam. Jauh dari bahagia yang dirasakan oleh Ari sekarang. Sorot mata itu seakan menyimpan penderitaan juga dendam. Dan tak ada yang lebih buruk dibanding tatapan elang pembunuh yang sedang mengincar mangsanya.
*
Tari mendesah. Memang pusing kalau Fio nggak masuk sekolah! Kemana-mana harus sendiri. Fio memang nggak tepat nih milih waktu buat sakit!
Padahal banyak cerita yang Tari akan utarakan. Bergegas Tari berjalan menuju kantin sebelum bel masuk berbunyi. Mendadak langkahnya terhenti. Melihat sosok yang rasanya ia kenal namun juga sama sekali tidak ia kenal keluar dari antor guru membuat detak jantung seakan berhenti. Sejenak ia merasa tak bisa bernapas. Tari berusaha menemukan kembali kesadarannya. Dengan tarikan napas yang panjang, ia berjingkat perlahan sebelum kemudian ambil langkah seribu. Tak bisa dibayangkannya apa yang sosok itu lakukan bila melihatnya melintas. Ini masih pagi dan Tari sedang tidak mau ada huru-hara pagi ini. Sudah cukup banyak drama di hidupnya tanpa diselingi kisah perang Barathayudha antar dua matahari.
"Sedih juga, gue. Masih aja lo nggak bisa ngebedain antara gue atau Ari?"
Dibisiki oleh seseorang dari belakang dengan kalimat yang seperti itu, tengkuk Tari meremang. Sungguh Tari berharap kalau yang dibelakangnya ini adalah setan. Ternyata bukan. Lebih parah malah. Ini sih bapaknya Setan! Horror!
Kali ini Tari benar-benar kehilangan napasnya. Ia ingin berteriak namun dadanya sudah terlampau sesak. Ayo, Tar. Inget Lee Mong Ryeong. Inget Cha Dae Woong. Ingat Goo Jun Pyo. Tari menarik napas panjang, kemudian membalikkan badan. Dipaksanya bibirnya menyunggingkan senyum. Agak kelu.
"Ada apa, Kak?"
"Lo yang ada apa. Kenapa lari liat gue? Emang gue setan?"
Bukan! Bapaknya Setan!
"Terus kenapa Kakak ngejar gue? Kan gue udah bilang, gue sama sekali nggak punya urusan dengan Kakak maupun sodara kembar Kakak itu."
Ata tersenyum. Bukan senyum manis, lebih tampak sebagai seringai. Tari sebenarnya lumayan keder juga. Tapi diberanikanlah dirinya. Ngeladenin kembaran setan nggak mungkin bakal lebih parah, kan?
"Jingga Matahari..." Ata mendekatkan mukanya pada muka Tari hingga berjarak beberapa centi hingga napas Ata dan napas Tari seakan beradu. Tari mendorong tubuh Ata, kemudian ia sendiri mundur beberapa langkah. Ata tersenyum geli. Ia maju mendekati Tari kemudian mengusap rambut Tari, lembut. "Justru lo itu... segalanya. Ngerti?"
Tari terdiam. Ia hanya memandangi Ata, dengan tatapan tak mengerti. Tari harus, dan berhak, untuk meminta penjelasan.
Bukannya menjawab, Ata malah tersenyum kemudian menyudutkan Tari ke tembok. Ia dekatkan mukanya pada muka Tari. Tari mendelik, namun belum sempat ia berteriak, mulutnya sudah dibekap dengan jemari Ata.
"Inget, Manis. Sekali lo teriak ... Hidup lo yang gue bikin heboh nantinya!"
Pelan, Ata melepaskan bekapannya dan pergi. Tari yang masih shock hanya bisa terdiam. Napasnya memburu. Dadanya sesak. Air matanya melesak ingin keluar, tapi di tahannya mati-matian. Tak sadar tubuhnya melemas.
"Hei... !!!"
Tubuh Tari tak sampai jatuh ke tanah. Sepasang tangan menopangnya. Sepasang tangan menahannya agar tidak tunduk pada gravitasi. Sepasang tangan itu milik...
"AAAAA!!!"Tari berteriak. Kencang. Kemudian histeris.
"Hei, hei... Ini gue, woy! Guee!”
Ari mengguncang-guncangkan bahu Tari kencang. Tapi tetap saja Tari histeris. Khawatir melihat keadaan Tari, juga khawatir disangka yang macam-macam, dipeluknya Tari erat di dadanya hingga suara Tari benar-benar teredam.
"Biar lo kehabisan napas, asal lo cuma teriak di dada gue," ucap Ari, setengah bercanda.
Tari terisak, namun kali ini isakan lega. Meski ia tak membalas pelukan Ari, tetapi tubuhnya melemas dan melunak dalam rengkuhan dada yang ia kenal. Aroma yang ia hafal. Degub jantung yang menyatu dengan degub jantungnya sendiri.
"Wah... Parah bener lo, Bos. Pagi-pagi udah bikin film biru aja!"
Otomatis Tari langsung menjauh dari Ari. Mukanya bersemu merah karena malu, tetapi tidak menutup kepiasannya tadi. Ari menoleh kearah sumber suara. Diliriknya sumber suara itu dengan tatapan mata tajam, seakan memerintahkan untuk tidak berbicara lagi. Lelaki itu, Oji, yang memakai baju sedikit kebesaran dan celana jeans – mengikuti gaya Bos besarnya – hanya terkekeh.
"Anak orang lo gangguin lagi?" Ridho datang dari belakang Oji dengan tangan penuh somay. "Lo jangan mau diajakin mesum sama Ari di sekolah, Tar. Suruh sewa hotel!"
Terbahak, Ridho dan Oji melakukan tos.
Tak tahan digoda, Tari pun pergi. "Permisi, Kak..."
Memandangi Tari dengan hati masygul, seribu tanda tanya melayang di kepala Ari. Tanpa memedulikan dua sahabatnya yang masih terkekeh dan melanjutnya godaannya, Ari berlalu. Ia harus menemukan jawabannya!
Untuk pertama kalinya sejak sekian tahun berlalu, akhirnya Ari bisa mendapat sambutan di depan rumah oleh Mamanya saat ia pulang sekolah. Untuk pertama kalinya sejak entah kapan, Ari mendapat perlakuan seperti anak normal lainnya: mengecup punggung tangan ibunya, mendapat usapan lembut di kepala. Yang terpenting, ada sosok yang menanyakan tentang kejadian di sekolah. Bagaimana guru-gurunya. Teman-temannya. Makanan di kantin.
Untuk pertama kalinya sejak sembilan tahun terakhir, Ari merasa mendapatkan masa kanak-kanaknya kembali.
“Kamu nggak pulang bareng Ata, Ri?” Tanya Mama sambil menuangkan lauk pauk ke piring Ari.
“Pulang sekolah tadi Ata langsung pergi, Ma. Katanya ada tempat yang mau dikunjungi. Ari disuruh pulang duluan aja,” Ari duduk di depan meja makan sambil memandangi setiap pergerakan mamanya saat menuangkan makanan ke piring. Saat mama meletakkan piring yang berisi lauk kesukaannya di hadapannya, Ari mengucapkan, “Makasih, Ma,” lalu makan dengan lahap. Mama tersenyum lembut, seraya mengusap kepala anak yang selalu dirindukannya.
“Tante Lidya kemana, Ma?”
“Tante Lidya pergi ke rumah sakit, pulang sekolah tadi Dede demam.”
Ya, untuk sementara waktu, Mamanya dan Ata tinggal di rumah Tante Lidya. Ke depannya, masih belum dibicarakan. Semuanya masih terhanyut dalam euforia pertemuan kembali. Namun hal ini seharusnya segera didiskusikan, mengingat Ata sudah resmi menjadi siswa di SMA Airlangga.
Inilah topik pembahasan malam ini di ruang keluarga rumah Tante Lidya.
“Rumah kita yang lama sudah menjadi milik orang lain, Ri,” Itu penjelasan Mama saat Ari menyarankan untuk kembali ke rumah lama mereka yang terletak persis di sebelah rumah Tante Lidya. Ata pun angkat bicara.
“Tadi Ata sempat keliling-keliling untuk nyari kontrakan sekitar sini. Ada beberapa pilihan, Mama mau liat-liat dulu?”
Ari tertegun. Separuh hatinya sangat ingin mengajak mereka semua tinggal di rumah yang ia tempati dengan papanya. Tapi semuanya sadar kalo hal itu nggak mungkin untuk diwujudkan. Sementara, tinggal di rumah Tante Lidya untuk jangka waktu yang
tidak ditentukan juga bukan merupakan ide bagus, walau Tante Lidya sendiri tidak pernah protes tentang hal tersebut.
Mama mengangguk setuju pada Ata. Kemudian tatapannya berpindah menuju Ari.
“Maafin Ari, Ma,” ucapnya, lirih. “Ari bisa bantu apa untuk Mama?”
Wanita itu merangkul anak bungsunya, erat sekali. Dengan suara sedikit bergetar, beliau menjawab.
“Cukup dengan Ari selalu ada di samping Mama. Itu semua sudah cukup membantu Mama, membuat Mama merasa sangat bahagia, Nak...”
*
Jam isitirahat di kantin kelas dua belas. Banyak siswa mencuri pandang ke satu sudut kantin pada sosok yang begitu identik dengan pentolan SMA Airlangga.
Padahal sudah seminggu sejak Ata resmi bersekolah disana, tapi masih banyak yang nggak percaya kalo Ari punya kembaran. Semua kalangan mulai berspekulasi mengenai sosok Matahari yang satu ini. Bandel nggak sih? Brutal, kah? Apakah Ata akan seperti saudara kembarnya, yang terkenal bikin pusing para guru karna tingkahnya yang selalu bikin onar kemana-mana? Karena selama seminggu ini Ata tidak menunjukkan gejala apapun yang dapat membuat kepala dewan guru makin cenat-cenut. Yang dilakukannya hanya diam di kantin. Sesekali bergabung dengan Ari dkk untuk bermain basket di lapangan sekolah. Namun Ata nggak pernah bikin onar di kelas. Benar-benar seperti siswa normal.
Ata sama sekali nggak ambil pusing dengan semua tatapan yang mengarah padanya. Hak mereka untuk menebak kepribadiannya. Yang
ia pikirkan sekarang jauh lebih penting daripada urusan spekulasi orang lain tentang dirinya.
Segala sakit hati di masalalu. Terlalu sakit untuk diikhlaskan tanpa ada pembalasan. Untuk semua ketidakadilan hidup yang terjadi pada dirinya. Untuk segala beban yang harus ia pikul. Untuk kebahagiaan masa kanak-kanak yang direnggut begitu saja dari dirinya.
Ata bangkit dari kursinya, membuat semua yang sedang memandangnya langsung kembali ke rutinitasnya masing-masing. Takut, manusia yang satu ini memiliki sisi monster dalam dirinya yang belum dibangkitkan. Bukankah ancaman dalam keterdiaman itu lebih berbahaya?
Semua pandangan ini... Karena reputasi Ari.
Masih tetap tidak memerdulikan pandangan sekitarnya, Ata berjalan keluar kantin, menyusuri koridor sekolah. Sampai matanya memandang pada satu titik di area kelas sepuluh.
Tari. Lo emang... Bener-bener apes.
*
Deg!
"Uhuk!"
"Kenapa , Tar?" Tanya Fio yang sedang memakan bakwannya dengan penuh semangat. Nggak masuk sekolah selama seminggu benar-benar bikin Fio kangen berat sama semua jajanan di kantin sekolah. Tadi udah jajan somay, sekarang ngeborong bakwan. Emang sih, biasanya kalo orang baru sembuh dari sakit nafsu makannya jadi naik drastis.
"Keselek," jawab Tari pendek. "Mmm... kok gue ngerasa kayak lagi diamatin orang, ya?"
"Siapaa?" Fio langsung celingukan kanan-kiri. "Oh, jangan-jangan... Kak Ari?"
"Yee... Kenapa Kak Ari harus ngamatin gue? Orang kita lagi nggak ada masalah, kok. Lagian kesadaran gue udah sangat terlatih untuk mendeteksi dia, thanks banget itu karena kelakuannya dia sendiri. Tapi ini beda, Fi..."
Tari langsung teringat pada ucapan Kak Ata saat datang ke rumahnya dulu. Ancaman yang keliatannya sangat serius namun membuatnya bingung. Rangkaian kalimat yang benar-benar membuatnya cemas bahkan sampai susah tidur. Sekarang aja sampai ngerasa lagi diamatin, pasti oleh Ata.
Kedua saudara kembar ini... Bagaimana sebenarnya dia harus bersikap pada keduanya? Dua cowok yang penuh luka. Dua cowok yang membentengi dirinya sendiri agar tetap kuat. Satu benteng telah berhasil ditembus olehnya. Benteng milik Ari.
Namun Ata... Masih misteri.
"Fio..." panggil Tari pelan.
"Hmm?"
"Menurut lo... Kak Ata yang satu ini... Mungkin nggak sih bakal menunjukkan sikap seperti Kak Ata yang dulu pernah coba dilakoni sama Kak Ari?"
"Kalo dari cerita lo kemarin-kemarin sih..." Fio tercenung. Gorengannya sudah habis. Sekarang tangannya berganti memegang teh kotak. "Kecil kemungkinan, Tar..."
Tari menarik napas panjang. Ya iyalah. Kalo di pertemuan awal aja dia udah ngasih ultimatum gitu, gimana mungkin dia akan terlihat seperti Kak Ata sang Malaikat Penyelamat yang dulu Kak Ari lakuin? Bantahnya dalam hati.
"Apapun itu, Tar.. Lo harus hati-hati. Kalo emang muka dia keliatannya seserius itu waktu ngomong sama lo.. Lo harus jaga jarak banget dari dia."
"Iya, Fi... Gue tau."
"Satu lagi," kali ini Fio benar-benar menampakkan raut wajah khawatir pada sahabatnya. "Sebaiknya Kak Ari jangan tau mengenai hal ini sampe lo nemuin titik terangnya."
"Hmm..." Tari menghela napas, lagi. "Gue tau, Fi. Gue nggak akan ngomong dulu sama Kak Ari. Gue juga nggak mau hubungan mereka jadi semakin renggang. Dipisahin dari kecil sekian lamanya aja pasti udah bikin mereka harus menempuh hari-hari berat untuk mengakrabkan diri lagi."
Keduanya sama-sama terdiam. Fio menatap Tari dengan cemas, sekaligus prihatin. Juga nggak habis pikir. Kasian Tari. Bentuk hubungannya sama Kak Ari sang Pembuat Onar nomor satu aja udah bikin satu sekolahan heboh dalam setiap interaksi mereka , apalagi kalo kembarannya secara frontal juga ikut ber"interaksi" dengan Tari... Kayaknya sekolah bakal heboh seheboh-hebohnya lagi, nih!
Fio memandangi sahabat yang duduk di depannya dengan gamang. Prihatin! Dia ikut sedih dengan apa yang menimpa sahabatnya itu. Entah dosa apa yang sudah Tari lakukan di masa lalu sampai bisa mendapat ‘cobaan’ yang bertubi-tubi itu. Tanpa sadar pandangannya tertumbuk pada seseorang yang berjalan menuju kursi mereka. Tari tidak melihat, karena Tari memunggungi orang itu. Fio menahan napasnya agar tidak terlalu kentara terkejut.
“Tar… gue kayaknya kudu pergi, deh,” ucap Fio sambil meringis.
Tari mengernyitkan dahi, bingung. “Lho, lho… kenapa? Gue ikut –“
“Kayaknya nggak usah deh. Lo disini aja. Gue emang sayang ama elo, Tar. Tapi lo tau, kan, kalo gue baru aja sembuh? Elo nggak mau kan gue jantungan gara-gara deketan sama syaitonnirrojim?”
“Well, said, Fio. Gue emang setan. Dan memang setan yang ini…” Yang dimaksud Fio langsung duduk di sebelah Tari, kemudian merangkulnya erat, ”butuh ngomong sama sahabat lo. Berdua.”
Tari menoleh ke arah samping. Ia langsung melotot.
”Kak Ata!”
Tari melirik Fio, seakan berkata awas aja lo ninggalin gue! Fio Ccuma bisa meringis, menampilkan ekspresi rasa bersalahnya setulus mungkin, kemudian berlalu.
“Kak Ata maunya apa?” desis Tari pelan, namun tajam.
“Mau gue?” Ata tergelak. ”Banyak, Tari. Banyak! Dan itu… termasuk elo!”
“Hoy bro!” Suara lantang terdengar dari lapangan. Serempak, Tari dan Ata menoleh.
Oji!
Ia tersenyum lebar seraya mengacungkan bola basket, isyarat untuk menawari Ata bermain basket. Ata mengangguk, kemudian tersenyum dan berjalan menuju Oji.
“Gimana, Tar? Setannya udah pergi, kan? Maaf, Tar, Cuma Kak Oji yang kepikiran di otak gue tadi...” Ucap Fio sembari terengah. Ia baru saja duduk di samping Tari.
“Jadi lo yang tadi panggil bala bantuan? Lo bilang apa ke Kak Oji, coba? Duhh, kalo dia bilang macem-macem ke Ari gimana, Fioooo?” Tari berseru panik.
Fio memandang sahabatnya dengan pandangan sebal. Untung dibantuin! “Terus lo maunya gue ninggalin lo berdua sama setan, gitu?”
Tari mendesah. ”Ya enggak, sih. Gue makasih banget lo udah berusaha nyingkirin Ata. Tapi Ari…”
“Gue nggak bego, tau…” Potong Fio sembari mendengus dengan penuh keangkuhan. ”Gue cuma bilang gini ke Kak Oji, ‘Kak Oji, itu Kak Ata tolong diajak ngapain, kek, daripada dia ikutan nimbrung gue ama Tari yang lagi girl’s talk.’ Gitu. Walaupun dia ge-er, ngerasa lagi diomongin sama kita... Yaudah, lah. Yang penting sekarang lo aman.”
Tari menggigit bibir bagian bawahnya. ”Nggak terlalu aman juga, sih…”
Tari kemudian menunjukkan ponselnya pada Fio.
Tadi ngomong apa sama Ata?
From : Ari
Gue belum selesai. Ata.
From : 086664441313
*
Ari sengaja cabut pelajaran setelah istirahat. Ia butuh berpikir jernih. Melihat saudara kembarnya mengobrol pada jarak yang sangat dekat dengan gadisnya membuatnya pongah. Hatinya ambigu. Ia merasa sangat cemburu sehingga bisa mencabik-cabik Ata. Namun ia merasa menjadi saudara yang paling tidak tahu adab jika belum-belum sudah marah dengan Ata hanya karena persoalan sepele. Hanya gara-gara gadis. Meski gadis itu adalah gadis terpenting kedua setelah mamanya.
Ari memacu motornya dengan kecepatan tinggi, berharap angin dapan membawa kabur segala keambiguan yang menerpanya. Segalanya begitu tiba-tiba. Kedatangan Mama dan saudara kembarnya.
Hadirnya Tari dalam hidupnya. Seharusnya ia sudah tau, bahwa tidak ada satupun orang yang berhak menjadi sebahagia ini. Tidak ada.
Tanpa terasa ia membelokkan motornya ke arah rumahnya. Ya, rumahnya. Bukan rumah Tante Lidya, bukan rumah Tari. Namun rumahnya. Yang megah namun dingin. Yang seperti istana namun sepi. Ya. Rumah itu. Sistine.
Sebelum masuk ke dalam, ia pandangi rumahnya dari balik pagar. Lekat-lekat. Hatinya menjadi miris. Mengapa ayahnya membangun istana, bukan keluarga bahagia? Di kolong jembatan pun Ari rasa pasti akan jauh lebih baik. Asalkan ia bersama Mama, Ata dan Papa. Ah, Ari menjadi sangat melankolis. Ia menggelengkan kepala, kemudian memasuki rumahnya yang tidak terasa seperti rumah.
“Kamu sudah pulang, Ari?”
Suara berat yang sedikit serak akibat rokok, menyapa Ari dengan nada menegur. Ari terkejut. Astaga! Papanya! Papanya ada di rumah! Keajaiban apa lagi ini?
“Papa tumben pulang.”
Meski Ari marah pada Papanya, tapi bagaimanapun ia tidak bisa membenci Papanya. Lagipula, ia sudah terlalu lelah marah setelah bertahun-tahun. Ari sebenarnya marah untuk apa? Untuk siapa? Mamanya sudah disini.
“Kebetulan, Ari, kebetulan kerjaan Papa sudah Papa selesaikan sebelum tenggat waktu sehingga Papa bisa beristirahat. Kamu kenapa sudah pulang? Bikin onar lagi? tuduh Papanya, namun dengan nada tidak menggurui. Malah terkesan sedikit tidak peduli. Ari sedikit sakit hati, sebenarnya. Cuma, mungkin Papanya sudah terbiasa dengan kelakuan abnormal Ari selama ini.
“Nggak pa-pa. Lagi suntuk,” jawab Ari ringkas, memberi sinyal bahwa sekarang ia sedang dalam keadaan mood yang tidak baik untuk berbicara, berbincang, atau apalah namanya. Ia hanya ingin sendiri. ”Ari ke kamar, Pa…”
“Sebentar, Ari… Papa mau bertanya. Tadi Kepala Sekolah menelepon Papa. Ada murid baru yang bernama Matahari Jingga, pindahan dari Malang. Ata datang ke Jakarta?”
Pada akhirnya, tidak ada satu SMS pun dari si kembar yang Tari balas. Alhasil, konsentrasinya terhadap seluruh pelajaran di sisa hari itu buyar.
SMS dari Ata jelas merupakan pernyataan perang, yang tidak membutuhkan jawaban. SMS dari Ari lah yang paling ia cemaskan. Kalo nggak dibales, pasti Ari bakal langsung menghampirinya dan menyebabkan keributan seperti dulu. Satu semester berhadapan dengan Ari cukup untuk membuatnya tahu gimana gigihnya cowok yang satu itu untuk memuaskan rasa penasarannya. Karena itu, Tari sudah siap lahir batin kalo misalnya Ari langsung mencegatnya sepulang sekolah nanti. Ia akan maju dengan beberapa skenario kebohongan, dengan harapan semoga Ari percaya, tentunya.
Kejutan besarnya, bukan Ari yang sudah nongkrong di depan pintu kelas X-9 saat bel pulang sekolah berbunyi. Tapi Ata.
Mati gue!
“Kak Ata ngapain disini?” Tanya Tari langsung, tanpa basa-basi. Yang ditanya mengeluarkan seringai misterius.
“Kak Ata ngapain disini?” Tari mengulangi pertanyaannya lagi, sambil tetap menjaga jarak dengan Matahari yang satu itu.
Kali ini Ata menjawabnya dengan menarik tangan Tari. Tari terkesiap, lantas berusaha melepaskan genggaman tersebut – meskipun sudah pasti percuma. Disinilah masalahnya.
Saat sekolah sedang padat-padatnya karena pulang sekolah, otomatis semua yang melintas di koridor kelas sepuluh memerhatikan adegan tersebut. Mulut-mulut jahil mulai berspekulasi, berbisik lirih tentang Tari. Entah ini disebut keberuntungan atau malapetaka.
Tari tuh sebenernya siapa, sih? Cuma anak kelas sepuluh yang mendadak populer karena dikejar-kejar Matahari Senja, lelaki idaman nomor wahid seantero SMA Airlangga. Sekarang, satu matahari lagi, yaitu si Matahari Jingga juga mulai menunjukkan ketertarikan pada Tari. Gelagat-gelagatnya juga bakal ngejar Tari sampe dapet. Tari pake pelet apa sih untuk menarik perhatian kedua Matahari itu?
“Lo pulang bareng gue. Sekarang.”
Hanya itu yang diucapkan oleh Ata. Singkat saja. Genggaman tangannya yang kuat membuat Tari mau tak mau berhenti meronta dan menurut. Sementara di belakangnya, Fio hanya bisa menunjukkan pandangan iba karena tidak bisa membantu.
“Kak Ata...” Tari memulai. Namun Ata langsung melayangkan pandangan tajam padanya, seakan pandangan itu menegaskan bahwa tidak boleh ada penolakan disini. Tari urung bicara.
“Eh, kita nggak naik motor, Kak?” Tanpa sadar Tari nyeletuk demikian karena mereka melangkah langsung menuju gerbang, tidak belok ke parkiran.
“Motor Ari? Dibawa sama dia, lah. Motor gue di Malang,” jawabnya tenang. “Kita naik bus. Lo nggak keberatan kan?”
Sementara keduanya menunggu bus di halte, Oji dan Ridho memerhatikan mereka dari kejauhan.
“Laporin nggak nih?”
“Gue jadi bingung.”
“Takutnya malah mereka berantem. Kan nggak lucu.”
“Gue nggak mau liat Ari hancur kayak dulu lagi.”
“Jadi... Kasitau aja nih?”
Oji dan Ridho masih memandangi halte tempat Ata dan Tari baru saja menaiki bus.
“Bagaimanapun juga,” Ridho menghela napas sejenak, “Ari tuh sahabat kita.”
*
Dalam keremangan kamar tidurnya, Ari terduduk di samping lemari pakaiannya. Sisa percakapannya dengan Papa masih menggantung segar di ingatannya.
“Apakah Ata di Jakarta, atau di Malang.. nggak ada hubungannya sama Papa, kan?”
“Sudah berapa lama kamu mengetahui keberadaan mereka? Kamu pasti sudah sering bertemu dengan mereka, kan?”
“Papa nggak akan bertindak macam-macam kepada Mama dan Ata, kan?” Ari malah balik bertanya dengan sengit.
Detik itu, pandangan mata mereka bertemu. Ari menatap Papanya dengan pandangan tajam, sedangkan Papa hanya membalasnya dengan tenang. Ketenangan yang mencekam. Pada detik berikutnya, Papa justru tertawa keras.
“Astaga, Ari. Memangnya apa yang akan Papa lakukan? Papa hanya ingin tahu kabar mereka. Itu saja.”
Tawa itu bukanlah tawa yang menyenangkan. Ari tahu, atau mungkin sekedar menebak-nebak, bahwa suara tawa Papa tadi siang itu bukanlah pertanda bagus.
Ari memang tidak pernah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam keluarga mereka hingga semuanya tercerai-berai. Juga mengapa Mama memilih untuk membawa Ata pergi dibandingkan dengan dirinya – penjelasan Tante Lidya berminggu-minggu lalu tidak memuaskannya.
Matanya menatap celah kecil dari pintu kamarnya. Papa telah pergi, lagi. Mana mungkin beliau akan tinggal berlama-lama. Pekerjaannya pasti lebih berharga dibandingkan dengan beristirahat di rumah, seperti bualannya tadi. Rumah ini kembali sepi, dan selalu sunyi. Ari menghela napas.
Sungguh, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia hanya ingin kebahagiaan masa kecilnya kembali lagi. Memiliki keluarga yang lengkap, dan bahagia.
*
Sepanjang perjalanan pulang, Tari hanya memandangi wajah cowok yang duduk di sampingnya. Seseorang yang menyandang nama yang sama dengan dirinya, walau dengan susunan yang berbeda. Matahari Jingga.
“Apa yang lo dapet dari ngeliatin gue?”
Ata akhirnya bersuara. Tari dapat merasakan wajahnya memerah, namun dilanjutkannya percakapan tersebut.
“Kak Ata kenapa mau nganterin saya pulang?”
“Apa cuma Ari yang bisa nganterin lo pulang?” Ata malah balik bertanya dengan tajam.
“Bukan gitu...” Tari menggeleng lemah. “Gue masih tetep nggak ngerti sama maksud Kakak.”
Tari menarik napas panjang, sebelum kemudian melanjutkan.
“Kenapa gue harus terlibat sama rencana-rencana lo? Bukan ... Kenapa harus ada rencana-rencana? Tentang apa? Kak Ata...”
“Bukannya lo pernah bantu Ari? Apa salahnya kalo sekarang ikut ngebantuin gue?”
“Itu beda, Kak – “
“Apanya yang harus berbeda?” Sergahnya cepat. “Kalo emang lo bisa ngelakuin segalanya untuk Ari, lo juga harus bisa ngelakuin hal itu ke gue! Seperti janji gue dulu, kalo bisa gue perlunak ... Akan gue perlunak. Lo cuma perlu untuk mengikuti semuanya. Oke?”
Tari memandangi cowok itu dengan pandangan putus asa. “Lo bakal ngapain?”
Ata tersenyum misterius.
“Ini. Rencana gue sedang berjalan.”
Ada hati yang sedang sibuk dengan segala kemelut, pikiran dan emosi yang menyeruak. Sehingga segalanya terlihat semakin rusak. Di sisi lain, ada hati yang sedang bimbang, ragu campur cemas. Sehingga segala yang buruk terpikir, membuat jantung berdebar saking paranoidnya.
Sementara Ari sedang kalut dengan masalah keluarganya, Tari kini dirundung kecemasan, ketakutan dan keparanoidan sekaligus! Percakapannya dengan Ata tadi siang yang menggantung dan menyisakan banyak teka-teki, bisa diambil kesimpulan seperti ini: Ata entah ingin melakukan apa pada Ari, dan rencana Ata ini akan menggunakan Tari. Pada intinya: bencana! Disaster! Tari ngeri sekali membayangkan perang gerilya Ata ini. Karena sama sekali Ata tidak meninggalkan jejak dan pertanda. Karena sama sekali Ata
menyembunyikan segala bentuk emosinya. Karena sama sekali Ata tidak terbaca!
Terbayang dalam ingatan Tari kejadian tadi siang. Setelah menculiknya dengan paksa kemudian menyeretnya memasuki bus – yang kemudian dituruti oleh Tari walaupun dengan sangat berat hati, karena Ata dengan cara yang tak terkatakan berlagak mengancam – Ata mengantarnya. Sampai rumah, dan sampai menemui Mama.
“Siang, Tante…” sapa Ata.
“Si…ang?” Mama melongo. Tari memang sudah bercerita pada Mama bahwa Ari yang biasa ke rumah, punya kembaran. Ini pertama kalinya Mama bertemu Ari yang bukan Ari. Yang hawanya beda. Tentu Mama bingung.
Ata tersenyum manis. Licik, jerit batin Tari. Ata mencium tangan Mama dengan hormat, kemudian berkata, ”Saya Ata, Tante. Lengkapnya, Matahari Jingga.”
“Lhoooo… Namanya kebalikan dari nama Tari!”
Tepat pada sasaran! Mama langsung heboh dan melunak. Dengan ramah ia persilahkan Ata duduk dan ikut makan siang. Tari mengeluh dalam hati. Mama ini! Apa nggak bisa lihat ada tanduk tumbuh di kepalanya, apa?
Ata tertawa sopan. ”Terima kasih, Tante. Mama saya sudah masak di rumah. Kalo saya nggak makan dirumah, nanti Mama saya sedih.”
Tari terperanjat. Pinter juga tuh Setan ngambil hati Mama!
“Wah, sayang sekali, Nak Ata. Tapi lain kali, Nak Ata harus makan disini, ya,”ucap Mama, benar-benar kecewa.
Nak Ata!!! Rasanya Tari ingin pindah ke Timbuktu saking malunya. Ata tertawa, entah geli entah bermaksud ramah. Tapi tetap saja bagi Tari hawanya mengerikan!
“Pasti, Tante. Oh iya, lain kali kalau saya kebetulan lewat lalu main kesini atau ngajak Tari keluar... boleh kan, Tan?”
Dan tentu saja jawaban Mama adalah ya!
Kartu As sudah dikantongi oleh Matahari Jingga.
*
Tari pusing sekali. Bagaimana ini? Segalanya begitu abstrak dan menakutkan. Terlalu blur, dan Tari tidak suka meraba dalam gelap.
“Telepon Fio aja deh…” gumam Tari pada dirinya sendiri.
Tapi baru saja ia menekan digit ketiga dari nomor telepon rumah Fio, pintu rumahnya diketuk. Menyadari bahwa Mamanya lagi pergi mengantar Geo ke dokter gigi dan sore ini rumahnya kosong, itu berarti satu-satunya orang yang harus membuka pintu dan menemui tamu itu adalah dirinya sendiri. Tapi Tari cuek bebek. Biarin aja mau ngetuk sampai tangan kapalan! Nggak bakal gue bukain! Orang lagi galau begini, malah ditamuin.
Namun, semakin lama gedoran pintu itu semakin kencang dan iramanya semakin cepat. Tari langsung berasap. Tuh orang sebenernya mau bertamu atau berasa lagi nabuh bedug, sih? Nggak tau sopan santun! Nggak punya etika! Baru saja Tari ingin mengomeli orang itu ketika membuka pintu, tiba-tiba tubuhnya langsung lemas dan kaku. Ia mundur tiga langkah. Matanya terbelalak dan kedua tangannya menutupi mulut dan hidungnya.
Dengan mata sayu dan keadaan yang berantakan, Matahari Senja berdiri di depannya.
*
Ari sudah hampir terlelap ketika sebuah SMS masuk ke ponselnya. Tadinya Ari ingin mengabaikan SMS itu. Namun ia teringat bahwa bisa saja ada keadaan darurat di sekolah yang mengharuskannya untuk
datang sesegera mungkin. Keadaan darurat yang menyangkut nama baik sekolah – nama baik siswa sekolahnya, maksudnya. Kredibilitasnya sebagai panglima perang. Juga keamanan teman-temannya.
Dengan segera ia membuka SMS itu. Ralat, ternyata itu bukan SMS melainkan MMS. Tepatnya, MMS dari ketua geng The Scissors, Vero. Sebuah foto. Foto itu diambil dari belakang dan hanya memperlihatkan sedikit bagian wajah dari objek yang difoto. Namun Ari langsung mengenali objeknya. Tari dan dia sedang berdiri berhadapan di sebuah bus. Dahi Ari mengernyit melihat foto itu.
Kapan foto ini diambil? Apa alasannya...?
Baru saja Ari akan menelepon si pengirim pesan, ponsel Ari berdering lagi. Kali ini sebuah SMS.
Bingung? Coba lihat baik-baik.
Foto itu diambil hari ini sepulang sekolah.
Hari ini? Sepulang sekolah? Dia pulang duluan. Hatinya sudah sangat kacau sehingga ia melupakan ada gadis yang ia tinggal di sekolah. Namun siapa sih yang berani mengganggu gadisnya? Kalau itu bukan foto dirinya, berarti itu....
Ari terkesiap.
Tanpa pikir panjang lagi, Ari menyambar kontak motornya dan melarikannya kencang – sekencang angin – menuju tempat gadisnya.
*
“Kak Ari… kenapa?” Tanya Tari, setelah berhasil mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang tercecer.
Ari tersenyum tipis. ”Boleh masuk?”
Tari menggigit bibir bagian bawahnya. Aduh. Bagaimana menjawabnya? “Itu, Kak… Mama…”
“Lagi nganter Geo ke dokter gigi, kan? Tadi ketemu dijalan,” sergah Ari cepat. ”Boleh masuk? Gue cuma pingin duduk dan nggak
ngapa-ngapain, kalo emang itu yang lo takutin. Pintunya dibuka aja. Gue udah cek tetangga depan, dia udah pulang kerja. Kalo elo ngerasa gue udah mulai macem-macem, lo bisa teriak sekencang-kencangnya dan gue pastiin dia langsung lari kesini.”
Tari menghela napas, tidak bisa mengelak. Memang sudah nasibnya begini, selalu tekanan batin.
”Ya udah, masuk aja, Kak.”
Mereka kemudian duduk berhadapan di sofa ruang tamu. Semburat matahari senja menembus jendela Tari yang transparan, yang gordennya sengaja dibuka. Cahayanya langsung mengenai wajah Ari. Tari bisa langsung melihat kalau wajah itu sangat letih, sedih, kacau, pucat dan… menahan emosi!
“Kak Ari kenapa?”
Ia ulang pertanyaannya. Kali ini dengan tubuh yang ditegakkan dan suara yang bulat, agar terpancar keberanian walau sebenarnya Tari deg-degan dan takut setengah mati!
Ari tersenyum. Kali ini sedikit lebih lebar. Mungkin karena geli karena melihat sebuah keberanian yang dipaksakan. Mungkin karena tersenyum satu-satunya hal yang bisa menyembunyikan emosinya yang berkecamuk. Namun Ari tak menjawab pertanyaan Tari. Ia mengelus kepala Tari lembut.
“Tadi… pulang sama siapa?”Tanya Ari lembut.
Tari terkesiap. Ini pertanyaan jebakan atau apa? Tari menghela napas. Kali ini panjang dan berat.
”Pulang sendiri.”
Ia memutuskan untuk mengambil resiko.
Rahang Ari mengeras. Matanya memancarkan kemarahan.
”Gue tanya sekali lagi. Pulang sama siapa?”
“Sendiri. Tadi bareng sama Fio sampai halte. Tapi naik busnya sendiri,” ucap Tari cepat dengan melakukan sesedikit mungkin kontak mata pada Ari.
Ari mendengus kencang. Ia keluarkan sebuah ponsel dari kantung bajunya kemudian ia banting di meja. Tari memekik. Di ponsel itu, tertera fotonya bersama Ata tadi siang!!!
*
Laksmi Paramitha. Seorang gadis yang cantik, sangat cantik, pintar dan ramah. Mahasiswi nomor satu di fakultasnya. Sekretaris senat yang gesit nan cekatan. Favorit para dosen karena kepintaran dan kekritisannya.
Tapi bukan itu yang membuat Yudhistira terpana pada si Kecantikan yang Sempurna itu. Bukan. Tekadnya yang kuat dan tak pantang menyerah serta keberaniannya terhadap apapun mampu membuat Yudhistira, si ketua BEM yang terkenal kaku dan dingin, menjadi ergetar hatinya!
Sore itu hujan. Yudhistira melihat gerombolan anak perempuan sedang menenangkan temannya yang menangis sedih. Dalam hati Yudhistira mencibir, dasar wanita! Bisanya hanya menangis saja! Tapi tak urung Yudhistira menguping apa yang sedang dibicarakan oleh gerombolan itu.
“Sudahlah, nanti kamu saya pinjamkan uang saya dulu, ya…”ucap si gadis pertama sambil mengelus rambut si wanita yang menangis itu.
“Iya, toh hanya uang segitu. Kami pun ada. Ya, nggak?”ucap si gadis kedua disambut anggukan si gadis ketiga.
“Iya, Laksmi… sudahlah kamu jangan menangis…”
Laksmi? Yudhistira memicingkan mata. Sekretaris senat yang terkenal ceplas ceplos itu menangis? Wah! Berita baru!
“Memang uang segitu. Tapi Bapak dan Ibu saya di Malang sampai jual kambing untuk SPP saya juga biaya hidup saya selama enam bulan. Mungkin bagi kalian ini tidak seberapa tapi bagi saya berharga sekali…” ujar Laksmi, sedikit meradang.
“Kamu ini, cepat sekali tersinggung. Kan sudah ketemu solusinya. Nanti kami pinjamkan – “
“Lalu bagaimana cara mengembalikannya?” Nada suara Laksmi meninggi. ”Saya harus bekerja.”
Yudhistira terhenyak. Tak menyangka bahwa gadis yang ia kira sangat manja itu mempunyai tekad sekeras baja. Itulah awal simpatinya pada si Kecantikan yang Sempurna itu. Kemudian Yudhistira memberanikan diri untuk mengajak bicara Laksmi secara pribadi – selama ini hanya ketika ada rapat gabungan antara senat dengan BEM saja mereka berinteraksi, itupun hanya sebatas hubungan profesional. Kemudian ia menawarkan Laksmi untuk bekerja di rumah Bulik nya yang penjahit.
Itulah awal kecintaan Laksmi terhadap jahit-menjahit. Bisa ditebak selanjutnya,: Yudhistira dan Laksmi semakin dekat. Mereka pun berpacaran kemudian menikah.
Yudhistira tidak menyesal menikahi Laksmi. Laksmi memang istri yang sempurna. Ia dapat melakukan segalanya. Pekerjaan rumah. Menjahit – meski terbatas hanya untuk lingkungan tetangga. Mengasuh si kembar, anak mereka. Juga masih sempat melayaninya dengan baik. Yudhistira cinta dan bangga setengah mati pada istrinya itu. Sampai pada suatu ketika…
“Pa, saya mau kerja,” ucap Laksmi lembut, tapi tegas.
“Lho... Selama ini yang Mama lakukan memang bukan kerja?” Yudhistira mencoba mencairkan suasana dengan bercanda, sembari menunjuk tumpukan jahitan di samping sofa ruang tamu.
“Pa, kebutuhan semakin banyak. Saya rasa tidak ada salahnya saya ikut urun dalam keuangan keluarga kita, sehingga beban Papa berkurang.”
“Saya tidak pernah menganggap ini semua adalah beban! Kalian bukan beban!”
“Pa, anak-anak sudah mulai besar. Biaya pendidikan, belum lagi cicilan rumah – “
“Kamu tidak percaya saya bisa memenuhi kebutuhan kalian semua?!”
Tepat menghantam di dada! Gengsi itu… pride nya sebagai lelaki...
“Papa egois sekali kalau menutup ruang gerak intelektualitas saya!”
Tepat mengantam di dada! Gengsi itu… Kepintaran yang rasanya Laksmi sia-siakan selama ini…
Sore itu adalah sebuah kesalahan. Laksmi nya tak pernah menjadi sama lagi dengan Laksmi yang ia kenal, yang kepadanya ia pernah merasa sangat jatuh cinta. Disana terpasang beton yang mengeras. Semakin lama semakin keras dan dingin. Tidak bisa tersentuh.
Sore itu adalah sebuah kesalahan. Yudhistira, lelaki yang sangat ia kagumi karena kegigihan tekad serta ketegasannya, yang sangat ia cintai luar dan dalam, tak pernah sama lagi seperti dahulu. Disana terbentang dinding yang tinggi. Menjulang. Tidak tergapai.
*
Ternyata benar disana!
Dari dalam mobil, Papa Ari mengaitkan kedua tangannya, menanti dengan tegang, seseorang keluar dari rumah. Dan kemudian ketika orang yang dinanti itu benar keluar, badannya langsung menegak. Meski dari jauh, dari dalam mobil pula, tapi masih cukup bisa terlihat jelas oleh mata.
Ternyata benar disana! Dirumah tetangganya dulu! Wanita itu, mantan istrinya... Sedang duduk di teras sembari asyik menyulam – entah apa.
Tanpa sadar Papa Ari tersenyum. Laksmi… ternyata masih sama seperti yang dulu. Tidak ada yang berbeda.
“Bapak… mau turun?” Tanya Pak Aris, supir Papa Ari yang sudah lima tahun mengabdi. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Permintaan tak biasa Tuannya ini membuatnya heran, sekaligus mahfum. Wanita ini pasti orang yang sangat penting bagi Tuannya.
“Nggak usah, Pak Aris. Jalan.”
Pasti akan kutemui kamu. Tapi tidak hari ini.
Kapan terakhir kali Ari kesini? Berminggu-minggu yang lalu? Berbulan-bulan yang lalu? Kapanpun itu, rasanya sudah lama sekali.
Ari sampai di saung favoritnya. Tempatnya menyendiri. Tempatnya – saat dulu semuanya baik-baik saja – sering menghabiskan waktu untuk bersantai bersama keluarganya yang utuh. Bersama Papa, Mama, dan Ata.
Namun, seseorang ternyata telah mengambil tempat disana, duduk menghadap arah matahari yang sesaat lagi akan terbenam. Seseorang yang pernah berbagi rahim dengannya.
“Lo masih inget sama tempat ini?” Ata memecah keheningan yang tercipta, tanpa memastikan bahwa orang yang baru saja tiba di tempat ini adalah Ari. Karena, sudah pasti itu Ari.
Ari mengambil tempat di sebelah saudara kembarnya. Sudah lama sekali sejak mereka terakhir kali menginjakkan kaki di tempat ini bersama-sama. Saat tawa masih terderai keras, dalam suasana penuh kehangatan dan keakraban.
“Pulang sekolah tadi, Tari pulang bareng gue.”
Ata berbicara tanpa menatap Ari. Pandangannya tertumpu pada satu titik di depan, menunggu detik-detik sang surya berganti bulan. Ari juga melakukan hal yang sama.
“Gue pingin tau, cewek seperti apa yang udah ngambil hati kembaran gue ini. Lo pasti tertarik sama dia bukan cuma karena kesamaan nama kita, kan?”
Ata tertawa renyah. Rahang Ari mengeras. Tangannya terkepal menahan emosi. Enggak, walau gimana juga dia sodara gue.
“Santai, Ri...” Dirangkulnya bahu Ari. “Gue cuma mau temenan aja sama dia. Nggak pa-pa, kan?”
Suara tawa Ata, keterdiaman Ari, serta semburat jingga di langit senja sempurna mengantar matahari menuju peraduannya.
*
Motor hitam itu perlahan mendekati gerbang rumah pengendaranya. Namun, kejutan! Di depan gerbang kokoh itu telah berdiri dua pemuda yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya – padahal sudah lewat tengah malam, berjam-jam sejak bel pulang sekolah berbunyi.
Sedari sore, Oji dan Ridho menunggu Ari pulang karena ponsel sahabatnya itu tidak bisa dihubungi.
Ari yang melihat wajah kedua sahabatnya langsung turun dari motor dengan emosi yang memuncak.
“Ngapain lo pada disini?!” Sergahnya penuh amarah. Oji langsung berdiri di hadapannya, bersikap menenangkan.
“Woops... Santai, Bos! Lo ngebolos, hape lo nggak bisa dihubungi, jadi– “
“Jadi kenapa lo nggak langsung kasih tau gue kalo Tari pulang bareng Ata, hah?!”
Oji menghentikan celotehannya demi mendengar kata-kata terakhir Ari. Ridho bergerak. Matanya memicing keheranan. “Lo tau darimana?”
“Bukan masalah gue tau darimana. Harusnya gue tau dari kalian!”
Dengan membabi buta dan tanpa fokus yang jelas, Ari melayangkan tinjunya ke segala arah. Oji dengan sigap menangkap tangan Ari, sebelum dirinya lebih banyak dijadikan sasaran tinju.
“Lo tau darimana Ri, kalo Ata yang nganter Tari?”
Dan Ari langsung kalap saat itu juga.
“Kenapa bukan lo berdua yang ngasih tau gue! Bahkan Tari pun bohong sama gue tentang siapa yang nganter dia pulang hari ini! Kenapa... Kenapa lo semua?!”
BUKKK!
Sebuah tinju melayang meninggalkan bekas lebam di wajah Ari. Setetes darah terlihat di sudut bibirnya.
Sebuah tinju dari Ridho.
“Dho, jangan gegabah!”
“Lo tanya kenapa gue sama Oji nggak langsung ngabarin lo kalo Tari diantar pulang sama kembaran lo?” Tidak biasanya Ridho mengeluarkan nada yang seperti ini saat berbicara dengan Ari, Nada
penuh kemarahan dan kekecewaan. Ridho yang biasanya tenang, nggak pernah sekalipun menatap Ari dengan pandangan terluka seperti ini!
“Lo tanya kenapa bahkan Tari juga tega ngebohongin lo tentang hal ini? Lo pikir kenapa, Hah?!”
BUUUKKK!
Kepalan tangan Ridho kembali mendarat di wajah Ari.
“”Lo pikir kenapa?! JELAS KARENA KAMI SEMUA PEDULI SAMA ELO, WOOOY!”
Oji melepaskan pegangannya pada Ari dan memosisikan dirinya diantara kedua sahabatnya itu dengan kepala tertunduk.
“Nggak ada satupun di antara kita yang mau liat lo hancur, Bos,” ujar Oji lemah.
“Gue yakin, Tari juga nggak mau lo berprasangka buruk sama sodara lo sendiri. Sama seperti alasan gue dan Oji, SAHABAT lo, yang nggak sesegera mungkin ngelaporin ini ke elo. SAHABAT, Ri, harus berapa kali gue harus negasin ini ke elo?!”
Ari merasa seperti mendapat tamparan keras. Pukulan dari Ridho tidaklah seberapa sakitnya dibandingkan dengan apa yang ia lihat dan ia dengar saat ini. Wajah terluka Ridho, wajah kecewa Oji, dan juga berbagai penjelasan dari mereka.
Seharusnya Ari tahu. Seharusnya Ari tidak selalu mengedepankan emosinya. Orang-orang ini... Bukankah mereka selalu membuatnya bangkit, apapun yang terjadi? Orang-orang ini... bukankah mereka yang selalu mengusahakan agar dirinya baik-baik saja?
Karena mereka adalah sahabat terbaik yang pernah Ari miliki, yang seharusnya ia percaya dan ia jaga.
“Maaf...” Ari berujar lirih. “Hanya saja... Hari ini terlalu banyak hal yang bikin gue stres.”
Ridho lah yang pertama kali merangkulnya. Kemudian disusul dengan Oji.
“Gue minta maaf kalo perbuatan gue tadi bikin kalian kecewa, meragukan kesetiaan kalian sebagai sahabat gue. Gue cuma... Gue takut.”
Di hadapan kedua orang ini, air mata Ari kembali terjatuh. Hanya di hadapan kedua sahabatnya ini Ari bisa menunjukkan isi hatinya yang sebenarnya.
Sahabat mana yang tega melihat hati sahabatnya terluka sehebat ini?
Bahkan sekalipun elo dan Ari adalah saudara... gue harus tau apa motif lo sebenarnya.
*
Sudah jam dua malam, namun Tari masih tak mampu memejamkan matanya. Masih tergambar jelas di ingatannya ekspresi Ari tadi. Ekspresi terluka yang beberapa minggu ini tidak pernah terlihat di wajahnya. Dan Tari, merasa ikut menyumbang andil atas luka yang tertoreh pada hari ini.
Dengan cara yang sangat unik, Tari merasa hatinya sempurna dimiliki oleh Ari, yang sejak awal sudah mengklaim dirinya sebagai milik pribadi. Maka tidak ada keraguan bagi Tari atas perasaan Ari terhadap dirinya. Meski Tari tahu pada awalnya perasaan itu hanya karena kesamaan nama yang ia miliki, namun sikap Ari beberapa minggu terakhir ini menguatkan keyakinan Tari bahwa kini, perasaan yang dimiliki oleh cowok itu bukan lagi karena sekedar kesamaan nama. Walau Tari masih gengsi dan terlalu malu untuk menanyakan semuanya secara langsung.
Tari kembali melirik ponselnya yang masih tetap membisu. Tidak ada telepon maupun SMS dari Ari. Baru kali ini Ari meninggalkan Tari tanpa sempat memberikan atau bahkan mau mendengarkan penjelasan. Setelah membanting ponselnya dengan marah, Ari langsung berlari keluar dengan murka, sangat cepat hingga Tari tak mampu mengejarnya. Besok hari Minggu, kemungkinan untuk mereka bertemu sangat tipis.
“Kenapa jadi gini, sih...”
Maafin saya, Kak Ari.
Hanya itu yang bisa Tari katakan lewat SMS. Semoga keadaannya nggak akan menjadi seburuk sebelumnya, deh...
*
Lampu salah satu kamar di rumah itu telah dipadamkan. Di seberangnya, seorang lelaki terus memandangi kamar yang sekarang sudah gelap. Layar ponsel di tangannya masih terus menampilkan SMS yang masuk dari gadis pemilik kamar tersebut.
Sekali lagi, Tar... Tolong. Gue berharap banyak sama elo.
*
Ada gosip-gosip yang beredar di SMA Airlangga. Tentang Matahari, tentunya. Saat ini SMA Airlangga memiliki tiga Matahari.
Berminggu-minggu sudah Angga memikirkan hal ini. Sudah terlalu lama ia berdiam. Bagaimanapun, balas dendam tetaplah rencana yang harus terus berjalan. Demi seseorang yang pernah menangis di hadapannya dua tahun silam.
Tangannya memegang selembar foto. Seorang gadis yang senyumnya terkembang lebar terekam indah disana.
“Maaf karena kamu harus terlalu lama menunggu, Kirana. Kak Angga janji, kali ini nggak akan menunda-nunda waktu lebih lama lagi
untuk menghabisi Ari. Demi segala kepedihan dan airmata yang telah kamu tumpahkan secara sia-sia...”
*
Sedari tadi ponselnya berdering kencang dan tanpa henti. Entah makhluk darimana yang tega mengganggu ketentramannya bermesraan dengan kasur di hari merdeka para siswa sekolahan. Gue masih ngantuuuuk!
“Halo!” Bentaknya pada lawan bicaranya.
“Sori, Tar. Gue ngeganggu ya?”
Suara ini... “A... Angga?”
“Halooo..” suara di seberang sana terdengar ramah. Bener, ini suara Angga!
“Eh, iya... Halo. Sori, tadi nyawa gue belom kekumpul. Lo nelponnya semangat banget, sih. Udah berkali-kali nggak diangkat masih aja keukeuh.”
Tawa geli terdengar dari ujung sana. Tari pun ikut tersenyum.
“Ketemuan yuk? Ada yang mau gue omongin.” Ajakan tersebut sangat menggiurkan. Rasanya sudah lama sekali Tari dan Angga tidak saling jumpa. Tapi...
“Sori, Ngga. Gue nggak bisa. Nggg... “ Tari memutar otak, mencari alasan bagus. “Mau nemenin Mama nyari kain, trus main sama Geo. Kangen! Kehidupan sekolah bikin gue jarang main sama Geo.”
Suara tawa di ujung sana telah berganti dengan helaan napas dalam. Ia tahu bahwa itu hanyalah alasan. Masih aja melindungi Ari, batinnya meremehkan.
Kata-kata yang meluncur dari mulut Angga selanjutnya diucapkan dengan sangat serius.
“Tar, jangan pernah dekat-dekat dengan orang yang namanya Ari, ya?”
Tari tertegun. “Kok lo tiba-tiba ngomong gitu?”
“Lo nggak akan aman kalo berada di dekat dia, Tar. Sebaiknya lo menjauh.”
“Tapi kenapaaaa?” Tari gemas. Belum selesai masalah yang satu, sepagi ini ia sudah mendapatkan serangan yang lain lagi. “Kak Ari sekarang udah berubah, kok. Dia nggak pernah usil lagi sama gue. Sikapnya sekarang jauh lebih manis. Kenapa – “
“Ini semua,” potong Angga tepat. “Nggak ada hubungannya sama elo. Ari, gue jamin, saat ini berada dalam posisi yang sangat tidak aman. Makanya Tar, please... Demi untuk menjaga lo, jangan pernah berhubungan dengan Ari lagi. Gue mohon.”
Apa maksudnya? Kenapa semua orang jadi bersikap seperti ini terhadap Kak Ari?
Telepon pagi itu terputus tanpa ada sepatah katapun keluar dari mulut Tari.
Tari duduk terpaku di kasurnya sembari memandang ponsel yang berada dalam genggamannya. Pandangannya kosong, tapi pikirannya berkecamuk. Ada apa kejadian akhir-akhir ini? Seperti rentetan peluru tanpa henti yang menghujam dada Tari. Hatinya langsung was-was. Karena firasatnya, ini hanya permulaan. Hanya permulaan. Yang sebenarnya belum dimulai. Peluru aslinya belum dikeluarkan. Tiba-tiba dada Tari sesak membayangkan kemungkinan terburuknya. Ya Tuhan… Jangan. Dia baru saja merasakan seperti apa kebahagiaan itu, saat ini...
Lamunan Tari terbuyarkan oleh suara dering ponsel yang berteriak nyaring. Tari langsung melotot. Telepon dari Ari. Aduh! Sepagi ini! Hatinya gamang, menimbang apakah ia harus mengangkat telepon atau tidak.
Mengangkat telepon berarti masalah baru. Tidak diangkat berarti bencana baru. Tari menghela napas panjang dan berat. Akhirnya Tari mengangkat telepon itu – meski dengan jantung yang ingin melesak dari tempatnya.
“Halo…”
“Pagi, Sayang… baru bangun? Lama amat angkat teleponnya.”
Tari mengernyitkan dahi, bingung. ”Siapa yang lo panggil sayang? Pagi-pagi udah ngaco aja!”
Mendengar omelan barusan, Ari tertawa terbahak.
”Buka jendela kamar, deh.”
Tari mengernyit, kemudian melakukan apa yang diperintahkan oleh Ari. Gadis itu hampir tak mampu menyembunyikan senyum gelinya.
Di seberang jalan, Ari sedang melambaikan tangan kanannya, dengan ponsel yang ia jepit antara pundak dan telinga, sedang tangan kirinya merangkul sebuah boneka teddy bear berukuran super besar yang duduk di kap mobil yang baru pertama kali dilihat oleh Tari. Tari geleng-geleng kepala seraya menutup telepon, kemudian langsung menghampiri Ari.
“Lo gokil, Kak. Sumpah! Ngapain coba?” Omel Tari, tapi dengan menyunggingkan senyum lebarnya.
“Suka?” Ari mengenggam tangan Tari. Tari mengangguk. Ari tersenyum, kemudian mengacak rambut Tari.
”Temenin gue jalan, yuk. Mau?”
Tiba-tiba Tari gugup. Sepagi ini! Dicarinya alasan untuk mengulur waktu. Dan dapat! Matanya melirik pada sedan hitam yang terlihat sangat bergaya. “Mobil baru?”
“Khusus buat jalan sama elo, nih,” jawab Ari cuek. “Udah, buruan siap-siap sebelum makin siang malah kena macet, ntar.”
“Tapi gue belum mandi… belum sarapan… belum ijin Mama… Geo – “
Cup! satu kecupan mampir di pipi Tari. Dengan muka merah seperti kepiting rebus, Tari melotot. Yang dipelototi hanya tertawa.
“Makanya. Jangan cerewet. Gue kasih waktu sejam, ya, baru kita berangkat. Sekalian gue cari muka dulu sama calon mertua.”
“Calon mertua? Siapa calon mertua? Lo kalo pagi jadi genit, ya! Ini nih, akibat terlalu banyak bergaul sama Kak Oji!” Omel Tari tanpa memandang muka Ari sedikitpun. Maluuuu! Ari cuma tertawa geli.
Masalah Angga… terlupakan.
*
Di sebuah kebun bunga di wilayah Bogor.
Disanalah sekarang Tari dan Ari berada. Tari tak bisa menyembunyikan senyumnya melihat lelaki yang sekarang sedang rakus memakan bekal yang tadi pagi Mamanya siapkan secara mendadak – karena Ari dengan sok manja meminta Mama membuatkan bekal untuk pikniknya bersama Tari.
“Gue bakal diem aja kaya gini sampe lo puas liatin gue, deh. Apa gue seganteng itu sampe lo nggak berkedip ngeliatin gue?” Tanya Ari dengan muka datar – meski tak tersembunyi nada geli disana.
“Beneran deh, Kak. Lo kebanyakan gaul sama Kak Oji, makanya jadi aneh begini!” Tari berdecak. ”Gue heran aja ngeliatin orang yang makannya rakus banget, kayak elo sekarang ini. Ckckck...”
“Ini namanya menikmati makanan, Jingga Matahari. Maklumin aja, gue jarang makan masakan rumahan kaya gini,” jawab Ari sembari menjilati tangannya.
“Nah, kan... Jorok,” tegur Tari lembut, seraya menarik tangan Ari dan membersihkannya dengan tissue basah. ”Kalo Kakak emang pingin dimasakin bilang aja, nanti gue bawain.”
Ari menggelengkan kepalanya seraya berdecak, berakting terharu.
“Ya ampuuuun, perhatian sekali, kamu ini. Pas banget jadi calon istri gue!”
Tari menghela napas. Sudah lama ia belajar untuk tidak menggunakan banyak emosi ketika menghadapi si Jahil yang satu ini. Selain buang-buang waktu dan napas, ia harus menabung emosinya untuk cadangan bila ada drama dadakan lagi!
“Kak… yang kemarin itu – “
“Gue udah lupa. Sebaiknya lo juga,” potong Ari tegas. ”Eh ini cobain deh ini kue bolunya enak banget.”
Ari mengulurkan kue bolu, membelokkan topik pembicaraan. Mengerti bahwa ia sudah dimaafkan, Tari mendesah lega. Diambilnya kue bolu yang ditawarkan oleh Ari.
Sampai saat ini, semuanya sudah lebih dari cukup.
Never knew, I could feel like this
It’s like I’ve never seen the sky before
Want to vanish inside your kiss
Everyday, I’m loving you more and more
Listen to my heart
Can’t you hear it sing ?
Come back to me
And forgive everything
Season may change
Winter to spring
I love you
Until the end of time
Come what may , come what may, come what may, come what may
I will love you until my dying day
Come what may, come what may
I will love you until my dying day
Come what may, come what may
I will love you until the end of time
(Come What May, Ost Moulin Rounge, Evan Mc Gregor feat Nicole Kidman)
*
Buku jari tangan Angga memutih. Mukanya kaku dan menegang melihat adegan mesra yang terpampang di depannya. Rasanya ia ingin berlari menghampiri mereka kemudian menghajar si lelaki habis-habisan. Benar-benar habis-habisan. Kali ini bukan masalah Kirana, adiknya, yang mendominasi. Tapi juga hatinya sendiri! Belum pernah ia merasa sekalah ini. Belum pernah ia merasa lebih tidak berdaya dibanding ini.
Merasa ada yang aneh dengan sikap Tari yang mendadak sangat membela si bangsat Ari, merasa teguran – maksudnya ancaman tersiratnya tidak diindahkan, Angga memutuskan untuk pergi ke rumah Tari saat itu juga, untuk bertemu mata dan berbicara langsung. Tetapi ternyata ia kalah langkah!
Disana sudah ada Ari yang sedang bercanda dengan Geo ditemani Tari yang memeluk boneka Teddy Bear super besar dan tanpa mengalihkan pandangannya sedetikpun dari Ari. Namun hal itu awal dari keterkejutannya, karena beberapa saat kemudian Ari menggandeng Tari dan membimbingnya ke mobil, terlihat tertekan sama sekali, mlaah cenderung sangat menikmati! Penasaran, Angga pun mengikuti mereka. Keterkejutannya bertambah karena ternyata Ari membawa Tari piknik di sebuah kebun bunga, seperti pasangan mesra pada umumnya. Dan sialnya… Tari terlena!
Persetan dengan Anggita. Angga panas. Harusnya ia tidak pernah meninggalkan Tari. Seharusnya ia tetap berada di samping Tari apapun yang terjadi. Andai saja ia tahu bahwa keadaannya menjadi seperti ini. Andai saja ia tahu bahwa kali ini… lagi-lagi si cowok bangsat itu pemenangnya!
Angga menarik napas. Panjang dan berat. Sebuah keputusan sudah diambil. Kelihatannya ia memang harus benar-benar menjalankan rencananya. Dan kalaupun Tari menjadi terseret, mungkin memang itu sialnya. Salah siapa dia dekat-dekat dengan trouble maker. Yang penting Angga sudah memberi peringatan dan mencoba melindungi Tari. Tapi bukan salah Angga jika Tari menyongsong perang yang akan terjadi dan kemudian ikut terluka.
Konsekuensi. Selalu ada korban yang tidak bersalah. Kali ini Angga harus fokus dengan Kirana.
Angga membalikkan badannya, memutuskan untuk pulang. Namun jantungnya serasa berhenti seketika.
Di depannya telah berdiri Ari.
Tapi gimana bisa Ari berdiri di depannya jika baru sedetik yang lalu ia lihat Ari sedang bermesraan dengan Tari? Refleks ia menoleh ke
belakang. Pemandangan pasangan-paling-bahagia-sejagad-raya ternyata masih ada. Kalau begitu ini… Matahari yang satunya lagi!
“Ata.”
Ata, berdiri di depan Angga, mengulurkan tangannya. Intonasi suara dan raut wajahnya terlihat sangat tenang. Namun peribahasa berkata bahwa air tenang menghanyutkan, bukan?
Angga tidak membalas uluran tangan Ata. Ia berusaha menganalisis situasi.
”Mau apa, lo? Gue sama sekali nggak ada urusan sama lo.”
“Oh, tapi gue ada urusan sama lo,” ujar Ata kalem. ”Lo punya urusan apa sama kembaran gue? Dia bikin salah apa sama lo?”
“Sama sekali bukan urusan lo,” jawab Angga dingin.
“Justru itu segalanya menyangkut gue.”
“Mau lo apa?” Tanya Angga, mengulang pertanyaannya, kali ini dengan intonasi lebih tenang meski tidak mengurangi kewaspadaannya.
“Gue mau ngajakin lo kerjasama,” ujar Ata sambil tersenyum. ”Gue bantuin rencana lo, apapun itu.”
Angga terperangah. Apa ini jebakan? Tapi tawaran ini sangat menggiurkan. Jika ada orang dalam yang berada di kubunya...
“Jadi, istilah darah lebih kental daripada air tuh nggak berlaku disini?”
“Gue nggak ngelihat gue harus jelasin apapun ke elo,” jawab Ata diplomatis.
“Gue harus memastikan. Lo tau, gue nggak segoblok itu.”
“Satu yang bisa gue pastiin adalah, gue nggak akan ngekhianatin lo dan ngelanggar perjanjian kerjasama kita – itupun kalo lo setuju untuk bekerja sama. Dan kerjasama ini pastinya nguntungin lo. Kalo lo
emang nggak segoblok itu… Yah, lo tau lah harus jawab apa atas tawaran gue ini.”
Angga terperangah.
*
“Mataharinya dimakan langiiiit!”seru Tari takjub melihat fenomena matahari tenggelam. Masih di kebun bunga dan masih disamping lelaki yang rakus memakan bekal makanannya. Hanya saja kali ini matahari senja yang bersinar malu-malu, menaungi dua anak muda yang sedang takjub melihatnya.
Ari tertawa. Tari selalu membuatnya tidak berhenti tersenyum. Dengan tingkah polosnya atau sifatnya yang meledak-ledak. Perhatiannya yang tidak kentara dan kegalakan gadis itu saat menghadapi dirinya. Gemas, Ari langsung merengkuh Tari dalam rangkulannya. Dikecupnya puncak kepala Tari dengan lembut. Tari cuma bisa kaget.
“Kamu ini. Nggak bisa dibayangin hidup gue tanpa lo, Jingga Matahari.”
Tari terperangah. Ia tak menjawab. Mukanya memerah. Ia menunduk, tak berani memandang lelaki yang berada di depannya. Lelaki yang telah memiliki hatinya dengan cara yang tidak biasa… tapi sempurna!
“Lo tau filosofi bunga matahari, Tar?”
Tari menggeleng. Ari tersenyum kemudian melanjutkan perkataannya. ”Bunga matahari selalu condong pada matahari. Dia selalu mendongak dan hanya memandang satu arah. Hanya pada matahari.”
“Oh…” Tari mengangguk.
“Gue…” Ari menelan ludah. Terdiam sejenak, seakan menimbang akan melanjutkan perkataannya barusan atau tidak. Kemudian Ari membulatkan tekadnya.
“Gima kalo.... bisa nggak, lo cuma ngeliat ke satu arah aja? Bisa nggak lo hanya memandang ke arah gue?”
*
Tubuh Tari menggigil. Sudah sejak sore kemarin ia merasa lelah, gelisah dan gugup sekaligus. Membuatnya terjaga semalaman, membuatnya kacau sedemikian rupa sehingga kali ini puzzle tak mampu lagi menahan kegelisahan hatinya. Bahkan untuk bercerita pada sahabatnya, Fio, ia masih belum sanggup. Ia masih terlalu masih kaget dan shock untuk mencerna. Semua ini gara-gara pertanyaan Ari kemarin sore yang hanya ia jawab dengan pelototan mata dan desah keterkejutan. Yang tak ada follow up nya lagi dan hanya ditanggapi dengan tawa renyah serta acakan lembut di kepalanya.
Tari harus apa? Harus jawab apa? Harus bersikap seperti apa? Apakah ini hanya pernyataan dan bukan pertanyaan tanpa butuh jawaban? Atau ini peneguhan atas statusnya?
Namun baginya ini masih terlalu blur. Dan Tari tidak mau menebak, takut asumsinya salah. Tapi untuk bertanya… ia tak mau. Terlalu malu.
“Tariiii! Bangun!” teriak Mama sembari mengetuk pintu kamarnya. Tari mendengus. Bahkan Tari belum tidur dari malam, Ma! Keluhnya dalam hati.
“Ya, Ma, Tari mandi!” Balas Tari. Ia mengambil handuk, kemudian langsung mandi.
“Tariiii!” Pekik Mamanya lagi, sekitar sepuluh menit kemudian. Pas sekali ketika ia selesai mandi dan mulai bersiap. Tari
mengernyitkan dahi kemudian melirik jam dinding. Masih pukul setengah enam. Masih ada waktu. Kenapa Mamanya sepanik ini?
Segera ia berdandan kilat kemudian langsung menuju dapur, menghampiri Mamanya.
“Kenapa, sih, Ma?” tanyanya heran.
“Astaga… kamu belum siap juga?” Mamanya histeris. Kamu ini gimana, sih? Itu Nak Ari kenapa dibiarin nunggu? Siapin susu, roti, atau apa, gitu. Kamu ini. Nggak sopan sama tamu,” omel Mamanya yang sedang sibuk membuat nasi goreng.
Tari melongo kemudian dengan cepat ia menuju ruang tamu. Ari sudah duduk disana dengan seragam lengkap dan rapi, sembari tersenyum sok manis.
“Kakak punya hobi bikin orang jantungan, apa? Senengnya ke rumah orang pagi-pagi,” omel Tari untuk menutupi kegugupannya. Ari menjawab lembut dan beda jauh dengan omelan yang barusan Tari lemparkan.
“Selamat pagi juga, Tari. Iya, gue baru aja dateng buat pergi sekolah bareng. Iya, belum sarapan juga. Yuk, gue tungguin lo siap-siap berangkat.”
“Yee… gue mah udah siap. Udah bawa bekal. Lagian Kak Ari, bukannya sarapan dirumah, malah ngerecokin rumah orang.”
“Ada post test hari ini,” ujar Ari dengan muka sedih. ”gue harus berangkat pagi. Tapi gue nggak tega ngebiarin cewek gue naik bus sendiri, makanya sekarang terpaksa gue jemput dia pagi-pagi. Nggak pa-pa, ya? Sekali-kali.”
Jawaban itu terdengar sangat polos dan... Menggemaskan!
“Cewek yang mana?” Tari pura-pura bodoh. ”Mamaaa! Tari berangkat sekarang yaaa!” Teriak Tari pada ibunya yang masih sibuk di
dapur. Mama hanya mengangkat spatula tanda merestui kepergian Tari ke sekolah.
“Hari ini bawa mobil lagi, Kak?” Tanya Tari retoris melihat mobil yang terparkir di ujung gang.
“Iya, kan biar lo bisa tidur bentar di perjalanan. Semalem nggak tidur, kan? Mikirin gue, pasti…” ujar Ari setengah menggoda.
Menohok! Pernyataan yang sangat menohok. Tari memilih diam dan tidak menjawab pertanyaan Ari tersebut. Mobil melaju perlahan.
“Bener, kan? semalem nggak tidur, kan?” Tanya Ari lagi.
Tari mendengus. ”Apa, sih, Kak…”
“Soalnya… gue ada di luar kamar lo dari semalem dan gue cuma pulang buat mandi sama ganti baju. Gue sama nervousnya kayak elo, Jingga Matahari.”
*
Meski ini bukan pertama kalinya, namun pemandangan pentolan sekolah menggandeng Tari ke sekolah membuat terkejut banyak orang. Bisik-bisik mengiringi selama mereka berjalan, membuat Tari sangat risih menjadi pusat perhatian. Kaya nggak pernah lihat orang pacaran aja!
Namun kemudian Tari tercenung. Ups… pacaran? Ia menyebut dirinya dan Ari sekarang… pacaran?
“Oh, sekarang udah open, ya, hubungannya? Kok nggak ada makan-makan?” Ledek Ridho yang menghampiri Ari dan Tari.
Muka Tari memerah. Ari tertawa terbahak.
“Nanti aja gampang, di belakang. Yuk, gue nganter Nyonya ke kelas dulu.”
Ridho melongo.
”Eh… ini… beneran? Beneran, Ri!?”
Ari memasang tampang datar. ”Hmm? Apanya yang bener?”
Ridho menggeleng, kemudian ia beralih ke Tari.
”Tar, ini beneran, lo sama Ari!? Beneran? Lo sekarang jalan dengan sukarela, kan, bukan diculik?”
“Astaga… lo suudzon banget sih ke gue,” Ari memasang tampang terluka. ”Emang gue sejahat itu? Ckckck. Ayo, Tar, klarifikasi! Sebelum ada yang mikir gue pasang pelet ke elo!”
“Apa, sih, Kak…” muka Tari memerah karena malu.
Ridho masih ingin mendesak Tari dan Ari lagi, namun langsung ia urungkan niatnya karena melihat Oji berlari dengan terengah-engah menuju ke arah mereka. Mendadak suasana menjadi sangat tegang dan mencekam.
“Ada apa, Ji?” Tanya Ridho cemas.
“Brawijaya… Brawijaya mau nyerang!” jawab Oji sedikit histeris. ”serangan tiba-tiba, Bos! Mereka akan kesini dalam sepuluh menit!”
Ari tercengang, namun otaknya langsung berpikir cepat.
“Lo, Dho, siapin anak-anak. Lo, Ji, evakuasi siswa dan guru sama siapin peralatan di gudang. Biar gue yang ngehadang di pintu depan. Lo, Tari… ikut Oji,” perintah Ari dengan nada suara yang dipaksakan tenang. Ia sudah terlatih dalam hal ini.
Rahang Tari mengeras. Ia menghela napas, kemudian menetapkan hati. Dengan suara yang dipaksakan kuat, ia berkata, ”Nggak. Gue nggak mau ikut Kak Oji. Dan kalian nggak boleh tawuran. Kalo kalian tawuran… gue ikut!”
Ari meremas rambutnya, gemas. Apalagi ini!
“Kalian langsung jalan aja. Lima menit lagi gue nyusul,” katanya tegas pada Ridho dan Oji. Keduanya langsung bergegas lari.
“Sori, Tar! Ini masalah harga diri sekolah kita!” Teriak Oji sambil lalu.
Tari hanya bisa melotot tanpa sanggup mencegah keduanya berlari. Satu-satunya orang di sampingnya saat ini hanyalah Ari, yang saat ini sudah memandang lurus ke arahnya.
“Dengerin gue, Tar. Gue harus pergi. Gue harus memimpin mereka semua untuk melindungi sekolah kita. Gue–“
“Pokoknya kalo Kak Ari maju, gue juga maju!”
“Ini masalah serius, Tar!”
“Gue juga serius!”
“TARI! AIRLANGGA DALAM BAHAYA! Stop bersikap kekanakan dan nurut sama kata-kata gue!”
Setelah beberapa minggu terakhir tidak pernah membentak Tari, akhirnya Ari melakukannya. Bentakan itu membuat Tari terdiam untuk beberapa saat.
“Gue... nggak bersikap kekanakan,” kata Tari lirih. “Sekolah kita ini... Brawijaya yang nyerang. Itu berarti, lo bakal berhadapan sama Angga. Gue cuma...”
Tari terdiam. Berat rasanya untuk memberitahukan pada Ari mengenai ucapan Angga kemarin. Gantungnya kalimat Tari membuat sang panglima perang di hadapannya memikirkan hal yang sebaliknya.
“Lo nggak ngijinin gue pergi cuma karena lo kuatir sama keselamatan Angga?”
“Bukan itu!” Kali ini Tari sungguh-sungguh menggeleng dengan keras, mementahkan semua tuduhan Ari sambil membatin, setelah kebersamaan kita kemarin, kenapa lo kira gue harus nguatin Angga, sih?
Ari menaikkan sebelah alisnya, sambil menoleh ke arah lapangan dengan cemas. Semua sudah berkumpul, tinggal kehadirannya ke tengah lapangan untuk membicarakan strategi pertahanan.
“Gue udah nggak punya banyak waktu lagi. Lo masuk kelas, sekarang!”
Sang Panglima Perang membalikkan badannya hendak meninggalkan Tari yang sikapnya sangat tidak ia mengerti.
“Kalo... KALO EMANG LO BENERAN SAYANG SAMA GUE, LO NGGAK BOLEH IKUTAN TAWURAN!!”
Entah keberanian darimana yang membuat Tari meneriakkan hal itu. Semua mata siswa-siswi SMA Airlangga tertuju padanya. Bisik-bisik mulai terdengar dari mulut siapa saja yang mendengar teriakan Tari barusan. Tapi, bukan saatnya Tari bersikap malu-malu dan lari dari tempat ini. Saat ini, yang penting Ari dan Angga tidak bertemu. Apapun yang menunggu Ari di depan pastilah bukan sesuatu yang baik, dan Tari sama sekali tidak ingin Ari mendapatkannya. Dia baru saja mendapatkan kebahagiaannya kembali, Tuhan...
“Ckck... Kalo semua pahlawan kita nggak jadi terjun ke medan perang gara-gara ceweknya ngomong persis kayak lo tadi, gue nggak yakin sekarang Indonesia udah merdeka.”
Suara itu!
Ata muncul dari balik kerumunan yang masih berbisik-bisik heboh, menambah keriuhan suasana disana. Pada tangan kanannya tergenggam sebuah bola tenis usang.
Ari bisa merasakan waktunya semakin mendesak, apalagi Oji dan Ridho sudah meneriakinya berkali-kali dari tengah lapangan.
“Gue titip Tari, Ta!”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Ari langsung berlari meningalkan keduanya. Tari speechless. Bahkan keberaniannya tadi menguap sia-sia tanpa ada tanggapan sedikitpun. Baru saja ia melangkahkan kakinya untuk mengejar Ari, tangan kokoh Ata sudah lebih dahulu mencegahnya.
“Lepasin gue!”
“Lo lagi jadi tanggung jawab gue,” ujar Ata kalem.
“Tapi gue mau nyusulin Kak Ari!”
“Iyaaa, tapi lo juga lagi jadi tanggung jawab gue.” Ata nggak kalah ngotot dengan super ngeselin. Tari melotot. Sebel! Ata hanya mendengus.
“Heh,” Ata berseru agak keras. Tangannya memainkan bola tenis yang sedari tadi ia genggam. “Menurut lo buat apa gue bawa-bawa bola butut ini?”
Tari memicingkan matanya, mencoba mencerna perkataan Ata barusan.
“Lo... juga bakal terjun?” tanyanya ragu-ragu. Yang ditanya malah berjalan lurus ke arah lapangan.
“Cuma liat-liat aja, sih. Jalan di belakang gue kalo emang lo berminat.”
Lagi-lagi Tari melongo. Dasar Kak Ata sinting!
*
Serangan dari SMA Brawijaya kali ini adalah yang terbesar setelah berbulan-bulan keadaan tenang. Entah apa yang menjadi pemicunya, bahkan Ari tidak dapat menebak apa motif di balik penyerangan kali ini. Malah justru Ari heran. Bukankah di antara mereka sudah ada kesepakatan tak tertulis? Masalah yang Ari yakini sebagai dendam pribadi Angga yang entah apa, bukankah mereka sudah melakukan gencatan senjata dengan saling memegang kartu As masing-masing?
Untungnya semua yang berpartisipasi membela nama baik sekolah kali ini merupakan orang-orang yang mudah diarahkan dan cepat tanggap. Nggak percuma Ari selama hampir dua tahun memimpin mereka. Berbekal pengetahuan siswa-siswa SMA Airlangga mengenai titik-titik penyerangan yang biasanya digunakan oleh SMA Brawijaya, semuanya telah bersiap di pos-pos yang telah ditentukan.
Maka, ketika rombongan SMA Brawijaya tiba dengan suara lantang, lemparan-lemparan itu tak dapat dihindari. Karena serangan ini terjadi sebelum bel sekolah berbunyi, banyak siswa SMA Airlangga yang bakan menjadikan alat tulisnya menjadi senjata perang selain batu dan kayu.
Di tengah adu fisik dan lemparan batu tersebut, Ari melihat dengan jelas sosok pentolan Brawijaya yang menatapnya tajam. Sosok itu berdiri tegak di tengah-tengah pasukannya yang menyerang Airlangga dengan brutal.
Anggada.
Di tangannya tergenggam sebuah balok kayu. Namun bukan itu yang membuat Ari bergidik.
Dengan pandangan matanya, Angga menuntun Ari pada dua Matahari SMA Airlangga selain dirinya yang berdiri di dekat gerbang. Ada Tari yang berlindung di balik punggung kokoh Ata, yang celingukan polos memandangi kekacauan yang terjadi disana.
Ari dapat melihatnya dengan jelas. Disana. Tari sedang menatap Angga, entah dengan jenis tatapan yang seperti apa. Lalu kemudian berganti memandangi dirinya. Hingga kemudian dengan senyuman lebar, Angga berjalan santai menghampiri Tari. Gadis itu otomatis menarik lengan Ata, ingin pergi saja dari tempat itu dan menuju Ari. Namun Ata hanya diam disana, tak ingin beranjak dari tempatnya berdiri saat ini.
Karena bagi Ata, apa yang sedang ia lihat saat ini patut dipelajari untuk rencananya selanjutnya.
Ari sudah tidak fokus lagi pada pertarungan yang sedang ia pimpin. Bahkan ia sudah tidak memikirkannya. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah Angga yang akan menghampiri Tari, entah untuk apa. Jangan sampe ada sandera lagi!
“RIDHO! AMBIL ALIH!”
Ridho, yang baru saja berhasil menimpuk salah seorang anak Brawijaya tak sempat bertanya apa-apa, karena Ari sudah lebih dahulu melesat ke tempat Tari berada. Dibantunya Ari agar bisa berlari bebas tanpa timpukan batu.
Namun, sebelum berhasil mendekati Tari, ada seseorang yang menubruk cowok itu dengan secepat kilat.
“Ups, sori.”
Ari melihat tepat di pada manik mata orang yang menabraknya. Orang yang sama yang pernah ia lihat saat menjemput Tari dan Fio di Brawijaya. Orang yang sama yang merekamnya bersujud. Orang itu langsung berlari meninggalkan Ari di jalan.
Ari bisa merasakan seragamnya basah. Darah segar mengalir di bagian kanan bajunya. Sial! Rutuknya dalam hati. Rasa sakit yang perlahan datang itu pun tak ayal membuat Ari jatuh tersungkur.
Tari yang pertama kali melihat kejadian itu sontak berteriak histeris seraya berlari. Masa bodoh dengan segala macam keributan serta Ata yang susah diajak berpindah dari gerbang!
“KAK ARIIIIII!!”
Demi mendengar jeritan Tari, Ridho dan Oji yang berada tak jauh dari situ mengalihkan pandangannya, dan terkejut melihat Ari terkapar! Mata mereka nyalang mencari pelakunya, yang siapapun itu pastilah anak Brawijaya. Sialnya, jejak si penusuk telah berbaur dalam lautan manusia dan segala kekacauan pagi ini.
“ARI TUMBAAAANNNGG!! OJI, CEPET LO BAWA MOBIL ARI!!” Ridho berseru lantang. “SEMUANYA FOKUS!! HABISIN TU BRAWIJAYA BRENGSEEEKK!!”
Ata masih berdiri di tempatnya, di depan gerbang sekolah. Ekspresinya tak terbaca, hanya memandangi dari jauh saudara kembarnya yang terluka parah. Tidak menghampiri. Inginnya tidak peduli, namun hatinya tetap saja gusar. Rasa gusar yang tidak ia yakini akan hadir untuk Ari.
Di antara semua kepanikan itu, dengan ujung matanya Ridho melihat Ata yang tidak berpindah seinchi pun dari tempatnya berdiri. Bahkan ketika Oji melesat melewati Ata di depan gerbang, cowok itu tetap diam. Sialan! Sodara macam apa! Rutuk Ridho dalam hati. Ini sodara kembar lo yang lagi sekarat!
Ata menjernihkan pikirannya. Pandangannya kini beralih menuju Angga yang sudah berjarak dua meter di depannya.
Lihatlah wajah Angga. Wajah itu... seringai puas tergambar jelas pada wajahnya!
*
“Selamat pagi, Bapak Yudhistira. Saya Rahardi, kepala sekolah SMA Airlangga. Saya secara pribadi sekaligus mewakili pihak sekolah ingin mengabarkan bahwa anak Bapak, Matahari Senja, yang pagi ini terlibat tawuran dengan SMA Brawijaya... saat ini berada di rumah sakit akibat terkena tusukan benda tajam. Kami sangat menyesali kejadian ini. Saya selaku Kepala Sekolah secara pribadi memohon maaf karena tidak dapat menghindarkan anak Bapak dari kejadian ini. Ari saat ini sedang ditangani di Rumah Sakit Harapan Kita.”
Telepon dari Bapak Rahardi, Kepala Sekolah SMA Airlangga sepuluh menit yang lalu membuat Yudhistira terkejut. Ia, yang biasanya acuh jika Ari tawuran, karena pasti hanya meninggalkan luka memar biasa yang akan hilang dengan sendirinya. Bukannya Yudhistira tidak tahu. Bahkan ia lebih dari sekedar tahu bahwa anaknya adalah remaja yang sangat jago dalam berkelahi. Bukan berarti pula ia, sebagai orang tua, tidak ingin melindungi anaknya. Ia sangat ingin melindungi Ari. Namun,
ia bersyukur karena ternyata Ari dapat melindungi dirinya sendiri. Tanpa perlu adanya pengawasan, tanpa perlu adanya penjagaan yang berlebihan.
Di atas semua itu, Yudhistira sudah cukup disibukkan oleh pekerjaannya. Sebaiknya mencurahkan perhatian untuk mengumpulkan pundi-pundi uang saja, toh akan digunakan untuk keperluan Ari juga, begitu yang ada di pikirannya.
Namun kali ini ia tidak bisa lagi berpura-pura tidak peduli. Karena walau bagaimanapun, Yudhistira adalah seorang ayah dan Ari adalah anak yang saat ini, merupakan satu-satunya hal berharga yang ia miliki.
*
“Nak Tari!”
Itu suara Mamanya Ari, yang berlari tergesa di koridor rumah sakit. Tari yang terduduk di depan UGD langsung menghampirinya.
“Tante!”
“Ari gimana kabarnya, Nak? Lukanya bagaimana?!”
Tari dapat melihat kecemasan disana. Perasaan seorang ibu. Airmata yang mengaliri wajahnya adalah wujud perhatian seorang ibu, yang tidak pernah lagi Ari dapatkan sejak sembilan tahun berlalu.
“Kak Ari nggak pa-pa, Tan. Kata dokter lukanya nggak begitu dalam. Ini lagi siap-siap untuk dipindahin ke ruang perawatan,” Tari menjelaskan setenang mungkin, karena dalam situasi seperti ini, satu orang panik saja sudah cukup membuat suasana tidak terkontrol. Dan
yang dibutuhkan oleh Mamanya Ari adalah jawaban yang menenangkan, tentunya.
Mendengar hal tersebut, bibir wanita paruh baya itu mengucapkan syukur yang tak terkira. Namun hatinya tetap saja gusar karena belum melihat sendiri kondisi anaknya.
Oji datang menghampiri keduanya dengan membawa teh. “Duduk dulu, Tante. Sambil diminum tehnya,” tawarnya sopan. Mama Ari mengucapkan terima kasih seraya menerima uluran tangan Oji.
“Temannya Ari, ya?”
“Iya, Tante. Nama saya Oji.”
“Terima kasih ya, Nak Oji, karena sudah membawa Ari ke rumah sakit dengan cepat,” wanita itu berujar tulus. Oji hanya bisa tersipu malu.
“Ata dimana ya, Nak Tari? Daritadi Tante belum melihat Ata.”
“Oh, itu...” Tari jadi kikuk, lebih karena ia sendiri baru tersadar mengenai absennya Ata di tempat ini.
Namun, kedatangan Ridho menjawab semua pertanyaan itu.
“Ata masih di sekolah, Tante. Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan,” ujarnya seraya menyalami Mama Ari. “Saya Ridho, yang tadi nelpon Tante.”
“Nak Ridho...” Mama menepuk punggung Ridho dengan lembut. “Terima kasih, ya, karena segera menghubungi Tante.”
Ketiganya tersenyum canggung. Syukurlah, walaupun tahu bahwa kondisi Ari begini karena tawuran, Mama Ari agaknya tidak
mempermasalahkan hal itu. Atau setidaknya belum. Karena keramahan wanita ini sangat membuat Ridho dan Oji – yang penampilannya jauh dari kata rapi – nyaman.
Diam-diam, Oji menyikut Ridho, menuntut penjelasan.
“Ata yang ngelanjutin, gue fokus menghubungi pihak sekolah dan ortu Ari sebelum ke rumah sakit.”
Ngelanjutin apaan? Tawurannya? Oji ingin bertanya lebih, namun pertanyaannya tersangkut karena pintu UGD terbuka. Sebuah kasur didorong keluar, dengan Ari yang masih tak sadarkan diri terbaring di atasnya.
“Jangan khawatir, Bu. Saat ini kondisi Ari sudah stabil. Untunglah lukanya tidak begitu dalam serta teman-temannya membawa anak Ibu kesini tepat waktu, sehingga tidak banyak darah yang keluar.”
Begitulah penjelasan dokter – sekali lagi – pada Mamanya Ari, sebelum kemudian Ari dibawa menuju ruang inapnya.Wajah Ari yang walaupun terdapat memar, namun menampakkan kedamaian. Seperti baru kali ini dapat tertidur setelah sekian lama.
*
SMA Airlangga telah sepi dari tawuran. Pasukan Brawijaya sudah pergi. Yang tersisa disana hanyalah Angga, yang saat ini sedang berhadapan langsung dengan Ata.
“Jago juga lo ngambil hati anak-anak Airlangga.”
Itulah kalimat yang pertama kali Angga ucapkan setelah keduanya bebas.
“Ini nggak ada apa-apanya.”
Angga mendengus. “Nggak berminat nyusulin kembaran lo yang lagi sekarat?”
“Nggak cukup lo ngeliat gue asik ngunyah permen karet daripada ngasih dia pertolongan?”
Barulah Angga tertawa keras. Ini baru lucu! “Selera humor lo oke juga.”
Demi sopan santun atas kerjasama yang baru saja tercipta, Ata ikut tertawa. Namun dalam hatinya tercipta satu dendam baru. Bukan pada Angga – setidaknya untuk saat ini.
Tapi Bram.
*
Dia ada disana. Dia masih secantik dahulu, walau terdapat kerutan-kerutan halus di kulitnya karena tuntutan usia.
Lihatlah saat matanya memandang dengan cemas. Masih sama seperti dulu. Wanita yang sedang terduduk di dalam ruang perawatan itu... Laksmi. Mantan istrinya yang sejujurnya sangat ia rindukan.
Merasa ada yang memerhatikan. Laksmi menoleh ke arah pintu. Disana, ia dapat melihat dengan jelas sosok pria yang sudah sembilan tahun lebih tidak pernah ia temui. Pria itu... ayah dari kedua Matahari kembarnya.
Wanita itu segera bangkit dari tempat duduknya, berjalan keluar dari ruangan tersebut. Kemudian keduanya duduk di bangku rumah sakit yang terletak tak jauh dari ruangan tempat Ari dirawat.
Selama beberapa saat, tidak ada sepatah katapun yang keluar untuk memecah kesunyian yang terjadi di antara keduanya. Bahkan, sunyi ini menjadi teman terbaik untuk masing-masing menenangkan hati yang sedang porak poranda. Laksmi tahu, cepat atau lambat mereka pasti akan berjumpa.
“Sudah lama, ya...” Akhirnya, Yudhistira yang pertama kali angkat bicara. Memang basi, namun terkadang, kata-kata yang terlalu basi itupun merupakan awal yang baik untuk memulai suatu percakapan. Laksmi tersenyum. Senyum yang bahkan masih sama seperti dulu...
“Terima kasih, ya, karena sudah menunggui Ari seb – “
“Saya menjaga Ari,” potong Laksmi pelan, “bukan menunggui. Ari adalah anak saya.”
Suasana kembali sunyi, hanya ditemani oleh suara ketukan sepatu Yudhistira. Laksmi tersenyum simpul. Kebiasaannya, tidak pernah berubah...
“Mas Yudhi sekarang terlihat...” Laksmi mencari kata-kata yang pas, “lebih bergaya.”
Keduanya akhirnya bisa tertawa, walau pelan. Suasana kaku itu mencair. Mereka akhirnya bisa rileks untuk berhadapan satu sama lain. Pembicaraan mulai mengalir lancar, terutama seputar perkembangan Ata dan Ari.
Yudhistira melihat jam tangannya.
“Masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan?”
“Yah,” Yudhistira bangkit dari duduknya. Laksmi pun mengikuti. “Sebenarnya sangat melelahkan.”
“Jangan lupa istirahat, Mas.”
Pria paruh baya itu memandangi mantan istrinya lama sekali. Kata-kata yang sedari dulu tersangkut di ujung lidahnya... Setelah semua yang telah terjadi, juga setelah pertemuan kembali dengan Laksmi, yang ternyata berjalan lebih baik daripada yang pernah ia bayangkan selama ini. Sudah saatnya pria itu mengucapkan...
“Maaf.”
Laksmi memandangnya dengan tatapan tidak mengerti. Yudhistira mengulanginya sekali lagi, dengan lebih jelas. “Saya minta maaf kalau selama ini membuatmu susah. Saya hanya ingin membuktikan pada kalian bahwa saya mampu untuk menghidupi keluarga kita, dengan kedua tangan dan hasil usaha saya sendiri. Maaf–“
“Mas Yudhi nggak perlu minta maaf,” lagi-lagi Laksmi memotong perkataannya, dengan tenang. “Saya sudah mengikhlaskan semuanya.”
“Sebaiknya, kita lupakan saja yang telah lalu.”
“Benar... Masih ada anak-anak yang membutuhkan perhatian kita.”
Tentu saja harus begitu. Ata dan Ari, dua remaja yang seharusnya mendapatkan perhatian yang utuh dari kedua orang tuanya.
*
Tari tidak tenang. Walaupun ada Mama Ari yang menemani langsung anaknya disana, bukan berarti kecemasan Tari berkurang.
Monster itu! Rutuknya dalam hati. Ata sialan!
Tari masih nggak percaya dengan ingatannya. Ya, setelah dipikir-pikir, bahkan sampai Tari meninggalkan rumah sakit pun Ata belum muncul disana!
“Sinting! Gila! Sodara kembarnya sendiri, ditusuk di depan matanya, dan dia diem aja?! Nggak ada sedih-sedihnya?! Sakit jiwa!”
Fio yang mendampingi Tari di gudang sekolah hanya bisa menepuk-nepuk sahabatnya agar bersabar, walau ia sendiri juga merasa tindakan Ata sungguh keterlaluan. Iya sih, udah lama nggak ketemu. Iya sih, pasti mereka canggung untuk ngungkapin perasaannya, tapi ngebiarin sodara yang luka di depan mata... itu sadis!
“Gue harus gimana, Fio?” ujar Tari lemah. “Semua pihak beramai-ramai nyerang dia, Fio. Gue harus bantu dia! Tapi... Gue bisa bantu apa...?”
“Lo bisa bantu Kak Ari, Tar. Dengan lo selalu ada di samping dia,” ujar Fio menenangkan. “Lo pasti bisa, gue yakin. Karena... Cuma elo yang bisa bikin Kak Ari bersikap seperti manusia normal.”
Tap… Tap… Tap…
Derap suara sepatu yang berirama seperti barisan tentara membuat orang-orang menoleh ke sumber suara. Siapa, sih, yang lebay sekali cara berjalannya? Memangnya latihan paskibraka? Namun ketika menoleh… langsung semua menyingkir, memberi jalan pada sepatu berderap itu.
Si sepatu berderap itu seorang gadis. Wajahnya terangkat, rahangnya mengeras, bibirnya mengatup – tanpa senyum sama sekali,
matanya menatap tajam siapapun yang menatapnya baik sengaja atau tidak, memancarkan aura pembunuh pada wajah cantik nan angkuh tersebut. Di belakangnya lima ‘dayang’ dengan wajah tak kalah dingin dan tatapan yang tak kalah tajam ikut mengiringi. Tanpa disebutkan, semua anak sudah tau bahwa Veronica, ketua geng The Scissors yang sudah sangat terkenal kekejamannya dan juga antek-anteknya saat ini sedang murka. Dan ini bukan pertanda baik. Sama sekali!
Bukannya anak-anak tidak tahu apa sebabnya. Justru itu. Apalagi sekarang The Scissors sedang menuju ke wilayah kelas sepuluh. Tepatnya, X-9. Anak-anak menggelengkan kepalanya, belum-belum sudah merasa lelah. Baru saja tadi pagi ada tawuran yang menyebabkan panglima perang SMA Airlangga tumbang. Sekarang akan ada kehebohan lagi. Bukan apa-apa, sudah cukup drama untuk hari ini. Lagipula, ini kan sekolah, bukan kelas akting!
“Iyaaaa! Gue denger sendiri Tari ngomong gitu. Sebelum tawuran! Ajegile banget… bujuuuud… bujuuuud…”Nyoman, si Ratu Gosip kelas Hiu, berkacak pinggang kemudian menirukan ekspresi Tari. “‘Kalo... KALO EMANG LO BENERAN SAYANG SAMA GUE, LO NGGAK BOLEH IKUTAN TAWURAN!!’ begitu katanya. Kak Ari terus ngomong apaaaa gitu, terus ngabur. Tarinya ngejar, dong. Aduh Tari… kasian amat nasibnya! Kejedot apaan sih dia sampe kaya gitu…” Nyoman menggelengkan kepalanya, prihatin. Gosip dan Nyoman. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Memang, kejadian Tari mencegah Ari untuk tawuran dengan memakai jurus pilih-gue-apa-tawuran itu sudah menyebar ke antero sekolah. Namun Nyoman, yang radar menerima dan menyebarkan gosip seperti hiu yang mencium bau darah, langsung mengipasnya hingga kejadian sebenarnya tampak lebih besar dan lebih dahsyat! Sekarang ia berdiri, dikelilingi
beberapa teman yang sedang takjub mendengar ocehan Nyoman mengenai kejadian tadi pagi, meski mereka sudah mendengarnya berkali-kali dan dengan berbagai versi! “Nyoman…”Jimmy berkata lirih. “Prihatin gue sama Tari. Malang bener nasibnya. Entah disantet entah apa, bisa juga dia jadian sama si trouble maker. Belum jadian aja bikin heboh. Pas jadian bikin heboh. Entah nanti kalo seantero sekolah tahu tentang hubungan mereka kayak gimana. Apalagi kalo ketauan sama geng Nenek Lampir. Hiiihh… serem! Kemaren aja Tari sampe disobek bajunya, kan?! Parah abiiis…” Nyoman masih saja mencerocos, tidak mempedulikan perkataan Jimmy barusan. “Geng Nenek Lampirnya udah tau, kok, terima kasih.” Perasaan Nyoman jadi tidak enak. Dia menoleh ke belakang. Vero, melipat kedua tangannya didepan dada, kemudian tersenyum sinis, menghampiri Nyoman. “Eh… Kak… Kak…” Nyoman tergagap. “Kak Lampir?!” potong Vero sembari melotot. “Maaf, Kak… maaf. Saya nggak maksud…” Nyoman kehabisan kata-kata. Akhirnya ia menarik napas, pasrah. ”Maaf, Kak… maaf…” Vero menjulingkan matanya, pertanda ia tidak peduli apapun yang dikatakan Nyoman. Nyoman hanya bisa menahan emosi dari hati sembari menyumpahi, dasar nenek lampir! Biarin aja lo juling beneran! “Tari dimana?!” Tanya Vero, setengah membentak. “Di… di…” “Da… di… da… di… Apa?! Jawab tuh yang bener!” bentak Vero. Nyoman menggaruk kepala. Aduh mampus gue. Gak dijawab, gue mati. Dijawab, temen gue yang mati… duh!
“Itu di gudang, Kak… iya, di gudang – “ ucap Nyoman cepat. Tanpa basa-basi lagi, Vero dan kedua dayangnya berlalu dari kelas X-9. Nyoman yang jantungnya dagdigdug dan muka pucat langsung duduk tersungkur, lemas. Teman-teman yang lain hanya bisa memandang Nyoman dengan wajah prihatin campur geli. Ya, salah siapa, coba? Mulutmu harimaumu, kan? Tapi, Jimmy masih punya rasa iba. Dihampirinya Nyoman dengan air mineral gelas di tangan. Disodorkannya air mineral itu sembari menepuk-nepuk bahu Nyoman, seakan menenangkan. Air mineral itu langsung Nyoman minum dan ludes hanya dengan dua kali tegukan. “Lo, sih, Jim… nggak nyuruh gue berhenti ngomong!” omel Nyoman dengan dada masih naik turun tidak beraturan. “Lo juga sih nggak bisa disela kalo udah ngegosip! Itu temen lo sendiri, tau?! Dan sekarang lo malah umpanin temen lo sama nenek lampir. Tega, lo!” Jimmy balas mengomel karena sedikit tidak terima kebaikannya mengambilkan air minum untuk Nyoman, malah berbuntut omelan. “ASTAGA!!!” Nyoman menepuk dahinya. ”Aduhh… gawaaaaat!! Hape, mana hape gueee!! Gue harus SMS Fioooo!!!” * “…Cuma elo yang bisa bikin Kak Ari bersikap seperti manusia normal.” Mendengar pernyataan Fio barusan, Tari langsung terhenyak. Mukanya memerah. Memang benar, sedikit banyak ia yang membuat Ari jauh lebih jinak. Memang benar, bahwa dengannya Ari lebih tenang. Memang benar, didampinginya Ari mencari jati diri. Tapi sebagai satu-satunya alasan? Apakah seperti itu ia di mata Ari?
“Kok beban gue banyak banget kayaknya, ya, Fi.” Tari menghela napas. ”Bener, deh. Jujur… gue sayang sama Kak Ari. Tapi gue takut. Gue takut nantinya gue nggak seperti yang dia harapkan. Gue takut dia kecewa sama gue. Gue nggak bisa apa-apa, Fi…” “Well, well… Maybe you should thought about that. Jangan sok jadi pahlawan kesiangan, deh, lo!” Tari menoleh ke arah pintu gudang. Dan seketika rahangnya mengeras. Ia berdiri, memasang badan ready to war. Sedang Fio hanya mengikuti Tari berdiri seraya menunduk, seakan pajangan. Nanti, kalau ada apa-apa, baru Fio ikutan maju, paling nggak jambak-jambak sedikit lah. Kalo sekarang, biar Tari dulu yang menghadapi Vero si Penyihir. “Mau Kakak apa?” “Mau gue?” Vero tersenyum sinis. ”Jauhin Ari! Dia milik gue!” “Sejak kapan orang bisa di hak-milikin gitu kayak barang? Yah... kecuali sih Kakak nganggep Kak Ari cuma sebagai barang doang, yang bisa dipamerin pas jalan. ‘Ini, loh, cowok gue, preman sekolah’ sekaligus mengkhultuskan dinasti monster di SMA Airlangga.” Entah mendapat keberanian darimana, entah kesurupan jin dimana atau itu adalah bentuk pelampiasan emosi terpendam – juga dendam – Tari berkata setajam itu pada Vero. Vero hanya bisa terdiam saking kagetnya mendengar perkataan tajam juniornya. “Nyatanya yang Kak Ari pilih saya, bukan Kakak!” Telak! Omongan Tari menghantam Vero sangat telak! “Eh, lo lancang banget, yah!”Vero mendekati Tari, sudah berancang-ancang untuk menampar. “Kalo gue boleh kasih saran, sih, lebih baik lo pikir-pikir lagi deh, Ver, kalo mau nampar Ibu Negara.”
Baik Vero maupun Tari menoleh. Di pintu gudang, Ridho bersandar sembari kedua tangannya merangkul erat – bisa dibilang setengah mencekik – kedua dayang Vero, sementara tiga yang lain hanya berdiri mencicit di belakang. Raut mukanya sangat tenang dan santai, meski Tari tahu bahwa Ridho, sama seperti Ari, pandai menyembunyikan emosi dan hati. “Elo, Dho, nggak usah ikut campur!” bentak Vero. “Gue cuma ngasih saran doang, kok. Lagian sayang banget kalo tangan seindah itu…” Ridho bersiul. ”Patah. Come on, Ver, Ari bukannya tumbang bener-bener tumbang atau gimana. Dia bakal cepet sembuh. Dan lo bisa bayangin, dong, kalo pas sembuh nanti dia nemuin Ibu Negara lecet, dan itu ulah lo?” Vero terdiam. Sebenarnya agak ngeri juga membayangkan amukan Ari terhadap dirinya ketika ia menemukan bahwa gadisnya – Vero menahan geram ketika mengatakannya dalam hati – ia celakai. Vero memutuskan untuk tidak nekad. Akhirnya ia beserta dayangnya keluar dari gudang dan meninggalkan Tari. Meski tetap saja ada kata-kata ‘perpisahan’. “Elo… sudah diperingatkan!” * Di kebun belakang sekolah yang sangat jarang dijamah oleh siswa-siswa baik atau siswa nakal, guru maupun karyawan, karena disana ada pohon beringin yang diyakini sangat angker, disanalah Ridho dan Tari duduk berdampingan. Sementara Fio kembali ke kelas untuk menceramahi Nyoman mengenai etika bergosip yang baik dan benar sehingga tidak mencelakakan kawan. “Kak Ridho baru dari rumah sakit? Kak Ari gimana, Kak?”
Ridho tersenyum seraya mengusap puncak kepala Tari, seakan menenangkan. ”Ari belum sadar. Tapi nggak pa-pa. Itu pengaruh obat, kok.” Tari menunduk. Digigitnya bibir bagian bawah, untuk menahan agar air matanya tidak keluar. ”Maafin gue, Kak. Itu semua salah gue sampe begitu. Gue cuma terlalu khawatir sama Kak Ridho, Kak Oji – “ “Kak Ari tapi yang utama, kan?” goda Ridho. Tari melotot. “Kakak jangan ngerusak suasana permintamaafan ini, deh!” Ridho terbahak sebelum ia akhirnya berhenti karena bibir Tari makin mengerucut. ”Hahaha, sori, sori, Tar. Tapi bener deh, nggak ada yang perlu dimaafin. Perbuatan lo tuh wajar. Perbuatan Ari juga sangat wajar.” Kemudian Ridho memasang tampang serius. ”Sebenernya, Tar, ada yang pingin gue omongin ke elo,” Ridho terdiam sebentar, kemudian menggelengkan kepalanya. “Nggak, ding. Lebih tepatnya, ada yang pingin gue minta dari elo.” “Minta apa?” Tari mengernyitkan dahi. “Gue minta…” Ridho menghela napas. ”Tolong jangan pernah tinggalin Ari, ya, Tar. Jangan tinggalin dia…” Tari tercenung. Lagi-lagi kata-kata itu! * Ata menyusuri lorong rumah sakit dengan diapit Angga dan Bram di kanan-kirinya. Raut mukanya tanpa ekspresi, meski ia melihat mamanya duduk di bangku rumah sakit sembari bersandar di dinding. Wajah wanita itu terlihat sangat lelah dengan bekas air mata disana. Ata menghela napas. Lagi-lagi… Ari.
“Ma…” Ata menyentuh bahu mamanya, pelan. Mama mendongak. Kemudian mengelus tangannya lembut. “Kamu darimana saja? Sibuk sekali, Nak, sampai tidak sempat menunggui adikmu?” Tanya wanita itu. Ata terhenyak. Emosinya sudah naik. Namun ditahannya dalam-dalam emosinya. Tidak. Citranya sebagai anak baik nan penurut tidak boleh tercoreng. Setidaknya belum sekarang. Ia hela napasnya dalam-dalam, dengan kedua tangan yang sangat dingin, mengepal erat. “Maafin Ata, Ma. Tadi Ata ke kantor polisi sama dua temen Ata ini,” Ata menunjuk Angga dan Bram – yang sekarang sedang nyengir garing di depan Mamanya, ”buat nyari siapa penusuk Ari. Dua orang ini saksi yang bisa ngasih tau Ata siapa orang yang udah nyelakain Ari. Maafin Ata kalau Mama enggak berkenan.” Angga dan Bram saling pandang. Mereka terhenyak melihat akting Ata yang memukau dan tampak sangat meyakinkan. Sempat ia terhanyut namun untungnya ia cepat tersadar. Ata benar-benar aktor kawakan! Sedangkan Mama… ia menatap Ata dengan mata berair. Dipeluknya Ata erat-erat, dengan punggung berguncang. ”Maafin Mama, Ta. Mama… Mama… hanya khawatir sekali melihat keadaan Ari.” Ata mengusap punggung ibunya dengan lembut. Ia katupkan rahangnya, menahan agar emosi serta omongan bernada tidak sedap jangan sampai keluar dari mulutnya. Dalam hati ia tertawa miris. Lagi-lagi… Ari! Selalu Ari! Dulu ketika berpisah orang tuanya memperebutkan siapa yang mengasuh Ari – bukan dirinya. Dan ketika hak asuh Ari jatuh pada tangan Papanya, Mama seperti orang gila yang setiap hari mencari Ari yang entah berada dimana sehingga dirinya terlantar. Ari yang hidup
dengan Papa, bergelimangan harta. Sementara dirinya harus pontang-panting mencari biaya tambahan demi membantu Mama dan Eyang. Itu berarti ia juga harus super hemat. Dia yang harus berbesar hati dan legawa ketika Mamanya, Eyangnya juga para sepupunya lebih tertarik mengenai nostalgia tentang Ari – bukan memperhatikan dirinya! Yah, bukannya Ata ingin jadi pusat perhatian atau apa. Namun rasa sakit merasa dibedakan, tidak diinginkan, tertolak dan harus selalu mengalah itu menjadi torehan luka dan kepahitan sendiri dalam hati Ata. Apalagi itu saudara kembarnya sendiri. Ata tidak tahan! “Mama tenang aja, Ari nggak pa-pa. Dia kuat, kok,” ucap Ata menenangkan. Mamanya masih terisak, namun sudah lebih tenang. ”Sekarang Mama ke kantin aja, ya? Mama pasti laper, belum makan? Biar Ata yang jagain Ari.” Mama mengangguk, kemudian pergi, setelah sebelumnya menyunggingkan senyum sapaan pada Angga dan Bram. “Gila. Lo bener-bener…” Angga menggelengkan kepalanya, ”hebat! Akting lo, ckckck… nggak pernah kepikiran buat audisi sinetron?” Tanya Angga, pure karena penasaran. Ata tergelak, ”Gue cuma bisa akting kaya gitu depan Nyokap doang.” “Akting sama munafik beda tipis, lho,” sahut Bram dingin. Sebenarnya ia agak heran – juga sebal – mengapa Angga sangat akrab dengan orang ini, yang masih bisa dibilang musuh! Entah apa sebabnya, meski Bram sudah bertanya puluhan kali – bahkan ratusan kali hingga Angga keki – Angga tetap bungkam. Dan itu yang membuat Bram jadi sebal. Angga sangat ceroboh bisa percaya segampang itu dengan Ata!
Apalagi… semenjak dekat dengan Ata, Angga jadi tidak terlalu membutuhkannya lagi. Agak dangdut, memang, alasan Bram ini. Tapi.. Hei, kata siapa persahabatan cowok tidak ada saling cemburu? Ata hanya tertawa sinis menanggapi kata-kata Bram, sedang Angga langsung melempar tatapan tajam pada Bram yang berarti shut-your-f*cking-mouth. Tak lama kemudian, seorang suster keluar dari kamar Ari kemudian menghampiri Ata dengan senyum tersungging. ”Adek ini kakaknya Matahari Senja? Beliau sudah sadar, sudah bisa dijenguk. Silahkan masuk, tapi cukup satu orang aja, ya…” ucap suster itu, melihat ada Angga dan Bram di samping Ata. ”Saya pergi dulu. Kalau ada apa-apa tekan saja tombol yang ada di kasur.” Suster itu tersenyum ramah, menepuk bahu Ata lembut sebelum kemudian pergi. “Lo mau masuk?” Tanya Angga. Ata hanya menaikkan alis dan mengangkat bahu. ”Kalo gitu lo nggak keberatan, gue yang jadi first guest nya Ari?” “Terserah,” jawab Ata cuek, sembari mengunyah permen karet. Angga menggelengkan kepala dan menepuk pundak Ata, kemudian masuk ke ruang VIP tempat Ari dirawat. Saat ini, di luar ruangan tersebut hanya tersisa Ata dan Bram. “Gue nggak tau apa mau lo. Apa rencana lo,” ucap Bram tiba-tiba. “Siapa juga yang mau ngasih tau lo?” balas Ata. “Angga terlibat dalam rencana lo. Otomatis gue juga! Dia temen gue!” Bram berujar dengan emosi menggelegak. ”Kalo sekali aja elo macem-macem… sekali aja lo berani berbuat yang aneh-aneh… habis lo!!” ancam Bram. Ata tersenyum tipis.
”Orang yang emosi itu gampang banget kebaca otaknya. Orang bego biasanya nekat. Dan elo… kombinasi dari keduanya. Lo pikir gue takut sama ancaman lo?” Ata melenggang pergi dengan santai, meninggalkan Bram yang mematung dan gemetar saking geramnya. “Sialan!!” * Ari membuka matanya. Kepalanya terasa berat. Dadanya terasa sesak. Matanya panas. Perutnya nyeri. Ia melihat disekelilingnya, merasa aneh dan bingung dengan kamar yang asing ini. Gue dimana? Kebingungan Ari terjawab ketika ada seorang suster yang masuk ke kamarnya dan membetulkan letak selang infusnya serta menyuntikkan entah apa di selang infusnya. Dia berada di rumah sakit. Samar-samar ia teringat kejadian yang membuatnya tumbang. Bram… iya… ia mendengar Angga memanggil orang itu dengan nama Bram, ketika ia menebus Tari di Brawijada hampir setahun silam. Orang itu pula yang membuatnya sekarang di rumah sakit. Sialan! Ia harus membuat pembalasan nanti! Dan Tari… Oh Tuhan! Tari!! Dia… bagaimana keadaannya sekarang?! Apa dia… dia… Tidak, tidak. Ari harus memastikan sendiri. Ia langsung beringsut dari tempat tidurnya, namun suster yang berada di kamarnya langsung sigap dan menahan Ari bangkit dari tempat tidur. “Ari… sudah bangun? Mau ngapain? Mau buang air? Mau saya bantu? Atau saya pasang kateter saja? Atau mau di pispot saja?” Ari harus menahan emosi mati-matian agar tidak menendang – setidaknya mendorong dengan amat keras– suster cerewet nan kepo itu.
“Itu di depan ada Kakak kamu, kayaknya. Mirip sekali soalnya. Mau saya panggilkan saja?” tawar suster itu. Yang dimaksud suster itu pasti Ata. Meski enggan, Ari mengangguk. Ia butuh mengetahui kondisi Tari secepatnya! Namun alangkah terkejutnya Ari ketika yang masuk bukanlah kakak kembarnya. Melainkan… “Baek, lo? Cepet amat sadarnya? Kirain bakalan lewat!” ucap Angga kurang ajar. Menyadari bahwa keadaannya terlalu lemah untuk turun dari tempat tidur dan menghajar Angga, Ari hanya menatap Angga tajam dan mendengus kencang. “Karena gue musuh yang baik dan pengertian, gue kasih peringatan ke elo, nih. Kejadian ini… baru permulaan!” “Mau lo sebenernya apa?!” Aari mendesis kesal “Mau gue?” Angga tertawa. ”Mau gue, elo hancur! Sehancur-hancurnya! Bahkan kalo itu lewat jalan harus nyakitin seseorang yang berarti buat elo. Cara yang dangdut banget, tapi masih efektif.” “Sekali…” Ari gemetar saking emosinya. ”Sekali aja lo sentuh Tari…” “Lo pikir ini tentang Tari? Bego!” Angga tertawa, puas. ”Lo naïf, Ari. Naïf!” Ari mengernyitkan dahi. Angga berdecak kemudian mendekatkan wajahnya pada wajah Ari. Angga tatap mata yang pernah menyakiti hatinya – juga Kirananya – bertahun-tahun silam tepat di manik mata. “Lo nggak perlu tau. Lo cuma perlu bersiap dengan kejutan-kejutan yang akan menghampiri lo nantinya! Okeee?” Angga menepuk pipi Ari, persis seperti ia memperlakukan anak kecil. “Lo inget, Anggita masih di Airlangga!”
Angga yang sejatinya sudah mau membuka pintu untuk keluar, langsung menoleh. Ia tersenyum puas. ”Lo tau? Gita bukan lagi kartu As yang bisa lo mainin. Silakan lo mau apain Gita… kalo berani!” Angga menutup pintu, dengan tawa berderai. Sepeninggal Angga, Ari merenung. Ia merasa nelangsa. Tidak berdaya. Sangat tidak berdaya. Segala sesuatunya… terasa begitu salah. Ada yang tidak beres, tapi Ari tidak tahu di bagian mana. Perang yang harus ia hadapi berlangsung secara marathon, tak peduli bahwa ia sudah kehabisan napas saking kencangnya ia harus berlari. Mengikuti keadaan. Bertahan. Agar ia survive. Tetapi jika terus menerus diterpa perang tanpa henti seperti ini… Ari lelah. Setelah ini, apalagi? Merutuki nasibnya yang apes, ia meremas perutnya yang terkena tusukan pisau. Jahitannya terbuka. Darah merembes, namun Ari tidak menyadarinya. Yang ia tahu bahwa nyeri di perutnya semakin menghebat dan semuanya jadi gelap. * “Lo ini udah hilang akal, apa gimana?!” teriak Bram frustasi. Yang diteriaki hanya tersenyum tenang seraya melipat kedua tangannya di dada. Anggada dan Brahmana. Dua sahabat yang sangat akrab, sangat dekat. Mereka seakan satu pikiran yang ada di dua tubuh. Segala sesuatu di antara mereka sangat cocok. Hampir tidak pernah ada perselisihan diantara mereka sebelumnya – kecuali jika lomba makan cabe rawit di kantin dikategorikan sebagai perselisihan. Mereka dapat berkomunikasi hanya dengan tatapan. Mereka sudah dapat membaca hanya dengan gesture tubuh. Jenderal dan Panglima di medan perang. Dimana ada Angga, disitu ada Bram, begitu pula sebaliknya.
Dan sekarang… mereka berdua berdiri berhadapan di halaman depan rumah Angga. Yang satu dengan muka lempeng dan tenang, namun tak menutupi kekerasan hati. Yang satu terlihat jelas bahwa sedang sangat emosi. Sangat emosi! Penyebabnya? Jelas saja Matahari Jingga! Bram masih bisa menolerir bahwa Angga mempunyai satu tangan kanan lain. Bram masih bisa maklum jika Angga mempunyai rencana-rencana, tanpa melibatkan dirinya ikut rembug di dalamnya. Bahkan Bram masih dapat berbesar hati melihat persahabatan antara Ata dan Angga. Tapi kali ini, saat Angga baru saja keluar dari ruangan tempat Ari dirawat... “Ta!”Angga berjalan cepat menuju Ata yang berada di ujung koridor. Muka Angga panik bercampur jengkel. Bram, cuma bisa menahan gondok karena tidak dipedulikan, sembari mengikuti Angga dari belakang. “Kenapa? Lo habis ngomong apa sama Ari? Muka lo jadi jelek gitu…” Ata terkekeh. “Gue minta DENGAN SANGAT ke elo. Gue… titip Anggita.” Angga dengan singkat menceritakan Gita dan mengapa Gita dititipkan. Tapi Bram tidak mendengarkan, pun tidak berkonsentrasi dengan obrolan Ata dan Angga. Jantungnya sudah melayang beberapa saat yang lalu. “Lo deket sama Ata itu sesuatu. Tapi nitipin Gita... itu lain hal!” “Tolong, Bram… tolong. Jangan bawa-bawa urusan pribadi – apalagi ini urusan hati lo – disini. Pikir secara rasional! Gita ada di kandang lawan. Dan gue – pun juga elo, nggak bisa ngelakuin apa-apa selain nitipin dia ke Ata! Lo…” Angga menarik napas. Menyiapkan hati.
“Lo gak bisa bantuin gue disini… karena itu. Tolong, Bram… tolong. Jangan banyak tanya dan bantu gue dengan jadi arca batu.” “Jadi cuma segitu aja nilai gue di elo, hah? Babu?” Bram mendelik, gusar. Angga balik mendelik, lebih gusar daripada yang dapat Bram rasakan. “Gue nggak percaya bakalan bilang kaya gini ke elo. Sumpah ini corny banget. Please, Bram! Jangan childish! Lo nggak percaya sama gue?” Angga menepuk bahu Bram. ”Kita sahabatan udah lama, Bram…” Bram mendorong bahu Angga keras, hingga Angga terjungkal. ”Kali ini aja, Ngga! Kali ini aja!” Ia menaiki motornya kemudian mengendarainya dengan kecepatan penuh. Bram pergi dengan membawa sakit hati. Angga masih tersungkur di tanah. Tak ada niatan ia berdiri. Dengan hati masygul ia tatap kepergian sahabat terbaiknya tersebut. Demi kamu, Kirana… demi kamu…
Untuk kedua kalinya di hari ini, Tari melangkahkan kaki di rumah sakit tempat Ari dirawat. Tangannya memegang kantung plastik berisi buah-buahan segar.
Sejujurnya, dalam perjalanannya kali ini pikiran Tari justru sedang sangat kusut. Sikap Ata, peringatan dari Angga, ancaman Vero, dan terakhir... Ridho.
Oke, ancaman Vero tidak terlalu ia pikirkan karena hanya alasan Vero lah yang paling klasik, karena perasaan suka yang mengakar. Justru tiga cowok itu yang sangat misterius. Sangat gelap, dan... menakutkan!
Terutama Angga, dan temannya yang bernama Bram. Yang telah tega menusuk Ari. Kalo sekarang sampai berani main fisik, berarti persoalan di antara mereka memang sangat serius! Lebih serius daripada sekedar tawuran antar sekolah belaka. Sayangnya, Tari tak dapat menebak apa yang menjadi pokok permasalahannya.
Ruang VIP. Tari mengintip lewat celah pintu. Ada Mamanya Ari yang setia menjaga anaknya, duduk tegap seraya mengelus rambut sang Matahari Senja. Hati Tari menjadi semakin terenyuh. Apa seseorang yang bertingkah buruk di masalalu hanya untuk mengejar bayangannya yang telah direnggut, cuma boleh merasakan kebahagiaan sesedikit itu? Hanya sekejap? Apalagi yang menunggu di depan sana untuk Kak Ari?
“Nak Tari...” suara lembut itu membuyarkan lamunan Tari. Kehadirannya rupanya telah disadari. Kikuk, Tari masuk ke dalam ruangan dan mengambil tempat di sebelah Mama Ari.
“Gimana keadaan Kak Ari, Tan?”
“Tadi lukanya sempat terbuka kembali, namun bisa diatasi dengan cepat oleh tim dokter,” jawab wanita itu sekenanya. Tari menghela napas lega. Ditatapnya wajah tampan yang saat ini sedang tertidur pulas.
Seorang ibu dengan kasih yang sangat besar tentu saja dapat mengartikan pandangan yang Tari berikan terhadap anaknya. Cinta masa muda, begitu ia menyebutnya. Tanpa menimbulkan suara, Mama Ari memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua.
Kak Ari... Sapa Tari, hanya dalam hati. Tangannya secara perlahan menyusuri wajah lelaki itu. Wajah tampan yang menyimpan seribu luka. Wajah yang selalu memasang topeng. Namun saat ini, topeng itu sempurna terlepas. Warna mukanya, serta keteraturan napasnya,
seakan-akan cowok ini tidak pernah tidur dengan damai. Ada rasa syukur yang menyelinap di hati Tari saat melihatnya, walau sedih masih tetap menyusup karena Ari belum sadar juga.
“Lo itu... Keliatan gagah, kuat dan keren kalo pas lagi tawuran. Keliatan semangat ’45 kalo lagi gangguin gue,” Tari ngedumel pelan. Jemarinya mengetuk-ngetuk lengan Ari, usil. “Sekarang, mana? Bangun, dong...”
Tari masih asyik mengetukkan jemarinya di lengan kanan Ari, tanpa menyadari bahwa lengan itu memberikan respon walau lemah.
Mata Ari perlahan membuka.
“Bangun dong, pahlawan kesiangan. Masa’ lo tega ngebiarin gue ngomong sendiri–“
“Gue denger, lho...”
Deg!
Tari langsung mengangkat kepala, menatap tepat di manik mata Ari. “Kak Ari!”
Betapa bersyukurnya Tari karena bisa mendengar suara orang ini. Saking bahagianya, sampai-sampai dipeluknya leher Ari hingga cowok itu gelagapan.
“Tar... Tari... Ini napasnya masih susah, lho.”
“Kyaaaa!!” Tersadar dari tindakan memalukannya, Tari langsung kembali duduk sembari menutup muka dengan kedua tangannya. Bodoh! Kenapa harus dipeluk segala coba, aaaah...
Ari tersenyum melihat tingkah gadis itu. “Lo nggak kenapa-napa, kan?”
“Nggak,” jawabnya ringkas, “tapi lo yang kenapa-napa!”
“Setidaknya lo baik-baik aja. Syukur, deh...”
“Gimana bisa baik-baik aja sementara Kak Ari luka parah gini...?” gumam Tari pelan, namun dapat didengar oleh Ari. Demi melihat wajah sedih itu, sebelah tangan Ari yang bebas mengusap puncak kepala Tari.
“Maaf...”
Tari terkesiap. Salah tingkah. Namun cepat-cepat diubahnya perasaan itu dengan sikap mengomeli Ari.
“Makanya kalo gue bilang jangan tawuran tuh nuruuut! Kalo udah gini, tuh... Lo juga kan yang rugi banyak? Cuma bisa tiduran doang di kamar, wuuuu –“
“Iya, maaf...” Ari mengulangi permintaan maafnya dengan tulus. “Harusnya gue dengerin kata-kata lo. Yah... Mau gimana lagi. Gue lebih sayang sama tawuran, sih.”
Lagi-lagi Tari terkesiap. Seketika mukanya merona. Ya ampuuuuuun, orang ini! Lagi sakit gini masih aja ngegodain!
“Jangan dibahas!”
“Bahas, dong!” Kilah Ari, nggak mau kalah. “Gue masih penasaran.” Ketika dilihatnya gelagat Tari ingin menutup telinga dari semua godaannya, Ari menarik sebelah tangan cewek itu. Genggamannya tidak begitu kuat, namun tetap saja Tari tak kuasa melawan. Pasrah, ditatapnya kedua mata Ari, yang saat ini balas menatapnya teduh.
“Harusnya lo nggak perlu teriak gitu di depan satu sekolah. Nggak takut sama gunting-gunting norak itu?” Ari meyinggung-nyinggung tentang Vero dan The Scissors nya, membuat Tari sesaat bergidik, teringat akan serangan Vero saat di sekolah tadi.
“Gue udah ngomong gitu juga lo tetep pergi – “
“Karena masalahnya nggak segampang itu, Tar,” kali ini suara Ari terdengar serius. “Mau denger satu rahasia lagi?”
Tari siap menyimak.
“Tawuran dengan Brawijaya... Bukan. Selama menjalaninya, gue nggak pernah ngerasa kalo Brawijaya yang nyerang kita.”
“Maksudnya?”
“Perkiraan gue, Angga nyerang gue atas nama pribadi. Tapi gue nggak tau kenapa.”
Tari memicingkan matanya, berlagak mikir. Tiba-tiba satu titik mulai terlihat, walau masih semu. Ternyata benar! Selama ini, target Angga hanya Ari. Hal ini semakin mempertegas ingatan Tari pada ancaman Angga kemarin mengenai keselamatan Ari.
Namun Tari merasa, masih belum saatnya bagi dirinya untuk mengutarakan ancaman Angga tersebut terhadap Ari. Langsung dienyahkannya pikiran tentang Angga.
Gelagat Tari yang seperti itu justru membuat Ari sewot. “Lo gak percaya gue ngomong buruk gini tentang Angga?”
Satu tangan Tari yang masih bebas digunakan untuk mencubit lengan Ari. Sontak, Ari mengaduh kesakitan.
“Kak Ari jangan ngaco, deh! Gue nggak ada perasaan apa-apa ke Angga.”
“Tuh!” Ari makin sewot. “Manggil gue mesti ada embel-embel ‘Kak’, kenapa buat dia langsung manggil nama?”
“Kan Kak Ari yang nyuruh supaya gue hormat dan sopan sama senior.”
“Kan Angga juga senior!”
“Tapi kan dia nggak satu sekolahan sama kita!”
“Ooooh!” Ari berseru dramatis. “Harus satu sekolahan dulu!”
“Lagian kalo gue langsung manggil nama ke Kak Ari, bisa-bisa gue digunting habis sama para fans lo, si gunting-gunting menawan itu!”
Ari ngos-ngosan. Sedikit terbatuk. Dengan sigap Tari langsung mengambilkan air mineral dan membantu Ari untuk minum.
“Dasar tukang ngeles. Tenaga gue langsung habis, nih.”
“Salah siapa, cobaaa...”
Keduanya tertawa hangat. Ari, dengan suara lembut namun tak terbantahkan, meminta Tari untuk membaringkan kepala di bahunya. Diusapnya puncak kepala gadis itu dengan sangat pelan.
“Benar... Apa jadinya kalo elo nggak ada, ya?”
Tari merasa seperti pernah mendengar kalimat itu. Entah kapan. Namun dari orang yang sama. Tersipu malu, namun dipeluknya leher Ari dengan lembut. Gue nggak bakal ngebiarin elo menghadapi semua ini sendirian, Kak Ari...
*
Ari lelah. Seharian ini, entah sudah berapa kali ia menerima kunjungan. Kebanyakan para cewek. Yang paling heboh tentu saja saat Vero dan antek-anteknya muncul. Begitu Oji memberitahukannya tentang kedatangan Vero, Ari langsung pura-pura tertidur. Berharap dengan aktingnya kali ini Vero nggak akan berlama-lama di rumah sakit.
Sialnya, dalam ruangan itu terdapat Mamanya Ari. Dan Vero langsung bertingkah sangat lebay.
“Maaf, Tante, baru datang sekarang. Tadinya Vero mau langsung ke rumah sakit, tapi guru-guru mencegat kami semua, Tan. Belum lagi pendalaman dan persiapan UN lainnya yang benar-benar melelahkan. Sejujurnya nih, Tan... Tadi Vero nggak konsen banget selama
pelajaran. Kepikirannya Ari terus. Maklum deh, Tante, selama ini cuma Vero yang paling deket sama Ari. Vero takut Ari kesepian gitu, Tan...”
Baru setelah Vero pergi, Ari langsung membuka mata dan mengklarifikasi semuanya pada Mama.
“Jangan percaya sama ketua geng gunting itu, Ma! Satu-satunya cewek yang deket sama Ari – “
“Cuma Tari,” potong Mama lugas, namun tepat sasaran. “Benar, kan?”
Ari tersipu malu.
“Gak pa-pa kan, Ma?”
“Ternyata Ari benar-benar sudah besar, ya. Sudah mulai suka-sukaan sama lawan jenis,” hanya itu yang dikatakan oleh Mama seraya mengelus puncak kepala Ari.
Sementara di luar, Ata menyaksikan itu semua dengan bara meletup di matanya.
*
Tari tetap bersekolah seperti biasa. Selain karena Ari melarangnya untuk bolos – dengan alasan ingin membangun nama baik di depan Bu Sam – Tari juga ingin menyelidiki sesuatu. Menyelidiki Ata. Mengamati gerak-geriknya. Serta mengkonfirmasi ucapan Ridho yang kemarin.
Untuk memastikan bahwa Tari sudah sampai di sekolah, Ari – dengan sangat terpaksa – mengutus Oji untuk menjemput Tari serta mengantarkannya hingga sampai ke tempat duduknya di kelas. Jelas aja Tari jengkel. Emangnya dia anak TK!
“Halo? Bos, Tari udah nyampe di sekolah dengan sehat wal’afiat... Apa? Udah... Udah duduk manis di bangkunya, tuh. Sekalian gue beliin teh manis anget, malahan! Ntar duitnya gantiin, tiga ribu, tuh! Sip...
Mau bicara sama Ibu Negara?” Oji mengoper ponselnya ke Tari. “Pangkalan pusat menunggu laporan, nih!”
Tari makin dongkol mendengarnya. Keki, diterimanya ponsel Oji dengan kasar. Sementara itu, Oji mulai beraksi dengan menggoda Fio.
“Jangan terpesona banget ya karena sekarang gue duduk tepat di depan lo. Lagi ngejagain Ibu Negara, nih!”
Demi sopan santun terhadap kakak kelasnya, Fio hanya bisa tertawa garing. Apa kata lo deh!
“Halo!” Tari berseru sewot pada orang di seberang telepon.
“Duh, orang sakit kok malah diteriakin, sih.”
“Habisnya rese banget siiiih, gue ngerasa kayak anak TK dianter sama orangtuanya untuk masuk sekolah pertama kali, tauuuu!”
Tawa Ari terdengar berderai di ujung sana, sementara Tari malah semakin keki. “Baik-baik ya, di sekolah. Kalo ada yang nakal, langsung lapor Oji. Oke?”
“Yaa lo tau sendiri dooong...” Tari berkata lirih, sangat pelan hingga bahkan Ari tidak mendengarnya dengan jelas. “Udahan ah telponannya, sekarang lo istirahat, gih.”
Oji bersiul usil. “Duileee... Perhatiannya!” Kemudian Oji kembali mengambil ponselnya dan berbicara, “Gue juga mau dong, Bos, diperhatiin gitu!”
Jawabannya tidak bisa Tari dengar karena Oji langsung melangkah keluar dari X-9. Tari menghela napas lega. Namun, dirasakannya suasana kelas mendadak sepi. Firasat gak enak, nih...
“CIYEEEEEE MATAHARI BERSINAR CERAH YAAA!!”
Suara itu! Seruan Nyoman – yang nggak kapok walaupun udah menghadapi Vero dan juga diceramahi oleh Fio – juga dibarengi dengan
koor riuh rendah dari teman-teman sekelasnya, membuat Tari semakin pusing.
“Airlangga panas banget yaah, kebanyakan matahari nih!”
“Mataharinya lagi pada semangat memancarkan aura...”
“Aura kasih!”
“Hhahahahaa...”
Duuuuh, pada stres semuanya!
“Aaaaaa!! Fiooooo!!”
Fio hanya bisa menatap Tari dengan pandangan kasihan bercampur geli. “Elo sih!”
*
Ata melihat itu semua dalam jarak yang lumayan dekat, namun bisa dipastikan tak dapat diprediksi oleh objek pengamatannya. Bagaimana Oji begitu setia mengantarkan Tari ke kelasnya, demi Ari. Bagaimana Oji melaporkan dengan detail mengenai kondisi Tari, demi Ari. Bagaimana sorakan-sorakan itu tercipta, demi melihat Tari yang begitu mengkhawatirkan... Ari.
Ata melangkah menjauhi tempat itu menuju kebun belakang sekolah.
Ata muak!
Seakan seluruh dunia ini berputar mengelilingi Matahari Senja.
Ada kalanya Ata membenci kenyataan bahwa ia dan Ari begitu serupa. Begitu mirip satu sama lain. Sangat identik. Karena tak jarang, keidentikan ini justru membuat hatinya terbakar.
Terpujilah seorang Ari kecil yang pendiam, penurut, yang selalu gelayutan di kaki Mama. Sehingga terkutuklah Ata kecil yang selalu bertindak sebagai pahlawan namun ujung-ujungnya malah membuat
teman-teman sepermainannya menangis. Seluruh perhatian terpusat pada Ari kecil. Semua orang terpesona pada Ari kecil.
Termasuk Ata kecil, yang saat itu rela memberikan segalanya asalkan saudara kembarnya itu baik-baik saja.
Sial...
Ata kecil, yang saat orangtuanya bercerai hanya bisa menangis. Yang saat orangtuanya berdebat hebat hanya bisa meringkuk dalam selimut kecilnya, awalnya tidak memiliki perasaan apapun ketika orangtua mereka memperebutkan siapa mengasuh siapa. Pun tidak protes ketika Ari bersama Papa, sedangkan dirinya bersama Mama. Ata kecil menurut.
Ata kecil pun tidak protes saat Mama setiap hari bepergian sampai lupa segalanya hanya untuk mencari Ari. Meninggalkannya sendirian di rumah, nggak peduli bahwa Ata kecil juga memiliki rasa takut. Sungguh, Ata kecil nggak pernah keberatan akan hal itu.
Namun... Ata kecil juga akhirnya merasa jenuh. Jenuh karena tidak diperhatikan. Jenuh karena Ari kecil tak kunjung ditemukan, sedang Mama terlihat seperti bukan Mama yang ia kenal.
Siaaalll...
Demi Mama, Ata rela berubah. Demi Mama, Ata rela menjadi seorang anak yang penurut, yang mau disuruh ke warung, yang mau disuruh beberes rumah, yang mau belajar tanpa disuruh. Demi Mama, Ata rela mengisi tempat Ari yang saat itu kosong.
Demi Mama, Ata rela menjadi Ari.
Itulah awal kejengkelan Ata terhadap Ari.
“Sialaaaaannnn!!!!”
Jeritannya menggelegar. Siapapun yang mendengarnya pasti akan bisa merasakan kesakitan disana. Luka hati yang mendalam.
Kecemburuan yang mengakar. Pengorbanan yang begitu besar namun tak pernah terlihat.
Dipikirnya, nggak ada satu orang pun yang akan menginjakkan kaki di tempat ini.
“Woy!”
Ternyata ada. Ata menoleh ke arah sumber suara.
Ada Ridho yang menjulurkan setengah badannya dari balik pohon beringin. Cepat-cepat Ata mengontrol air mukanya.
“Elo, Dho. Gue kira nggak bakal ada orang yang mau kesini,” sahutnya, basa-basi. Ata mengambil duduk di samping Ridho. “Ngapain lo disini?”
“Nah... justru karena anggapan yang begitu itu, yang bikin gue ngejadiin tempat ini sebagai tempat bertapa,” Ridho menjawab dengan gaya khas petapa. Ata pun melakukan hal yang sama, kemudian keduanya tertawa pelan.
“Lo nggak ikutan nganterin Tari?” Basa-basi lainnya dari Ata. “Tadi gue lewat depan kelas sepuluh, tuh. Pada rame.”
Ridho menjawabnya dengan tak acuh.
“Lagi mau rehat dari titah paduka raja. Gue capeeek.” Ketika dilihatnya Ata tidak mengerti, Ridho melanjutkan, “Kembaran lo itu, beuh... Sori nih ya, tapi lo pasti hapal dong sama sifat-sifatnya dia. Bossy, rese’, liar! Ampuuun deh. Waktu kecil juga dia udah begitu banget, ya?”
Gigi Ata gemeletuk, menahan jengkel. Lebih tepatnya, ia merasa tersindir. Namun ditahannya mati-matian segala emosi yang menggelegak di dasar hati.
“Tapi, Ta... Kok lo kemarin nggak ikut nganterin Ari ke rumah sakit?” Tanya Ridho polos.
“Yah... Gue ngerasa punya tanggung jawab moral aja untuk ngebantu sodara gue yang luka parah dengan ngelanjutin perjuangannya dia. Kayaknya kemarin bener-bener nggak ada waktu buat menye-menye,” jawabnya diplomatis. Ridho mengangguk-angguk, paham. “Lo sendiri kenapa kemarin nggak ikut ke rumah sakit? Kan lo sahabatnya.”
“Kacungnya, kali,” jawab Ridho pelan. Kali ini dengan nada serius. “Kan kemarin gue dapet titah untuk ambil alih pasukan dari dia. Ya, itu, karena mau ngurusin Tari yang jelas-jelas lagi sama elo. Lagipula... Rasa cinta gue untuk membela nama baik Airlangga jauh lebih besar daripada nganterin dia. Dia sih, udah pastilah banyak yang nganterin.”
Wow... Ata bersiul dalam hati. Bahkan yang diyakini sebagai orang terdekat Ari aja bisa ngomong begini. Lumayan... Buat nambah suporter!
“Gue salut sama elo, Dho. Kayaknya kita satu visi.”
Ridho mengernyit. “Satu visi apaan?”
Yang ditanya malah menderaikan tawanya keras-keras. “Bantu gue mengakrabkan diri sama anak-anak, dong! Kasian nih, gue, nggak punya temen!”
“Gampaaang! Tawaran main bakal banyak banget ngalir ke elo deh mulai sekarang, apalagi setelah ngeliat aksi lo yang – sumpah – lebih keren daripada Ari,” Ridho membesarkan hati Ata. Dengan ramah, diajaknya cowok itu bermain basket di lapangan sekolah.
Ini baru awal.
*
Ada yang aneh di sepanjang hari ini. Ridho... sama Ata? Ngapain?
Keduanya terlihat sangat akrab. Kemana-mana berdua. Ridho, dengan santainya mengenalkan Ata pada semua orang yang dijumpainya. Riuh rendah menyambut Ata, yang disebut-sebut sebagai pahlawan baru SMA Airlangga.
Oji, yang melihat itu semua, hanya bisa melongo tak percaya. Tuh orang gimana sih! Malah ngedeketin orang yang lagi dicurigai sebagai musuh dalam selimut!
Makanya, saat pelajaran berlangsung, Oji menyenggol keras rusuk Ridho.
“Apa?”
Dengan suara berbisik, Oji bertanya, “Lo ngapain akrab bener sama si Ata? Lo lupa sama misi kita?”
Ridho hanya menjawab singkat, “Bukan urusan lo,” sebelum kemudian ia memusatkan konsentrasinya kepada pelajaran. Oji menahan geram.
Sejak kapan lo bertingkah sebagai pengkhianat?!
*
Ada yang aneh di sepanjang hari ini. Ridho... sama Ata? Ngapain?
Keduanya terlihat sangat akrab. Kemana-mana berdua. Ridho, dengan santainya mengenalkan Ata pada semua orang yang dijumpainya. Riuh rendah menyambut Ata, yang disebut-sebut sebagai pahlawan baru SMA Airlangga.
Tari, yang melihat itu semua, hanya bisa melongo. Tak percaya dengan penglihatannya. Kenapa?Bukannya Ridho yang nasehatin gue supaya nggak ninggalin Ari? Kenap –
Seketika Tari memahami keseluruhan kondisinya. Apa yang sedang terjadi, dan perkiraan apa yang akan terjadi ke depannya.
Serangan baru... akan segera dimulai!
*
Ada yang sedang sendirian menahan sakit. Ada yang hanya bisa berbaring di ranjang rumah sakit.
Ari jengkel dengan kondisinya saat ini, yang membuatnya menjadi manusia yang sangat tidak produktif. Nggak bisa gangguin para guru, nggak bisa main futsal amupun basket dengan teman-teman sekelasnya, dan terutama... Nggak bisa mengawasi Tari.
Untuk tiga hari ke depan, sampai dirinya benar-benar diijinkan pulang oleh dokter, Ari terpaksa menitipkan keselamatan Tari di tangan Oji. Sejujurnya, Ari ingin tidak hanya Oji yang menjaga Tari, namun juga Ridho. Jika gadis kesayangannya berada di bawah pengawasan dua orang yang paling dipercayainya saat di sekolah, hati Ari pasti akan jauh lebih tenang.
Namun ini aneh. Sangat aneh.
Bahkan sejak ia sadar kemarin, Ari sama sekali belum melihat Ridho menjenguknya. Pagi ini, saat Ari mencoba menghubungi Ridho, ponsel sahabatnya itu sedang tidak aktif. Ada apa dengan Ridho?
Oji juga bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan Ari.
“Gue sih daritadi fokus ngeliatin Tari, Bos. Sama ngerayu Bu Sam – doi serem banget tadi ngeliatin gue! Jadi nggak sadar juga yah, Ridho dimana,” begitu kilahnya saat mengunjungi Ari sore ini.
“Gue coba telepon dia juga, nomornya nggak aktif,” Ari berujar bete. “Tuh orang lagi suka sama cewek kali, ya? Trus kita-kita dilupain, gitu. Puh!”
Yee... Sodara kembar lo ternyata cewek! Oji berujar keki, namun hanya dalam hati. Mana mungkin Oji tega mengabarkan pada Ari tentang kondisi di sekolah, apalagi masalah Ridho.
“Pokoknya, Bos... Lo harus cepet sembuh,” kata Oji serius. “Sekolah ngebetein banget deh kalo nggak ada lo! Bahkan Bu Sam sampe keliatan lesuuuu banget, karena murid favoritnya nggak masuk.”
Keduanya tergelak, walau masing-masing tidak dapat menyembunyikan kesedihannya. Tawa ini serasa kurang lengkap tana satu orang lagi di sisi mereka.
Tak berapa lama, pintu ruangan tempat Ari dirawat terbuka.
“Eh, ada Nak Oji...” Sapa Mama, ramah. Oji buru-buru menghampiri Mamanya Ari, seraya membantu membawakan barang-barang bawaannya beliau.
“Mama sendirian?”
“Tadi sama Tante Lidya, cuma Tante Lidya konsultasi dulu sama dokternya, kebetulan di rumah sakit ini juga,” jawab Mama lembut. “Ari udah baikan?”
“Udah, dong, Ma...”
“Ari udah makan?”
“Belum. Baru aja mau minta Oji nyuapin Ari,” tutur cowok itu jahil seraya mengedip genit ke arah Oji. Melihat itu, Oji langsung memparodikan gaya orang muntah.
“Bos! Geli, ih! Yang ada tuh makanan masuknya ke mulut gue sendiri, woo...” Setelah berkata begitu, Oji memasang wajah tanpa dosa kepada Mamanya Ari seraya berkata, “Eh... Maaf, Tante.. Kebiasaan. Hehehe...”
Mama hanya tergelak melihat tingkah kedua anak muda ini.
“Oiya, Mama hampir lupa,” wanita itu lalu merogoh barang bawaanya, dan mengeluarkan sebuah...
“Baju, Ma?” Tanya Ari heran. Mama mengangguk.
“Baju sekolah kamu yang kemarin kan udah nggak mungkin dipakai lagi. Ini, semalam Mama jahitin seragam sekolah untuk kamu. Ukurannya pakai ukuran Ata, sih. Semoga Ari suka, ya...”
Ari – dan juga Oji yang menyaksikan hal tersebut – terharu. Setelah sekian lama, ini adalah kali pertama Ari dibuatkan baju oleh Mamanya.
“Ari sayaaaaang banget sama Mama. Terima kasih, Ma...”
“Sama-sama, Nak...”
Bahagia itu sederhana. Menyaksikan sahabat karibmu sendiri bahagia setelah sekian lama kamu hanya melihatnya bermuram durja. Seperti saat ini. Oji sangat bersyukur karena akhirnya Ari dapat merasakan kembali kasih sayang seorang ibu.
*
Ridho bukannya tidak melihat segala keharubiruan di dalam sana. Ia melihatnya dengan jelas, bersama Ata. Namun hanya dari luar. Keduanya tidak masuk ke dalam.
“Kenapa lo gak masuk aja, sih? Kembaran lo, tuh,” Tanyanya pada Ata.
“Kenapa lo gak masuk aja, sih? Sobat lo, tuh,” Ata membalikkan pertanyaan tersebut pada Ridho. Keduanya hanya terdiam. Sibuk dengan kemelut pikirannya masing-masing.
*
Hari Rabu. Harinya pelajaran olahraga bagi kelas X-9.
Sialnya, ada satu kelas lagi yang ikut bergabung main kasti bersama X-9. Kelasnya Vero. Karena suatu urusan, Pak Adang – yang juga guru olahraga kelas XII IPA 1, kelasnya Vero – menyatukan jadwal olahraga mereka.
Tari, Fio dan Nyoman langsung terdiam. Kalo Nyoman sih lebih ke takut, trauma melihat kehadiran Vero. Namun bagi Tari dan Fio, ini artinya... Bencana!
“Tar.. Nggak ada bala bantuan, nih?” bisik Fio pelan saat mereka melintasi lapangan.
“Saatnya berjuang sendiri! Dipikirnya dia siapa, gue bakalan takut gitu sama dia? Huuu... Nggak bakal!”
Dengan nada suara yang dilantang-lantangkan, Tari menjawab pertanyaan Fio. Walau dalam hatinya masih dagdigdug, tapi kali ini... Tari akan melawan!
Pak Adang, guru olahraga kedua kelas itu, hanya memberikan arahan sedikit, sebelum kemudian membiarkan para muridnya bermain dengan adil dan bijaksana. Maksudnya, maunya Pak Adang sih gitu. Tapi yang terjadi malah sebaliknya.
Dalam permainan kasti ini, seakan-akan aturan baku tidak berlaku. Semuanya pada gambreng menentukan siapa yang akan menjadi pemukul. Namun, untuk masalah siapa yang akan melempar bola, nggak ada gambreng-gambrengan. Karena sudah ada yang berinisiatif atas posisi itu.
Siapa lagi kalo bukan... Vero!
Tari, yang sialnya kebagian sebagai pemukul pertama kali, hanya bisa pasrah. Pokoknya mau nggak mau, gimanapun caranya, bola itu harus berhasil dia pukul!
“Minggir lo semua!” Seru Vero lantang. “Permainan ini milik gue sama si oranye-oranye norak itu!”
Oranye-oranye noraaaak?! Pekik Tari dalam hati. Dasar gunting buta warna!
“Siap-siap, ya...”
BRUUUKK!!
Lemparan pertama telak mengenai lengan Tari. Akibat kelengahannya! Tari jadi makin dongkol. Kali ini, nggak akan ia biarkan lemparan dari Vero menyentuh tubuhnya.
Nyatanya lemparan itu datang bertubi-tubi. Dari jarak yang bervariasi. Mulanya jauuuuh banget, kemudian mendekat, dekat, dan... Menjadi sangat dekat! Tari sampai kewalahan menangani pukulan bertubi-tubi itu. Jangankan Tari, semua yang ada di lapangan lebih memilih untuk menghindar daripada kena bola nyasar!
“Duh, Kak Vero gimana sih!” Tari ngedumel, kesal. “Permainan Kakak payah banget. Payah, PARAH!!”
Tari memancing. Dan, Vero jelas saja terpancing. Dengan langkah yang besar-besar, dihampirinya Tari hingga kemudian... PLAKK!!
Tamparan keras itu mendarat di pipi mulus Tari.
“Elo, ya, makin lama makin ngelunjak. Lo pikir lo siapa, hah?!”
Tari sudah melempar tongkat pemukulnya. Biar, kalo emang kali ini dia harus adu fisik dengan Vero, akan ia hadapi.
Dan itu terbukti dengan... PLAAK!! Tamparan balik dari Tari untuk Vero.
“Lo juga mikir, deh. Lo siapa, sih? Cuma senior yang hobinya ngegencet para juniornya, iya? Saking desperate nya karena cinta lo bertepuk sebelah tangan!”
Di ujung lapangan, Fio menepuk jidat. Tariiii lo cari mati banget, siiih!
Baru saja Fio akan berbalik untuk mencari bala bantuan, di sebelahnya terdengar suara Oji yang sedang berdecak kagum.
“Wow... Keren banget! Bos pasti suka, nih!”
Kelakuan Oji ini benar-benar bikin Fio makin nggak ngerti. Oji, bukannya ngebantuin Tari dulu, malah dia merekam peristiwa lempar-lemparan dan tampar-tamparan antara Vero dan Tari!
“Iiiiih ... Kak Oji! Dibantuin dulu, dong! Jangan malah direkaaaaam!”
“Wah... Justru harus direkam, Fi,” sahut Oji dengan nada diplomatis. “Ini barang bukti, tau! Biar Ari tau harus ngelakuin apa ke Vero waktu masuk nanti. Pinjem ponsel lo!”
Fio mengernyit. “Buat apa?” Tanyanya, membuat Oji berdecak nggak sabar.
“Yaa buat nelepon Ari, dong. Nih, lo tetep rekam kejadian ini, sementara gue pinjem pulsa lo buat ngebantuin sobat lo itu. Oke?”
Sinting! Namun, tak ayal Fio tetap melakukan semua yang diinstruksikan oleh Oji. Sambil berlari-lari ke tengah lapangan, Oji berseru, “Makasih yaa, Fioo! Lo harus inget, ini semua demi kebaikan Tari! Semoga kebaikan lo dibalas serupa bahkan lebih oleh Yang Maha Kuasa, dan juga kalo penggantian pulsa tagih ke Ari aja yaa!”
“Apa kata lo, deh!” Ujar Fio keki. Nyoman, yang berdiri di sisi lain Fio, hanya bisa tertawa geli sambil merekam dengan baik seluruh kejadian di depan sana. Amunisi gosip!
Sementara Oji berlari menghampiri keributan di tengah lapangan, yang terjadi disana sudah lebih heboh lagi. Berkali-kali Vero berteriak pada Tari dengan kata-kata yang super ngeselin, sementara Tari – yang memang tidak diberi kesempatan untuk angkat bicara – hanya tersenyum mengejek. Sesekali matanya membesar ketika kata-kata ketua The Scissors sudah tidak dapat ditolerir lagi. Sesekali diejeknya Vero dengan kata-kata yang sama.
Semua penonton tau, siapa yang berkuasa, dan siapa yang sedang memegang kekuasaan. Tentu saja, lebih daripada Vero yang sedang berkuasa, Tari berada jauuuuh melesat di atasnya! Duduk di singgasana yang sama dengan Ari, sebagai satu-satunya wanita yang dikejar-kejar dan dilindungi dengan pengawalan penuh.
Dalam perang ini, semua juga tau Vero nggak akan pernah menang. Malah harga dirinya yang semakin hancur.
“Hallooooo, Veronica-kuuuu, my babyyyy!”
Suara norak Oji menghentikan teriakan Vero. Mulutnya langsung terbungkam. Sementara Oji kembali berbicara namun bukan pada Vero. Melainkan pada sang pemberi instruksi.
“Dih, gue sapa dikit dia langsung diem, Bos! Wah... Sepertinya pesona gue makin parah hebatnya, hohohoho... Apa? Amplop yang kemarin lo kasih?” Seketika mata Vero mendelik mendengar kata-kata itu. “Gue bawa-bawa selalu, dong. Buat jaga-jaga. Eh, buat diliatin juga sih, Bos. Habisnya...” Oji bersiul genit. “Hot banget!”
Dan Oji membuktikan ucapannya. Dikeluarkannya amplop coklat dari balik kemeja sekolahnya. Mata Vero langsung terbelalak maksimal. Merah semerah-merahnya!
“Oke. Gimana, Bos? Sebarin, nih? Habis dia udah keterlaluan banget, sih. Gue ada tuh, rekamannya. Ibu Negara ditampaaaar!”
Oji mengucapkan laporannya dengan sangat dramatis, yang justru meimbulkan efek geli bagi siapa saja yang mendengarnya. Sementara Tari hanya tersenyum puas. Sekali-sekali, deh. Gue bertingkah jahat gini! Syukurin lo, wuuu...
Vero tersadar dari keterdiamannya. Dihampirinya Oji dan segera dirampasnya amplop coklat itu.
“Bos, dirampaaas!” Oji langsung merengek layaknya anak bayi yang kehilangan permen. Kemudian, dengan gerakan yang tak terduga, sebelah tangannya langsung mencekal Vero.
“Lo harus diperingatin berapa kali sih, supaya jera? Hmm?” Kali ini suara Ari, yang terdengar jelas di telinga Vero. Oji sudah menempelkan benda tersebut hingga Vero bisa berkomunikasi langsung dengan Ari.
“Tindakan lo itu selamanya akan percuma,” ujar Ari lagi, dengan sangat datar. “Mulai dari awal lo ngejer-ngejer gue, saat ini, dan selamanya... Lo berada dalam level yang jauuuuuh banget. Stop buang-buang waktu lo buat gangguin Tari. Oke? Belajar buat UN aja biar bisa lulus.”
Vero merintih. Kali ini, di hadapan satu sekolah, dirinya sudah hancur sehancur-hancurnya. Memalukan! Yang tersisa dari apa yang terjadi hari ini hanyalah kehancuran harga dirinya sebagai ketua geng The Scissors.
”Sialaaaaaannnn!!!!”
*
“Apa rencana lo selanjutnya?”
Angga mengajak Ata bertemu setelah pulang sekolah, untuk membicarakan strategi mereka dalam menyerang Ari.
“Gue ambil semua yang udah dia dapetin di Airlangga. Sahabat, perhatian, ketenaran, kekuasaan. Ada ide?”
Angga tersenyum licik. “Lo haus banget sama kekuasaan?”
“Gue haus terhadap semua yang bisa dia miliki dan gue gak bisa,” jawabnya datar. Angga tertawa, prihatin. Setelahnya, Angga mengeluarkan sebuah benda mungil.
“Nih, gue punya oleh-oleh. Tentang kembaran lo. Semoga berguna.”
Ata menaikkan sebelah alisnya, memandangi benda itu dengan bingung. Flash disk?
*
SMA Airlangga, selama absennya Ari, sang penguasa, ternyata tidak benar-benar berduka dan kesepian.
SMA Airlangga kini memiliki pahlawan baru. Ata.
Bukan hanya kisah romantis antara Tari dan Ari saja yang menjadi trending topic di kalangan siswa-siswa Airlangga, namun kisah heroik Ata menggantikan posisi Ari hingga berhasil memukul mundur Brawijaya adalah kisah yang terus diulang-ulang sepanjang waktu.
Ditambah lagi, pribadi Ata bukanlah seperti Ari yang meledak-ledak. Di hadapan semuanya, terlihat sekali bahwa Ata lebih tenang, lebih bersahabat, dan lebih rajin dalam pelajaran dibandingkan Ari.
Selama absennya Ari dari SMA Airlangga, Ata sudah menebarkan pesonanya di hampir seluruh penjuru sekolah. Di setiap angkatan, di setiap kantin, di antara para guru, hingga para cleaning service. Semuanya mengenal dengan baik tentang sosok Ata. Tentang keramahannya. Juga kepintarannya.
Kini, setiap Ata melangkahkan kakinya kemanapun di setiap penjuru sekolah... Ridho akan selalu berada di sampingnya, membayanginya!
Oji dan Tari adalah dua orang yang sangat kesal dengan perubahan kekuasaan yang tiba-tiba seperti ini.
“Mereka itu, ya!” Untuk yang kesekian kalinya, tari ngedumel di hadapan Oji. “Kayak kacang lupa kulit, tau gak! Pahlawan sejati mereka, pahlawan yang sebenarnya itu lagi terbaring di rumah sakit! Segitu doang simpatinya mereka terhadap Kak Ari?! Iiiiiiihhh!!”
“Ridho juga, dasar pengkhianat!” Kalo udah gini, Oji pasti akan ngomel balik ke Tari. “Kenapa dia harus nyebrang? Ke Ata, ke kembaran yang nggak tau diri itu!”
“Iya, ya. Kak Rdho...” Tari tercenung, memikirkan segala sikap aneh Ridho.
“Brengsek emang tuh orang. Mana kerjaannya menghindar terus, lagi!” Oji masih lanjut menumpahkan kekesalannya.
Sementara Tari sedang berpikir keras.
Angga. Ridho. Ata. Batinnya. Semua orang bersikap seakan-akan Kak Ari punya dosa besar yang tak termaafkan. Ada yang nyuruh gue untuk ngejauhin Kak Ari, itu Angga. Ada yang nyuruh gue untuk tetap di samping Kak Ari apapun yang terjadi, itu Ridho. Tapi Ata... Gak berkomentar apapun. Dia malah mengikutsertakan gue dalam drama sakit hati ini.
“Kak Oji...” Ujar Tari pelan. “Sepertinya kita emang harus curiga ama Kak Ata.”
“Itu udah gue sama Ridho lakuin dari dulu!” Sergahnya sakit hati. “Mata nggak bisa dibohongin lagi, Tar. Ata tuh beda ke Ari. Dan lagi... sampe sekarang dia nggak pernah ngejenguk Ari, kan?”
“Bener, Kak...” nada suara Tari terdengar sedih. “Oiya, sama kita harus menyelidiki motif Angga dan Bram yang sebenarnya sampe mereka tega nusuk kak Ari.”
Keduanya sama-sama terdiam, tenggelam dalam arus pikirannya masing-masing. Percakapan kali ini, selalu berakhir dengan masalah yang sama, tanpa menemukan pemecahannya sama sekali.
* Senyum Ata tersungging sangat lebar. Ia timang-timang flashdisk pemberian Angga itu dengan sayang, seolah itu adalah benda yang
paling berharga sedunia. And it is... Ata tertawa pelan. Angga memang tahu... apa yang saat ini sangat gue butuhkan.
"Lo ngapain? Gue cari dari tadi ternyata disini."
Ridho yang tiba-tiba berdiri di belakang Ata berdecak pelan.
"Ngapain, sih? Liat bokep, ya?" tuduh Ridho sadis. Ata tertawa geli. Memang tidak salah Ridho mengira begitu. Seorang lelaki, di perpustakaan, sendirian, dengan laptop di depannya dan telinga yang tersumpal headset. Memang tidak salah bila Ridho mengira seperti itu. "Dho, cari sensasi, yuk!" Ucap Ata kemudian, setelah tawanya reda. Ridho mengernyitkan dahi. "Lo... nggak ngajak gue bikin video bokep, kan?" Ata memilih untuk tidak mengacuhkan pertanyaan sesat Ridho dan melanjutkan ucapannya. "Lo beneran jenuh sama Ari? Ada yang mau gue tunjukin. Lo pasti nggak nyangka." Ridho menaikkan alis, kemudian duduk di sebelah Ata dan sama-sama memandangi layar laptop.
Yang terlihat di layar laptop ini membuat Ridho melongo maksimal.
Sudah tiga hari ini Ata mengamatinya. Ia suka warna biru. Rambut hitam legam sepinggangnya selalu diurai dan dipakaikan bando, jika tidak dikepang rapi. Orangnya sedikit kikuk dan pendiam. Mungkin karena hal itu ia tidak punya teman dekat, setidaknya begitu sepengetahuan Ata yang tidak pernah melihat gadis itu bersama orang
lain – hanya dia sendiri. Meski begitu, gadis yang diamati Ata selama tiga hari ini mempunyai senyum yang luar biasa manis, yang sanggup membuat Ata tertegun beberapa detik.
Jika Ata tidak mengingat gadis itu adalah ‘proyek’, sudah ia kejar gadis itu habis-habisan. Namun, untuk saat ini, Ata belum mau menjalin hubungan dengan gadis manapun, karena masih ada hal yang lebih penting yang harus ia kerjakan. Gadis itu hanya salah satu batu pijakan untuk meraih misi dan ambisinya… juga untuk membalas Bram yang telah menusuk kembarannya!
*
Anggita gelisah. Sudah tiga hari ini ia merasa diperhatikan oleh seseorang. Bahkan, kalau memang Gita tidak salah terka dan tidak besar rasa, orang itu sampai berani mengikutinya masuk bus perjalanan pulang! Serem, kan?
Mungkin kalau orang itu adalah orang biasa, ia akan melaporkannya pada kakak sepupunya, Angga, si preman SMA Brawijaya, atau Bram yang merupakan tangan kanan Angga, agar si stalker itu dihabisi segera. Tapi masalahnya... Ah, bagaimana Gita harus menjelaskan bahwa sebenarnya ia agak tersanjung juga diperhatikan oleh salah satu Matahari? Apalagi Matahari yang ini. Matahari yang begitu… sempurna. Ah, bagaimana Gita dapat menjelaskan?
Berbeda dengan saudaranya yang blangsak dan cenderung urakan, Matahari yang ini begitu tenang pembawaannya. Begitu sopan. Begitu penurut. Tidak berulah. Juga pintar. Dan maksud Gita adalah benar-benar pintar! Fakta ini pun tidak sengaja ia ketahui Pak Yusuf, guru Bahasa Indonesia, memintanya untuk mengambil diktat yang
ketinggalan di ruang guru,. Saat Gita masuk, ternyata disana beberapa guru sangat heboh membicarakan Matahari Jingga!
“Beda sekali dengan saudaranya! Yang ini angel, yang sana trouble maker!”
“Responsi fisika kemarin… Ata mendapat nilai sempurna! Padahal itu responsi dadakan!”
“Tidak pernah… tidak pernah sama sekali membuat kacau di kelas!”
“Cuma Ata yang jadi top scorer waktu basket kemarin, setelah saya suruh scotch jump 100 kali!”
Dan yang paling membuat Gita – pun juga sebagian besar warga Airlangga – terkesan pada Ata… keheroikannya kemarin saat tawuran. Tanpa banyak tingkah dan banyak perintah sana-sini, ia pukul mundur Brawijaya hanya dalam waktu 10 menit!
Udah ganteng, baik, pinter, jago berantem, pula!
“Eits! Hati-hati!”
Suara teriakan itu membuyarkan lamunan Gita sekaligus mengejutkannya sehingga ia hentikan langkahnya secara mendadak. Ia tertegun. Di depannya menganga lubang besar, bekas galian, entah galian apa. Jika tidak ada yang memeringatkannya, mungkin sekarang ia sudah tersuruk disana, entah pingsan, lecet atau gegar otak. Gita menoleh, mencari sumber suara, ingin mengucapkan terimakasih atas peringatannya.
Tapi nampaknya Gita tidak perlu susah-susah mencari. Orang itu berdiri tepat di depannya. Sedikit menunduk, memegang kedua bahu Gita lembut dan menatap Gita tepat di matanya.
Orang itu Matahari Jingga.
Ya ampuuuuuuunnnn!
“Lo nggak pa-pa?” Tanya Ata.
Gita hanya bisa terdiam. Oke, ralat. Gita hanya bisa bengong. Melongo, dengan mulut sedikit terbuka saking shocknya.
“Hei? Lo nggak kenapa-napa, kan? Halo?” Ata mengguncangkan pundak Gita agak keras. Gita tersadar dan ia langsung gelagapan, berulang kali membetulkan letak kacamatanya.
“Eh, enggak… Nggak pa-pa. Makasih, ya, Kak. Permisi.”
“Hei, tunggu dulu…” Ata terkekeh geli. ”Gue ngikutin lo dari sekolah sampe sini bukan cuma untuk lo tinggal pergi gitu aja, tau… gue pengen nganterin lo sampe rumah. Boleh?”
“Oh, Kakak mau – “ namun Gita terkesiap, lantas tanpa sadar memekik, “APAA?!”
“Nganterin lo pulang.” Ata nyengir. ”Yuk! Nunggu bus nomor tiga di halte aja.”
“Mmm... Kakak tau darimana kalo saya naik bus nomor tiga?” Tanya Gita dengan penuh selidik. Sebenarnya untuk memastikan juga bahwa memang benar dari kemarin dia diikuti.
Ata memasang raut wajah sedang berpikir keras. Ia ketuk-ketukkan telunjuk di keningnya.
”Kok bisa tau? Hmm... karena dari kemarin gue ngikutin elo terus kali, ya,” jawab Ata santai.
Tuhan, ini lebih dari sekedar indaaah! Pekiknya riang dalam hati. Namun tiba-tiba Gita was-was. Seorang Ata, yang jelas-jelas merupakan kembarannya Ari, yang – lagi – merupakan musuh bebuyutannya Angga di medan perang, ngikutin dia untuk apa?
“Kenapa? Lo ragu?” Tanya Ata, setelah beberapa saat Gita hanya diam saja memandanginya. “Apa perlu alasan untuk dulu baru bisa pulang bareng elo?”
Gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali. Orang ini... bisa baca pikiran kali, ya! “Soalnya heran aja sih, Kak. Ngg... Aneh aja, gitu...”
Ata tergelak, gemas dengan tingkah lugu gadis ini.
”Okeee gue kasih tau alesannya,” Jari-jari Ata mulai berhitung. “Satu, lo pasti nggak mau ambil resiko jatuh di lubang mana karena ngelamun sendirian. Dua, karena jam segini tuh bus lagi padet-padetnya sehingga lo butuh orang yang bisa ngejagain lo di dalam bus. Dan ketiga…”
Ata tiba-tiba menyodorkan ponselnya. Refleks, Gita menggeleng dan menjauhkan ponsel itu dari hadapannya. Tapi Ata memaksa. Ia tempelkan ponsel itu di telinga Gita. Sehingga mau tidak mau, Gita akhirnya menerima ponsel itu.
“Halo…”
“Hei, Git…”
Gita langsung mendelik. Suara yang diseberang sana… kakak sepupunya! Tanpa sadar Gita langsung meninggikan suara.
“Kok... Kak Ata bisa nelepon elo, sih?! Kok... kalian... Apa sih iniiii?!”
Suara di seberang, bukannya menenangkan atau menentramkan, malah berbicara dengan lirih, seperti berbicara di pemakaman. “Pokoknya lo ati-ati, ya, Git. Nurut sama Ata. Lo harus inget, gue sayang sama lo. Oke?”
Dan sambungan telepon putus seketika.
Gita lemas selemas-lemasnya. Tangannya dingin. Tulangnya serasa rontok. Astaga… inilah resikonya jadi adik preman sekolah musuh! Dilayangkannya pandangan pasrah pada Ata, yang sedang balik menatapnya dengan menaikkan alis.
“Karena kata sepupu saya nggak kenapa-napa, iya, deh... Saya pulang bareng Kak Ata...” Gita berujar pasrah.
Tanpa dinyana, Ata langsung tertawa terbahak-bahak setelah mendengar penuturan Gita barusan.
”Lo jangan mikir yang macam-macam, dong. Gue emang beneran pengen nganterin lo pulang, lagi...” ucap Ata setelah tawanya reda.
Gita menggeleng, namun dibiarkannya Ata ikut berjalan di sampingnya. Mereka berdua berjalan beriringan, tanpa berbicara sepatah kata apapun. Masih kaku.
“Gue tau lo sepupunya Angga. Gue tau lo adek kelas gue, anak X-3. Tapi kita belom kenalan langsung,” suara Ata memecah keheningan. Ia mengulurkan tangannya.
”Ata.”
Dengan malu-malu, Gita membalas uluran tangan itu.
”Anggita.”
“Anggita…” Ata bergumam, ”Nama yang bagus.”
Mereka sampai di halte. Percakapan yang cukup seru mengalir antara Gita dan Ata. Baru setelah bus nomor tiga yang keenam datang, mereka pun memutuskan untuk naik, dan terpaksa melanjutkan obrolan yang terputus di dalam bus.
*
“Yakin mau masuk sekolah?”
“Yakin.”
“Lo masih sakit dan butuh recovery, Kak…”
“Gampanglah itu. Gue udah bosen di rumah mulu.”
“Tapi –“
“Jingga Matahari,” Ari memegang kedua bahu Tari, erat. Ditatapnya Tari lekat-lekat. ”Sampai kapan kita mau berdebat?”
Tari cemberut, mengernyitkan dahinya, tanda tak suka. Tapi Ari tahu, ini pertanda bahwa ‘perang’ ini sudah hampir ia menangkan. Sambil tersenyum geli, diacaknya rambut Tari dengan sayang dan dikecupnya kening Tari lembut.
Senin pagi. Jam dinding sudah menunjukkan pukul o6.35 dan mereka masih berdiri di teras rumah kontrakan Mama Ari, yang tak jauh dari rumah Tante Lidya. Memang, setelah Ari keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu, Mama dan Papa Ari sepakat agar untuk sementara waktu Ari dirawat oleh mamanya, sampai ia sehat betul. Dan sekarang… disinilah Ari. Dengan Tari di depannya, masih belum putus asa untuk membujuk hari ini Ari tidak masuk sekolah Perdebatan mereka masih belum usai karena Tari sama keras kepalanya dengan Ari.
Berawal dari kekeraskepalaan Ari untuk masuk sekolah hari ini, karena sudah bosan dirumah. Mama, yang sudah kehabisan cara untuk membujuknya agar tetap dirumah, langsung menghubungi Oji agar turut membujuk Ari. Dan seperti dugaan – bujukan Oji yang menakut-nakuti Ari bahwa hari ini Bu Sam lagi PMS hingga lebih mengerikan dari biasanya tidak berhasil.
Terpaksa Mama Ari mengeluarkan senjata pamungkasnya: Tari! Itu juga masih tidak mempan. Wanita paruh baya itu hanya bisa mengelus dada seraya berdoa dengan khusyuk, supaya Tari bisa menang melawan sikap ngotot anaknya.
“Sebenernya apa yang lo kuatirin sih, hmm? Gue udah sehat begini. Ibarat kata tawuran lagi, nih…” Ari mengucapkan kata ‘tawuran’ dengan pelan agar Mamanya tidak mendengar, ”gue udah kuat buat ngebabat habis mereka, lho.”
Tari melotot,”Jadi motivasi lo –“
Ari panik, langsung membekap mulut Tari.
”Sshh… ya nggak, lah! Memangnya lo nggak bosen di sekolah dikawal Oji mulu?” Ari berujar sembari melirik Oji yang sedang asyik menikmati arem-arem buatan Mama. Yang dilirik cuma nyengir seraya mengacungkan arem-arem. Tari mendengus kesal.
“Memangnya kalo lo masuk sekolah, gue nggak dikawal lagi?”
“Ya dikawal, sih. Tapi sama gue, bukan sama Oji,” jawab Ari santai.
“Kak Ariiiii!” pekiknya menahan gemas.
“Hmmm?”
Tari menarik napas panjang. Sebenarnya hatinya berat mengizinkan Ari masuk sekolah. Perasaannya sangat tidak enak. Selama ‘serangan-serangan’ itu belum jelas betul bagaimana arahnya, selama ancaman-ancaman masih mengintai dan hanya menunggu tanggal main untuk dieksekusi… tentu sekolah adalah tempat yang sangat berbahaya bagi Ari! Apalagi dengan berbelotnya si tangan kanan, Ridho… Tari ngeri membayangkan apa-apa saja yang akan terjadi nanti. Melarang Ari ke sekolah dan membuat Ari stay di tempat yang aman dan netral adalah salah satu caranya melindungi Ari. Karena bagaimanapun, Tari tidak bisa menceritakan segala peringatan-peringatan, ancaman-ancaman, juga serangan yang samar tapi nyata pada Ari. Sesuatu sedang berlangsung, meski Tari tidak mengetahui apa sesuatu itu. Dan jelas ia tidak bisa menjelaskannya pada Ari. Tentang Angga, Ata, dan terutama… Ridho.
Peringatan Angga… Pasti akan disalahartikan oleh Ari. Dan dicemburui Ari adalah hal terakhir yang diinginkan Tari. Karena hati yang terbakar akan membuat Ari tidak dapat berpikir jernih dan kelengahan Ari itu yang dicari Angga.
Ancaman Ata… Apakah Ari akan mempercayainya jika saudara kembar Ari sendiri sedang merencanakan sesuatu untuk Ari yang sifatnya destruktif? Baru saja kedua saudara itu bertemu. Baru saja Ari merasa utuh.
Pengkhianatan Ridho… dapat membuat Ari ambruk dan jatuh seketika. Ari, Ridho dan Oji adalah tiga bagian tak terpisahkan. Mereka bertiga bukan hanya sahabat, tapi sudah seperti satu kesatuan. Satu jiwa dalam tiga tubuh. Kehilangan salah satunya akan membuat segalanya tidak seimbang, membuat pincang dan lumpuh seketika. Ridho dan Oji adalah penopang Ari. Bagaimana bisa Ari berdiri tanpa salah satu diantara mereka? Tari tak sanggup menghancurkan hati Ari lebih buruk lagi.
“Udah, deh, Tar… biarin aja dia masuk sekolah. Gue juga bosen nih di kelas tanpa Ari,” celetuk Oji tiba-tiba, yang langsung disambut dengan pelototan Tari. Kak Oji nih gimana, siiih?
“Akhirnya… ada juga yang dukung gue.”
Ari nyengir, kemudian pergi ke dalam untuk mengambil tas. Di teras hanya ada Tari dan Oji.
“Kak Oji gimana, sih? Kalo ada apa-apa gimana?” omel Tari pelan.
“Sampe kapan lo mau kurung dia terus, Tar? Mungkin lebih baik gini… biar dia tau realita yang terjadi di lapangan,” jawab Oji sok bijak. Tari terdiam. Perkataan Oji ada benarnya. ”udah, Tar… lo tenang aja. Apapun yang terjadi, kita hadapi sama-sama. Oke?” Oji menepuk pundak Tari pelan, seakan menyuntikkan semangat tambahan.
Tari menarik napas. Panjang dan berat. Whatever will be… will be!
*
Pukul 06.55! Pukul 06.55 yang fantastis, yang menandakan bahwa ia masih bisa melihat semesta. Tari berulang kali mengucap syukur pada Tuhan karena masih mengizinkan Tari untuk berada di dunia ini.
Perjalanan dari rumah Ari sampai ke sekolah seyogyanya ditempuh dalam waktu setengah jam. Tapi berkat Oji yang sepertinya ingin menyaingi Michael Schummacher, perjalanan itu ditempuh hanya dalam waktu sepuluh menit saja! Sepuluh menit yang menegangkan dan membuat setengah nyawa Tari melayang. Entah sudah berapa lampu merah yang mereka terobos. Entah sudah berapa orang dan kendaraan yang terpaksa menepi atau mengalah berkat cara nyetir Oji yang bisa membuat orang dengan penyakit jantung langsung lewat seketika.
Mereka bertiga berjalan beriringan menuju lapangan untuk upacara. Tari, dengan badan lemas, sedang Oji dan Ari yang terlihat sangat baik-baik saja dan malah saling bercanda. Lapangan sudah dipenuhi oleh lautan siswa yang sedang berbaris. Namun anehnya, disana sama sekali tidak ada persiapan upacara. Tidak ada guru. Murid-murid bergerombol, berkasak-kusuk dan melihat dengan khusyuk big screen yang terpampang di tengah podium.
“Ini ada apa, sih?”
Semua orang mengungkapkan pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang belum terjawab, namun sebentar lagi akan terjawab.
“Tari! Tari!” Fio berlari menghampiri Tari sembari melambaikan tangan. Ia sedikit terengah-engah.
“Ini ada apa, sih, Fi? Kok nggak upacara?” Tanya Tari. Pertanyaan yang serupa diajukan pula oleh Oji dan Ari.
“Memang nggak. Guru-guru lagi pada rapat di kantor yayasan. Jam pertama sampe ketiga kosong. Tapi…”
“Tapi apa? Kok ngegerombol disini semua? Ada apa?” Tanya Tari.
Fio menggigit bibirnya, berpikir keras. Aduh… bilang apa nggak, ya?
“Itu Kak, nggg... Kata Kak Ridho…”
“Apa kata Ridho?!” Tanya Oji, defensif.
Namun pertanyaan itu tak terjawab. Suara Ridho yang memakai megaphone menggema, memenuhi seluruh lapangan.
“Halo… Halo… Selamat pagi Airlangga. Maaf ya, gue ngebuat kalian semua kumpul disini. Panas-panas pula. Seperti apa yang sudah gue bilang lewat pengumuman tadi, ada hal yang sangat mengejutkan! Sangat mengejutkan, tentang panglima perang kalian, Matahari Senja!”
Suasana hening hingga bahkan bila ada jarum jatuh pun akan terdengar dentingnya. Semua perhatian mengarah pada Ridho yang sedang berdiri dengan percaya diri di podium. Semuanya mendengarkan dengan khidmat, penasaran dengan kelanjutan kata-kata Ridho.
Ata, yang duduk tepat di belakang Ridho bak Raja yang sedang menikmati pertunjukan murahan yang sedang dilangsungkan oleh rakyatnya, tersenyum jumawa. Ia Nampak menikmati hal tersebut. Revenge is sweet! Apalagi dilakukan tanpa mengotori tangannya tanpa sekali.
Ridho, seperti mengerti apa kemauan Ata, sengaja mengulur kata-katanya agar seluruh orang makin penasaran. Matanya melihat sekeliling, mencari sosok orang. Kemudian ia tersenyum melihat Ari berdiri mematung di barisan belakang, dan Tari berada di sebelahnya dengan wajah sangat pias.
“Nah… itu orangnya di belakang!”
Ridho menunjuk Ari. Sontak semuanya langsung menatap ke arah Ari. Ari hanya berdiri tenang dengan rahang mengatup. Tapi semua tahu. Terlihat jelas di mata Ari ada hawa pembunuh!
“Gue mau lo ke depan, Ri.”
Giliran Ata yang berbicara. Ia berdiri di sebelah Ridho sambil menyunggingkan senyum. Senyum itu mengerikan. Senyum itu berdarah.
Ari pun beranjak dari posisinya. Tapi Tari langsung menariknya.
“Lo mau kemana?” tanya Tari dengan suara bergetar.
Ari hanya membalasnya dengan senyuman dan langsung melepaskan dekapan Tari, kemudian berjalan. Menuju podium, di sebelah Ata.
“Ikutin, Kak! Ikutin!!” pekik Fio sembari mendorong Oji. Tanpa disuruhpun, Oji sudah melesat di belakang Ari bak bayangannya. Hal tersebut diikuti Tari yang berjalan seperti zombie, dengan Fio yang berada disamping Tari untuk membimbingnya berjalan.
“Mau lo apa?” Tanya Ari keras, cukup keras hingga terdengar sampai lapangan paling ujung.
“Mau gue?” Ata tersenyum. ”Mau gue… ini. Puter, Dho.”
Ari otomatis menolehke arah Ridho yang saat ini ada di balik podium dengan laptop di pangkuannya. Wajahnya tampak bengis dan hanya mendengus ketika Ari berusaha berkomunikasi dengannya lewat tatapan. Ridho mengangguk mantap, menjawab permintaan Ata. Hati Ari mencelos dan diliputi penuh tanda tanya. Ari memang tidak tahu apa yang sedang berlangsung, tapi sekarang ia sudah merasa sakit luar biasa. Apalagi, ini?!
Pertanyaan Ari terjawab segera dengan pemutaran sebuah video yang terpampang jelas di big screen. Jantung Ari serasa berhenti
berdetak melihat video yang diputar Ridho tersebut. Sepertinya tulang di badan rontok semua dan ingin luruh segera. Tapi harga diri membuatnya tetap berdiri tegak-tegak menyaksikan video itu. Video beberapa bulan yang lalu.
Video dimana ia berlutut di hadapan Bram, tangan kanannya Angga.
Yang bahkan kejatuhan Ari disana bukan di hadapan panglima perang Brawijaya, namun di hadapan anak buahnya!
Suasana langsung riuh. Sebagian yang menyoraki Ari dengan kata-kata yang kasar dan tidak pantas. Sebagian lagi hanya menyuarakan kekagetannya. Namun yang paling menyesakkan hati Ari adalah saat mendengar pekik histeris Tari, saat melihat tatapan kecewa milik Oji, serta... Wajah tanpa ekspresi milik Ridho.
“Silahkan duduk kembali, Duli Paduka. Izinkan saya menjelaskan semuanya di hadapan publik,” ucap Ridho sambil menepuk pundak Ata, tampak sangat akrab. Ia menekankan pada kata ‘Duli Paduka’. Ata tertawa geli seraya mempersilahkan Ridho untuk mengambil alih.
Ari menatap Ridho dengan tak percaya. Ridho, sahabatnya… sejak kapan??
Ridho berdiri dua langkah di depan Ari.
”Jadi video ini adalah video beberapa bulan yang lalu. Di video itu, orang yang kalian anggap ketua suku, panglima perang, atau apalah namanya, dengan mudahnya tunduk di bawah kaki musuh. Dan itu cuma buat...” Ridho tertawa licik, kemudian menunjuk ke satu titik. “Ceweknya!”
Refleks, semua orang melihat ke arah Tari. Semua yang di lapangan melempar pandangan tajam dan tidak suka, seakan ingin menguliti Tari hidup-hidup!
Tapi Tari tidak peduli. Ia lari ke atas podium. Berdiri tepat disamping Ari, dengan air mata berlinang. Tangannya memeluk lengan Ari erat-erat. Ia tahu betul saat itu. Ia tahu betul bahwa itu saat ia dan Fio jadi tawanan Brawijaya. Dan ia baru tahu bahwa dirinya dilepas karena sang Panglima Perang berlutut tunduk di kaki musuh!
“Ckckck… corny, tapi gue suka! Jadi semua orang tahu bahwa biang keroknya elo, Tar!” Ridho tergelak sembari menunjuk Tari. Kemudian ia kembali memusatkan perhatiannya pada orang-orang yang telah ramai mengecam Ari dan Tari itu.
”Thank’s to our new hero, Ata, yang saat tawuran kemarin TIDAK TUMBANG dan dapat membuat Brawijaya kocar-kacir dalam waktu sepuluh menit! Ata melakukan negoisasi yang hebat dengan Brawijaya sampe berhasil dapet video itu. Sehingga kita tau, selama ini kita dipimpin sama orang yang lemah. Lembek. Tidak memprioritaskan harga diri Airlangga! Lo semua liat! Ini orang yang membuat harga diri Airlangga diinjak-injak musuh hanya demi cewek!!”
Ridho berkoar-koar dengan sangat provokatif, membakar hati orang-orang.
“Sialan…” desis Ari pelan hinggahanya Ata, Ridho dan Tari yang dapat mendengarnya. Ia hentakkan tangannya yang dipegang Tari, berusaha menyerang Ridho. Ari tidak peduli kalau dia yang diserang. Tapi membawa Tari dalam masalah ini… itu hal lain! Dan Ari tidak bisa membiarkan hal itu. Namun tangan Ari yang melayang di udara tiba-tiba saja berhenti sebelum sempat mengayun.
Ia tidak sanggup, sungguh tidak sanggup. Karena yang dihadapannya adalah… Ridho.
Ata tertawa mengejek melihat hal itu. Ia berdiri tepat di depan Ari.
”Jadi lembek lo, sekarang? Udah lupa caranya berantem?”
Jika tadi Ari berhenti karena yang dihadapinya adalah Ridho, tapi sekarang Ata yang kembali meletupkan bara. Dan Ari sudah selangkah lagi menuju meledak dan memutuskan untuk melampiaskannya pada Ata.
Namun Ridho terlalu mengenal Ari. Sekali lihat Ridho tahu, bahwa jika tidak ditahan maka Ari akan menyerang. Ia pun langsung berdiri di depan Ata, seolah perisai.
”Mundur, lo. Mundur! Atau lo pengen Tari lebih menderita lagi?!” bentak Ridho.
Lagi-lagi… serangan Ari terhalang lagi.
Ridho kembali memegang kendali di podium. Ia menggeleng, memasang tampang prihatin.
”Astaga. Baru gue liat sendiri kenyataannya sekarang. Panglima Perang Airlangga… LEMAH!” Ridho meludah, melecehkan.
“Woy, rakyat Airlangga! Sekarang gue tanya sama kalian semua. Masih mau dipimpin sama orang lembek kaya gini?!”
Gemuruh suara kompak berseru, “TIDAK MAUUUU!!!”
Dan sungguh, tidak ada yang lebih menyakitkan Ari mendengar pengkhianatan teman-temannya itu. Dedikasinya, hidupnya, segalanya… tidak dianggap!
“KUDETA! KUDETA! KUDETA!!”
“Apa? Kudeta?!” Ridho tergelak. ”Baiklah kalo itu mau kalian. Dengan berat hati, disini… gue mengkudeta elo, Matahari Senja!”
Ridho berbicara tepat di hidung Ari.
“Jadi… siapa yang setuju adanya pergantian tahta?!”
Semua orang, kecuali Oji, Fio, Tari dan Ari, mengangkat tangan dengan bersemangat. Dan dalam barisan orang yang bersemangat itu sayangnya termasuk… Ridho. Wajhnya menyeringai bengis.
“Dengan ini… MATAHARI SENJA SECARA SAH DINYATAKAN MUNDUR DENGAN TIDAK HORMAT DARI JABATANNYA DAN TAMPUK KEKUASAAN DIALIHKAN SECARA PAKSA KE TANGAN... MATAHARI JINGGA!”
Riuh rendah orang bertepuk tangan dan mengelu-elukan nama Ata. Ari berdiri mematung dan hanya bisa memandang Ata dan Ridho, dengan tatapan tajam.
“Sori, Brother…” Ata menepuk bahu Ari, kemudian pergi.
*
Di taman belakang sekolah. Ari, Tari, Oji dan Fio duduk saling berhadapan. Tidak perlu dikatakan awan apa yang menyelimuti mereka saat ini. Tak perlu dijelaskan bahwa hati mereka berempat sama remuknya dengan alasan yang berbeda-beda tapi serupa.
Sakit hati! Pengkhianatan! Merasa sangat amat tidak berdaya!
“Maaf, Kak… Maaf…”
Tari menangis tergugu sembari memeluk lengan kanan Ari. Ari tidak mengacuhkan Tari, masih asyik dengan pikirannya sendiri.
Hati Ari hancur. Remuk. Dikhianati kanan-kiri. Ditusuk dari belakang. Dan melewatkan banyak hal yang sudah terlihat sejak dulu, meski samar! Mengapa ia tidak dapat menduga? Sekarang dirinya tampak begitu bodoh. ‘Dibunuh’ dengan sadis di depan seluruh Airlangga… rasanya ia tidak punya harga diri sama sekali. Tidak ada yang bisa menegakkan ke-aku-annya. Tidak dengan sahabat yang masih setia disampingnya meski dengan tatapan kecewa. Tidak dengan gadis yang menjadi separuhnya yang sedari tadi terus menangis dan meminta maaf karena merasa rasa bersalah. Padahal bukan salah Tari.
Ini salah Ari sepenuhnya, karena ia tidak dapat membaca apa yang tersirat. Karena ia terlalu terlena dengan sesuatu yang too good to be true – kembalinya Mama dan saudaranya. Karena ia terlalu menikmati kebahagiaannya sendiri dan mengira semuanya sudah berakhir sehingga tidak bisa melihat banyak pertanda yang sekarang baru ia sadari. Harusnya Ari sadar bahwa segalanya tidak akan berjalan semulus itu. Harusnya ia sadar bahwa memang memakai topeng adalah takdirnya!
Ini salahnya. Salahnya sepenuhnya! Dan segalanya malah menjadi semakin rumit, tanpa ia bisa berbuat apa-apa karena kekuasaannya telah jatuh dengan paksa! Kalau sudah begini, bagaimana bisa Ari melindungi orang-orang yang ia sayang?
“Diem, Tar! Lo ngebuat semuanya semakin rumit, tau!” bentak Oji.
Tari terkesiap. Seumur-umur, tidak pernah ia melihat Oji seperti ini. Oji yang biasanya jahil, yang biasanya cuek, saat ini malah membentaknya. Tari menunduk, semakin merasa menyesal.
“Maaf, Kak Oji…”
“Maaf nggak ngobatin sakitnya Ari, Tar!” bentak Oji, lagi. ”Lo pikir, dong, pikir! Apa yang harus lo lakuin buat memperbaiki semuanya. Hal ini terjadi karena si Bego ini jatuh cinta sama elo, Tar!”
Sebenarnya Oji tidak marah dengan Tari. Ia hanya terlalu kecewa dengan keadaaan. Terutama dengan Ari yang selama ini telah ia dewa-dewakan. Ari yang gagah berani. Ari yang kuat. Ari yang tegar. Namun Ari yang ia lihat tadi pagi hanya diam saja ketika diserang sedemikian rupa!
Tapi terutama yang membuatnya meradang seperti ini ialah rasa sakit hatinya. Sangat sakit sekali rasanya melihat seorang sahabat dihancurkan sehancur-hancurnya oleh sahabatnya mereka sendiri,
setelah selama ini dengan tertatih-tatih sahabatnya itu membuat perisai. Ari telah ditusuk… tepat dijantungnya!
“Kak Oji jangan nyalahin Tari terus, dong!”
Kali ini Fio angkat bicara. Dengan gagah berani ia berdiri tepat di depan Oji sambil berkacak pinggang. ”Tari juga nggak mau bikin Kak Ari sampai sebegininya. Lagipula bukan Tari yang ngekhianatin Kak Ari! Tapi kembarannya yang nggak tau diri, tuh!!”
Kata-kata Fio sebenarnya membuat Ari ingin tertawa terbahak-bahak. Pengkhianatan Ata bahkan bukan apa-apa! Ia menyadari dan sangat mahfum atas apa yang Ata lakukan, meski Ari sendiri tidak mengerti motifnya. Mungkin memang rentang waktu sembilan tahun selama itu, sehingga membuat Ata tak lagi ia kenali. Ari paham. Ia menyadari bahwa segalanya tak lagi sama. Memang tak mungkin keluarganya serta merta menjadi harmonis dan bahagia. Memang tidak mungkin.
Yang memukulnya telak sebenarnya adalah… Ridho.
Seorang sahabat yang selama ini ia jadikan tempat sandaran. Yang selama tidak hanya ia anggap sebagai sahabat lagi, melainkan bagian dari dirinya. Yang kepadanya, Ari rela memperlihatkan kehancurannya yang nyata. Yang sudah kepadanya Ari bersedia membuka topeng tanpa memasang pertahanan sama sekali.
Tapi pertanyaannya… Mengapa?
Ari menghembuskan napas, berharap hembusan napas itu mengeluarkan sesak di dada. Ia merasa sangat tidak berdaya.
*
Ridho menghisap rokoknya dalam-dalam. Otaknya sangat kacau sehingga ia memutuskan bahwa saat ini ia membutuhkan asupan nikotin. Sebanyak mungkin!
Tanpa menunggu rokoknya habis, ia langsung melempar rokok yang baru dua kali hisap itu ke tanah dan memutar-mutarkan putungnya sampai remuk. Ridho memang bukan perokok, makanya ia tidak sayang membuang rokok yang masih banyak itu. Ia hanya butuh pelampiasan. Sesuatu yang bisa dihancurkan. Apapun itu, asal itu mengobati kehancurannya sendiri!
“Sialan! Sialan! Sialaaaaaannn!!!”
Bila saja kepalanya transparan, tentu orang-orang dapat melihat bahwa otak Ridho sedang berdenyut kemudian membesar… dan hanya menunggu untuk meledak.
Disini, di kebun belakang sekolah dimana ada pohon beringin yang terkenal angker, Ridho duduk dan berusaha menenangkan diri. Dikuatkan dirinya, meski ia hampir mati. Disini, Ridho tidak dapat bersembunyi. Disini, Ridho tidak bisa berbohong. Hatinya remuk. Melihat Ari dihancurkan sehancur-hancurnya... sebenarnya menghancurkannya lebih. Melihat sahabatnya di serang dari berbagai arah, menyakitinya sedemikian rupa. Namun hanya ini… hanya ini yang dapat ia lakukan agar ia dapat membaca apa yang blur itu. Agar ia dapat melindungi sebanyak yang ia bisa. Hanya ini yang dapat ia lakukan, meski harus ditebus dengan perginya ia dari hidup Ari.
Maafin gue, Bro... Tahan sebentar lagi aja, tolong...
“Kak Ridho…”
Ridho memejamkan matanya, membuang kristal yang ada di pelupuk mata. Kemudian ia melihat ke arah suara. Tari. Matanya sangat bengkak. Dalam hati Ridho meringis, semakin merasa bersalah.
Tanpa meminta persetujuan, Tari duduk di samping Ridho. Sejenak, keheningan menyeruak diantara mereka. Hanya desau angin dan samar-samar suara orang berlalu lalang yang terasa sangat jauh di
belakang yang mengisi keheningan dingin tersebut. Keheningan yang penuh luka.
“Sebenernya apa rencana Kak Ridho?”
Pertanyaan lembut Tari, namun sarat pengertian, memecahkan keheningan pekat yang ada disana.
“Maksud lo apa?”
Tari tersenyum tipis. Ada orang bijak yang berkata, people who love you will never hurt you. And if they do, you will look in their eyes… they’re hurting too. Karena sudah berpengalaman dalam menangani Ari, hanya dari sekali tatap Tari melihat bahwa Ridho melakukan hal ini bukan dengan sukarela. Tari melihat bahwa Ridho juga terluka.
Mata Ridho tidak dapat membohonginya.
*
Gita menekuri novel yang sedang berada di depannya, Namun pikirannya sama sekali bukan pada novel, melainkan pada kejadian tadi pagi. Kudeta yang dilakukan Ata pada kembarannya sendiri, meski lewat tangan Ridho. Tapi Gita dapat melihat dengan jelas bahwa Ata adalah dalang dari semua.
Apakah Ata memang semengerikan itu? Apakah selama ini Gita salah menerka? Apakah selama ini Gita lalai dalam menilai? Apa ini Ata yang sama dengan yang kemarin mengobrol bersamanya hingga tidak tahu waktu? Ata yang sama yang mengantarnya pulang naik bus, dan masih mengobrol dengan seru disitu? Ata yang berkunjung kerumahnya tiga hari berturut-turut? Ata yang berhasil mengambil hati kedua orang tuanya yang biasanya strict pada teman lelaki anak perempuannya?
Ataukah Ata yang hari ini… bukanlah Ata yang sebenarnya?
Gita memijat pelipisnya. Kepalanya sudah mulai berdenyut. Ata yang sebenarnya… yang mana?
“Baca apa, sih? Seru amat.”
Gita terperanjat. Dan seketika ia merasa terpergok.
“Kaget lo sampe segitunya ngeliat gue?” Ata tersenyum geli. ”Kenapa ngelamun?”
Gita merapikan kembali hatinya yang sempat terjungkir balik. Tenang, Git. Tenang...
“Kak Ata kok disini? Ada apa?”
Ata tersenyum tipis mendengar pertanyaan yang dilontarkan Gita. Yang Ata mengerti konotasi sebenarnya. Memang benar, adik Angga ini… sangat jeli! Dalam hati Ata memutuskan untuk lebih hati-hati.
“Nggak pa-pa. Gue mau nanyain sesuatu hal sama lo. Eh, nggak ding... Gue nggak mau nanya. Tapi ini… anggaplah pengkhultusan,” ujar Ata santai.
Gita menaikkan sebelah alisnya, tanda tidak mengerti. “Pengkhultusan... apa?”
“Lo… jadi Ibu Negara, ya?”
Ucapan itu terdengar seperti permintaan polos, namun dengan seribu makna terkandung di dalamnya.
Tapi... Permintaan itu berhasil membuat mulut Gita membuka lebar. Dikerjap-kerjapkan matanya berkali-kali. Siapa tau ini semua hanya mimpi. Siapa tau ini semua bagian dari khayalannya.
Ata tersenyum tipis melihat reaksi cewek di depannya. Perlahan hatinya mengingat sudah berapa kali Gita mengerjapkan matanya jika
Ata mengajukan suatu pertanyaan mau permintaan yang menurut logika “aneh”.
“Gimana?”
“Kak Ata...” Gita menelan ludah. Grogi! “Serius? Eh, maksudnya... Kenapa?”
Ingin sekali rasanya Ata mencubit pipi Gita saking gemasnya. Selalu bertanya, padahal ia tahu dengan pasti apa yang menjadi tujuan Ata.
“Raja baru butuh pendamping hidup. Mungkin itu alesannya, ya?”
Gita mengatupkan kedua tangannya. “Kak Ataa!”
Tawa Ata berderai, keras dan terdengar sangat geli. “Kenapa lo selalu nanya, sih? Apa di balik setiap tindakan harus ada alasannya, hmm? Gitu?”
“Yah... Maksud saya, sih...” Tanpa sadar, wajah Gita merona merah. “Ini semua terlalu tiba-tiba. Nggak logis, Kak. Kecuali....”
Gita terdiam. Kali ini otaknya benar-benar mengingat segala detail. Bener! Pasti itu!
“Kecuali apa?” Goda Ata, lagi. Kali ini Gita menatapnya dengan sangat serius.
“Karna... Angga...” cicitnya. Begitu pelan, begitu lirih, namun menegaskan kekisruhan hatinya beberapa hari terakhir ini.
Benar dugaan Ata, gadis ini memang cerdas. Walau Angga adalah alasan kedua, diterimanya pemikiran tersebut. Ata tersenyum manis. Dielusnya puncak kepala Gita dengan lembut.
“Selama lo di samping gue, lo akan aman. Nggak akan gue biarin satu orang pun nyakitin elo. Nggak semudah itu,” ujarnya dengan ketenangan yang terkontrol. “Jadi... Gimana nih, jawabannya? Gue lagi nembak, lho.”
Aaaaaa! Dapat dirasakannya bahwa saat ini pipinya sedang merona merah. Maka, Gita cepat-cepat mengalihkan wajahnya dari pandangan Ata. Namun, matanya justru menangkap sosok lain.
Seorang gadis yang sedang berjalan di koridor kelas sepuluh dengan mata yang sembab – bahkan dari jarak sejauh ini pun semua orang dapat melihatnya. Sepanjang perjalanannya, gadis itu selalu disoraki, diejek, bahkan sampai dilempari kacang. Hanya satu orang yang bersedia berjalan beriringan di sebelah gadis itu.
Gadis itu adalah Tari, dan yang bersama dengannya saat ini adalah Fio.
Pemandangan ini begitu nelangsa! Bahkan pin matahari cerah yang biasa Tari sematkan di seragamnya tak dapat menutupi kesuraman yang menyelimuti Tari.
Gita menelan ludah. Kepada Matahari yang satu itu, dirinya merasa teramat sangat bersalah. Sejak awal. Sejak keberadaannya diketahui oleh Ari. Gita tahu dengan jelas – sejelas seluruh warga SMA Airlangga – bagaimana penderitaan yang harus Tari rasakan dulu di awal-awal perkenalannya dengan Ari: bagaimana Tari harus menghindari kejaran Ari, bagaimana Ari selalu membuat Tari menangis hingga malu di hadapan satu sekolah.
Gita tahu dengan pasti, dirinya ikut mengambil peran dalam setiap drama tersebut, walau secara tidak langsung. Juga terhadap drama yang terjadi pagi ini. Otaknya langsung mencerna, video tersebut tidak mungkin lahir begitu saja tanpa ada sesuatu yang memicunya.
“Halooo... Git?” Ata menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan mata Gita. Gadis itu langsung mengerjapkan matanya. “Yee... Ngelamun! Ayo dong, waktu gue nggak banyak, nih. Masih ada agenda
lain. Kunjungan kenegaraan,” matanya mengerdip jahil, lagi-lagi menggoda.
Segala keputusan yang akan diambil saat ini adalah keputusan yang benar-benar penuh pertimbangan. Seberapa banyak tawa yang dapat dikembalikan lagi. Walau sulit. Walau hanya sedikit. Setidaknya ada usaha baik untuk mengurangi rasa bersalahnya sendiri.
Gita tersenyum. Lebih untuk menyemangati dirinya sendiri. Dengan wajah memerah – yang disangka Ata sebagai wajah malu-malu – gadis itu itu mengangguk sangat lembut. Ata tersenyum penuh kemenangan. Dielusnya lagi puncak kepala gadis yang saat ini resmi menjadi pacarnya.
Berita bahagia ini buat elo... Brahmana!
*
Thx kadonya. Hari ini sukses.
Siapin upacara penyambutan di Brawijaya, siang ini.
Angga membaca SMS itu dengan perasaan bahagia bukan kepalang. Akhirnya Ari tumbang! Angga membayangkan bagaimana ekspresi Ari saat ia dipukul mundru justru oleh orang yang di dalam tubuhnya mengalir darah yang sama dengan dirinya. Pasti sangat sakit!
Ini baru permulaan. Kirana bahkan lo sakitin lebih daripada ini.
Angga menyeringai. Hatinya akan selalu teriris tiap kali mengingat nama gadis itu. Yang tawanya telah direnggut secara tiba-tiba. Yang tangisnya bahkan tak pernah berhenti. Yang harus pergi dari sisinya dan meninggalkannya seorang diri di kota ini.
Saat matanya menoleh ke depan kelas, dilihatnya Bram melintas dengan wajah kusut.
“Woy, Br –“
Seketika suaranya tertahan. Angga menghela napas. Diurungkannya niat untuk memanggil sahabatnya tersebut, membeitahukan kabar bahagia ini. Nggak bisa. Untuk saat ini, Angga tidak ingin melibatkan emosi-emosi yang nggak berguna menguasai hati dan pikirannya. Untuk saat ini, setelah sekian lama berdiam diri, ia harus fokus pada tujuan utamanya.
Maka, alih-alih memanggil Bram, Angga beranjak menuju tempat duduk Moko dan Bako.
“Guys, hari ini bakal ada kejadian seru. Tolong kumpulin anak-anak buat jadi saksi. Okee?”
*
Kantin kelas dua belas SMA Airlangga. Semuanya sedang heboh mengerubungi panglima baru. Menyampaikan segala keluh kesahnya. Mengomel tentang rezim Ari. Bahkan anak-anak kelas sebelas pun berani menyuarakan isi hatinya!
Namun mereka tidak takut. Bukan, tapi dilawannya rasa takut itu karena percaya bahwa Ata akan melindungi mereka. Dengan segala kebaikan, keramahan, serta segala kesempurnaan pada diri Ata yang mereka amati hanya dalam hitungan minggu, semua tahu bahwa Ata bukan tipe penindas. Dan jika Ari mengancam, Ata pasti akan berada di baris terdepan untuk membela mereka!
Ari berjalan melewati kerumunan tersebut seakan cuek. Namun, matanya tak ayal mencari-cari sosok Ridho di antara mereka semua. Dan ketemu!
Ridho yang sedang tertawa lepas, yang duduk di samping kembar identiknya! Seakan Ari melihat dirinya sendiri yang tengah tertawa bersama Ridho. Hati Ari terenyuh. Lukanya tergores lagi, menoreh semakin dalam.
Salah seorang kerumuman tersebut yang juga termasuk pasukan kamikaze di setiap tawuran melihat Ari, lantas nyeletuk, “Mantan Presiden lewat!”
Rahang Ari mengatup menahan amarah. Apalagi saat dilihatnya satu persatu mata yang menatapnya dengan pandangan merendahkan. Pandangan sakit hati. Pandangan yang merasa dikhianati.
Apa mereka tidak bisa melihat kalau disana, Ari juga sedang dikhianati!
Demi untuk menetralkan hatinya, Ari bergegas meninggalkan tempat itu.
“Ta,” celetuk Iwan, “Walau gimanapun juga, gue nggak terima Brawijaya ngerendahin martabat sekoah kita sampe segitunya! Kita harus bales mereka!”
Koor “SETUJUUUU!” membahana di kantin. Ata hanya tersenyum kalem. Dengan bantuan Ridho, ditenangkannya massa yang sedang terbakar rasa sakit hati itu.
“Kita akan membalas mereka,” ujarnya kalem, “yang udah menorehkan banyak luka. Tapi kita harus lebih pinter dari mereka! Kita harus pake strategi. Orang-orang yang cuma pake ototnya tanpa mengikutsertakan otak tuh cuma bikin repot! Dan gue nggak suka!”
Semakinlah mereka terpana dengan pesona Ata. Akan ada strategi baru, di tangan pemimpin baru.
*
Entah sudah berapa kali Gita dikagetkan oleh orang ini sepanjang hari ini. Hampir setahun hidup aman tenteram damai di SMA Airlangga, mungkin baru kali ini hidupnya dijungkirbalikkan, pada akhirnya. Karena bertambah satu orang lagi yang mengetahui rahasisanya sebagai
sepupu Angga. Namun, orang ini tidak seperti orang yang sebelumnya. Orang ini menyeretnya juga ke dalam segala kehebohan ini.
Seperti saat pualng sekolah siang ini. Sebelum bel berbunyi, Ata dan sudah berdiri tegak di depan kelas X-3! Kontan saja kasak-kusuk heboh merayapi kelas tersebut.
“Kak Ata ngapain disitu?”
“Nyariin gue kali ya, waah...”
“Ge-er, lo! Buat apa coba?”
“Nagih hutang!”
“Hahahahhaa...”
Tanpa sadar Gita mengedarkan pandangannya pada Sarah, yang juga balas menatapnya dengan pandangan minta maaf. Yah... Sarah tidak pernah bisa mengenyahkan rasa bersalah dari hatinya. Karena terbuai oleh pesona Ridho saat itu, identitas Gita sebagai sepupu Angga terdengar ke kuping Ari. Saat ini juga pasti begitu!
“Kak Ata ngapain disini?” Tanya Gita heran saat ia sudah berada di luar. Beberapa pasang mata menatap mereka dengan tatapan ingin tahu.
“Mau pulang bareng, dong. Kan sekarang lo pacar gue.”
Kata-kata itu dilontarkan dengan lumayan keras dan penuh percaya diri, sehingga kerumunan yang tercipta di sekeliling mereka bersorak “-oooh!” secara bersamaan. Ada yang bertepuk riang mengucapkan selamat, namun tak sedikit yang patah hati – biasanya dari kalangan cewek.
Gita dapat merasakan wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Jantungnya berdebar kencang. Antara malu, namun juga senang. Duh, ni orang! Gimana hati gue bisa netral kalo diginiin teruuus? Gita jadi
mengerti dengan baik bagaimana perasaan Tari selama ini menghadapi kelakuan Ari.
“Yuk,” Ata mengulurkan tangannya, dengan pandangan yang langsung menusuk di kedua manik mata. Pandangan lembut, namun tersirat bahwa tidak boleh ada penolakan! Diterimanya uluran tangan itu dengan hati-hati. Tangan yang... hangat.
“Gue emang tadi bilangnya mau ngajak pulang bareng,” ujar Ata santai namun serius. “Tapi sebelum itu, ada yang harus gue kelarin. Kunjungan kenegaraan dulu, ya?”
Gita menatapnya tak mengerti. Namun, ramainya parkiran sekolah mereka dengan cowok-cowok yang mengendarai motor – seakan seluruh cowok di Airlangga berkumpul – serta sepotong keterangan dari Ata selanjutnya membuat Gita bergidik.
“Kita kelarin dulu masalah harga diri Airlangga yang sempat tergores. Kita... menuju Brawijaya!”
*
Tari melihatnya dengan jelas. Ata, dengan menggandeng seorang cewek, masuk ke mobil Ridho. Sedan putih itu kemudian meluncur... diikuti dengan rombongan bermotor yang ia yakin sekali adalah para tukang tawurannya SMA Airlangga. Diguncang-guncangkannya lengan Fio dengan panik.
“Mereka mau kemana coba, Fi?!”
Fio juga berpikir tak kalah keras. Namun suara yang menjawab pertanyaan Tari membuat mereka terlonjak kaget.
“Brawijaya,” kata Ari pelan. “Kemana lagi kalo bukan Brawijaya?”
Tari refleks memindahkan pegangannya sekarang lengan kokoh Ari. Usaha tersirat untuk mencegah Ari bertindak gegabah.
“Lepas, Tar.”
“Percuma!” Tari bersikeras untuk menguatkan pegangannya. “Lo nyusulin mereka pun bakalan percuma, Kak. Mendingan lo –“
“Apanya yang percuma sih, Tar?!” Ari membentak gadisnya dengan keras. Perkataan Tari tadi sungguh menyakitkan!
“Gue udah diinjek-injek sama mereka di depan satu sekolah. Harga diri gue udah entah kemana. Dan lo ngomong gitu... buat apa? Buat negasin kalo gue lemah, gitu?!”
Dihempaskannya tangan Tari dengan kuat. Tari tergugu. Bukan gitu!
“Gue, Tar...” bisik Ari pelan, “cuma peduli sama mereka. Itu aja. Gue nggak yakin mereka pergi dengan persiapan matang. Salah, Tar?”
“Ada Kak Ata dan Ridho disana... Mereka pasti tau apa yang mereka lakukan.”
Percakapan ini, setiap katanya menoreh luka. Setiap katanya meneteskan darah, baik pada Ari maupun Tari. Tentang kedua nama yang tak dapat dipahami dengan logika, segala gerak-geriknya itu.
“Justru,” Ari menghela napas, panjang dan dalam, “gue harus liat dengan mata gue sendiri. Seberapa mampunya mereka menangani ini semua.”
Ia menoleh, menatap Tari yang sudah berkaca-kaca lagi.
“Kalo gue yakin, kalo gue melihat sendiri... Gue tenang. Gue bisa melepas semuanya dengan tenang.”
Tangis gadis itu langsung pecah. Kerelaan yang Ari tunjukkan... melukainya. Ketidakberdayaan Ari sekarang ini membuat Tari merasa lebih tidak berdaya. Sementara Tari ditenangkan oleh Fio, perlahan Ari berjalan menuju mobilnya
Begitu sampai parkiran, Ari melihat sedan hitamnya yang tadi pagi dikendarai oleh Oji sedang bertengger melintang di tengah jalan.
“Lo mau pergi pake apa?” Tanya Oji seraya tangannya memainkan kunci mobil Ari. “Ini dari tadi pagi masih dipegang sama gue.”
Ari malah balas menyahut dengan dingin, “Balikin, Ji. Gue nggak punya waktu.”
Pada kekeraskepalaan sahabatnya ini, rasanya Oji ingin sekali mengamuk.
“Berasa paling kuat lo, selalu maksain diri lo sendiri untuk nuntasin segalanya?!” Tutur Oji sengit. Ari membelalak, tangannya terkepal. Oji balas menatapnya, nantang!
“Sekarang lo masuk. Kita pergi sama-sama.”
“Ini urusan gue. Minggir, Ji!”
“Tapi gue jug –“
Namun Ari memotong perkataan Oji dengan teriakan, “INI URUSAN GUE, JI! JANGAN IKUT CAMPUR!”
PLAAAKKK!!
“Kak Ojiii!!”
Tari, yang baru tersadar bahwa Ari telah menghilang, segera mengejarnya ke parkiran bersama dengan Fio dan melihat Oji memukul Ari dengan sekuat tenaga.
Oji terluka dengan perkataan Ari. “Lo pikir yang tadi pergi cuma sodara kembar lo?! Si brengsek yang nyetir mobil tadi itu Ridho, sahabat gue! Sahabat KITA!”
“Sial –“ Ari berniat membalas pukulan Oji, namun langsung dihalangi Tari yang sekarang beridri di antara mereka.
“Tonjok gue, Kak!” Tari berkata lantang. “Terus aja kalian main tonjok-tonjokan. Trus kalian pikir masalahnya selesai?!”
Tari mengumpulkan semua keberanian. Cukup! Nggak ada lagi nangis-nangisan nggak jelas.
“Kita pergi bareng. Ya?”
Permintaan lembut itu membuatnya luruh. Ari mengalihkan tinjunya ke kap mobil. Bahkan rasa sakit yang menjalari kepal tangannya tak bisa mengalihkan rasa sakit di hati. Tanpa menjawab apapun, Ari langsung masuk ke dalam sedan hitam di hadapannya.
Fio hanya memandangi mereka semua dengan iba. Masalahnya melebar semakin nggak jelas, namun jalannya denga pasti melukai hati kesemuanya.
*
Deru gas motor terdengar semakin dekat. Bibir Angga membentuk seringai tipis.
Kendaraan pertama yang sampai di depan gerbang SMA Brawijaya adalah sebuah sedan putih. Lalu disusul dengan kendaraan-kendaraan lain, yang jumlah massanya lumayan banyak. Massa yang menuntut penjelasan. Juga pemutihan nama baik yang tercemar!
Angga, juga anak-anak Brawijaya lain yang telah menunggu di depan gerbang SMA mereka, menatap dengan seringai mengejek. Sementara tak jauh dari Angga, Bram juga ikut mengawasi. Sengaja tidak mengambil tempat di samping Angga hanya untuk menjaga agar amarahnya tetap terkontrol.
Namun, pemandangan yang ia lihat selanjutnya malah membuatnya tak bisa menahan diri.
Dari sedan putih tersebut, keluarlah tiga orang yang membuatnya melongo maksimal. Ridho serta Ata yang... menggandeng tangan Anggita Prameswari!
“Apa maksudnya ini, Ga?!” Bram meneriakkan protes keras pada Angga, yang juga sempat terpana melihat pemandangan tersebut. Kenapa Ata bawa-bawa Gita kesini?
“Woy!!” Bram mendorong bahu Angga keras, hingga hampir saja cowok itu terjungkal. Namun Angga hanya mengirimkan ekspresi diam-dan-liat-aja-dulu, sama sekali tidak membantu meredakan emosi Bram.
“Gue datang. Sesuai janji,” ujar Ata santai setelah berdiri cukup dekat dengan Angga. Kedua pentolan sekolah masing-masing tampak tenang dan tidak terlihat ada bara api yang meletup di mata mereka, namun massa masing-masing justru yang saling tatap dengan tatapan ingin membunuh.
Ata tersenyum geli. “Jangan bilang kalo temen-temen lo nyangkanya Ari yang sekarang ini berdiri di sini.”
Angga menoleh ke belakang, mengecek pasukannya. “Biar mereka liat sendiri.”
Ata berbicara dengan wajah yang dibuat setenang mungkin, serta sikapnya yang dibuat sok akrab, sanggup membuat massa dari Brawijaya terheran-heran.
“Gue Ata, bukan Ari. Yah... Kami emang kembar identik banget. Dan sekarang, gue yang mengisi posisi Ari terdahulu. Mohon bantuannya, yaaa...”
Namun, keramahan itu... Tak ada yang menanggapi. Ata tidak peduli.
“Kunjungan gue dan temen-temen gue kesini juga bukan sekedar kunjungan perkenalan diri. Cuma menuntut penjelasan. Langsung dari mulut Angga.”
Anggada sudah siap. Apapun pertanyaan dari Airlangga mengenai kejadian saat itu, akan ia jawab semua. Tanpa ada yang ditutup-tutupi. Maka dimulailah proses tanya jawab tersebut. Dengan sangat alot dan memakan waktu lama.
Ata hanya diam dan menikmati keadaan di sekitar. Tangan kanannya kini merangkul Gita, yang membuatnya dipelototi terang-terangan oleh Bram.
Gita melihat tatapan kemarahan, yang menurutnya karena saat ini dia menunjukkan status ke-Airlangga-annya secara terang-terangan. Gita sendiri bukannya nggak paham dengan arti tatapan Bram. Tapi.... Gita nggak salah, dong! Dia seorang Airlangga, bukan Brawijaya. Jadi dukungan moriil ini bukanlah sebuah pengkhianatan bagi siapapun, termasuk untuk Angga dan Bram.
Padahal, kalo Gita bisa melihat jauh ke dalam hati Bram... Hati itu sedang tersayat! Hati itu sedang terbakar api cemburu. Hati itu juga kesal karena tidak mampu melakukan apapun untuk mengatasinya. Bisa repot urusannya kalau sampai tindakan cerobohnya diketahui oleh warga Airlangga yang lain dan keselamatan Gita semakin terancam. Ditatapnya kedua mata Ata dengan bara api yang menyala.
Ata puas. Sangat puas melihat ekspresi Bram. Ia malah semakin memperketat rangkulannya – selain karena suasana disana menjadi semakin ramai dan mulai terjadi dorong-dorongan. Luka hati dibalas dengan menorehkan luka di hati juga. Baginya, itulah arti impas.
“Oke, cukup!” Ata mengangkat tangannya, membuat semua keriuhan ini akhirnya berhenti.
“Jelas, kan?” Ata bertanya lagi kepada rombongan SMA Airlangga. “Lo semua udah ngerti duduk permasalahan yang sebenarnya? Lo semua udah tau alesan kenapa Ari ngelakuin itu semua, padahal ceweknya nggak diapa-apain sama sekali, cuma ngobrol santai dengan penuh kerelaan?”
Gumaman kesal, caci maki, semuanya saling sahut-menyahut.
“Gue menghargai tiap orang yang berkepala dingin,” Angga membuka mulut, “Gue hargai maksud kalian semua datang kesini dengan baik-baik. Gue, atas nama seluruh siswa Brawijaya mengusulkan.... perdamaian!”
Angga melihat reaksi teman-temannya. Namun mereka sudah paham mengenai aksi damai ini.
“Kalian terima atau enggak, itu terserah kalian. Yah... Kita menghargai kedatangan Ata sebagai pemimpin baru kalian.”
Beragam reaksi muncul di antara siswa-siswa Airlangga. Ada yang percaya, ada yang meragukan, bahkan ada yang tidak percaya sama sekali.
“Kalo emang bener kita damai, nih, berarti... Sekolah aman, kan?”
“Bisa maen ke Brawijaya sepuasnya, nih?”
“Gue bisa ngelanjutin pedekate yang tertunda!”
“Yah, setidaknya tiap mau sekolah gue sama Abang nggak perlu gagah-gagahan lagi deh, siapa yang sekolahnya paling kuat...”
“Tapi serius nggak, tuh orang?”
“Keputusan lo gimana, Ta?” Ridho akhirnya angkat bicara.
Ata tersenyum jumawa. Hatinya semakin melambung, sesak dengan kepuasan dan kesombongan.
“Demi kebaikan kita bersama.... Gue terima tawaran itu!”
Disana, disaksikan oleh kedua belah pihak, Ata dan Angga berjabat tangan erat. Senyum kemenangan tercetak di bibir masing-masing.
Suasana kegembiraan membuncah disana. Aksi saling jabat tangan, saling rangkul, bahkan saling bercanda, lega karena mereka tidak harus menghadapi serangan-serangan melelahkan lagi.
*
Dari kejauhan, Ari, Tari, Oji dan Fio dapat melihat jabatan tangan itu – juga euforia yang terjadi di hlaman SMA Brawijaya – dengan jelas. Oji ribuan kali mengeluarkan makian serta sumpah serapah yang memekakkan telinga. Fio hanya menutup telinga, tidak tahan mendengar kata-kata Oji yang sangat mengerikan.
Sementara Tari hanya mengamati ekspresi Ari. Tari cemas. Ingin bertanya, tapi sebagian hatinya takut. Takut cowok ini akan kalap. Pengkhianatan yang terjadi di depan matanya adalah pengkhianatan kelas berat. Konspirasi! Dan itu sangat tidak diragukan lagi.
Wajah Ari memerah menahan geram. Sudah takdirnya, sudah sejak ia belum menginjakkan kaki di SMA Airlangga, permusuhan kedua sekolah itu tidak pernah mencapai kata usai. Terlebih saat ia dan Angga yang duduk di posisi tertinggi, yang Ari tahu dengan pasti serangan itu ditujukan pada dirinya – walau entah karena apa.
Perdamaian ini jelas menegaskan bahwa Angga hanya mengincar Ari, bukan Airlangga!
Tapi... kenapa harus Ata?
“Ji, kita pulang aja.”
Oji segera menghentikan aktivitas sumpah serapahnya demi melihat wajah lelah Ari. Tanpa banyak tanya lagi, Oji segera mengendarai mobil Ari menjauhi hiruk pikuk perdamaian di SMA Brawijaya.
*
Ata akhirnya mengantarkan Gita pulang.
“Maaf, ya,” ujar Ata pelan, “gue cuma pingin lo jadi saksi atas perdamaian ini.”
Gita diam. Dibiarkannya Ata terus berbicara.
“Gue juga mau lo liat, gue sama sepupu lo itu... Yah, katakanlah berteman akrab.”
“Kak Ata...” potong Gita pelan.
“Hmm?”
Gita tak sanggup mengeluarkan kalimat selanjutnya. Baginya, apa yang dilihatnya siang tadi semuanya palsu. Sinar mata Ata dan Angga tak dapat membohongi matanya. Pasti ada sesuatu di antara mereka.
“Lo mau ngomong apa barusan?”
Gita mengehela napas. “Nggak pa-pa. Makasih ya, udah dianterin pulang. Saya masuk dulu, Kak.”
Seiring dengan berlalunya Gita, senyum di wajah Ata ikut menghilang. Ia pun membalikkan badan.
Disana, di ujung jalan, sudah ada Bram. Ata tersenyum mengejek.
“Beraninya bawa-bawa cewek!” Teriak Bram murka.
“Ralat,” sahut Ata santai, “Harusnya lo bilang ‘beraninya bawa-bawa pacar’ gitu dong!”
Bram membelalakkan matanya, kaget. Ata berjalan melewatinya dengan santai, namun nada suaranya terdengar begitu mematikan.
“Lo diem aja. Jangan ikut campur dengan urusan gue. Keselamatan Gita... tergantung dari tindakan gegabah lo!”
*
Setelah mengantarkan Tari dan Fio pulang, Ari meminta Ridho untuk melajukan mobilnya ke tempat dimana Ari biasa menenangkan diri. Saat mereka sampai disana, matahari sudah sempurna terbenam dan digantikan oleh sinar rembulan.
Ari langsung melemparkan dengan asal sepatunya dan.... BYUUURRR!! Ari menyelam masuk ke dalam dinginnya danau. Oji hanya
bisa menatapnya dengan pandangan prihatin. Lebih tepatnya, nelangsa!
Segalanya jadi jelas di mata mereka. Ata dan Angga bekerja sama. Ata melindungi Gita di Airlangga, dan sebagai gantinya... Angga menyerahkan kejatuhan Ari pada Ata untuk menggulingkan rezim Ari.
Bagi Oji, semuanya terlihat jelas. Ata hanya haus kekuasaan! Ata hanya ingin berada di tempat yang sama dengan yang telah diraih Ari, namun dengan cara mendepak Ari dari posisi tersebut. Padahal... Ata nggak perlu melakukan itu. Tanpa Ata harus repot-repot menyingkirkan Ari pun, cowok itu akan segera mendapatkan segala kekuasaan dan pamor yang Ari sandang.
Ari bukan tipe yang bertindak sebagai orang yang berkuasa. Ari diangkat, bukan mengangkat diri. Ari ditunjuk secara ikhlas, karena semua mengetahui sepak terjang Ari. Ari tidak menyuap mereka dengan janji-janji busuk, ataupun keramahan palsu. Ari menjalankan perannya sebagai pemimpin perang dengan apa adanya.
Tidak, Ari tidak pernah memasukkan tujuan pribadi selama memimpin berbagai tawuran mereka dengan SMA lain, termasuk dengan Brawijaya.
Oji nelangsa. Kejatuhan demi kejatuhan yang menimpa Ari ini... Bagaimana ia harus membantu sahabatnya itu agar bangkit? Apalagi yang harus dihadapi Ari adalah bayangannya sendiri. Ata.
Dengan badan menggigil, Ari naik dan mengambil tempat di sebelah Oji. Oji lantas mengulurkan handuk yang selalu Ari bawa-bawa di tasnya. Diperhatikannya sahabatnya tersebut dalam diam. Terkadang, diam adalah dukungan terbaik yang dapat kamu berikan dibandingkan dengan kata-kata. Tak jarang, diam justru mengartikan segalanya yang nggak dapat diungkapkan.
“Gue.... capek...” Ari merintih pelan. Terlentang lurus di saung kecil itu, dengan mata terpejam. Oji paham. Untuk malam ini, ditemaninya Ari beristirahat disini, jauh dari hiruk pikuk ibu kota. Jauh dari sosok Ata yang memorakporandakan hatinya juga, tentunya.
*
“Ata... Kok Ari belum pulang, ya?”
“Pulang ke rumahnya kali, Ma.”
Ata hanya menjawab cuek. Mau bagaimana lagi? Ata memang tidak tahu kemana Ari pergi, atau apa yang sedang dilakukannya. Sudah lama sejak ia berhenti mengawasi Ari.
Namun Mama tetap tidak tenang. Wajahnya diliputi kecemasan.
“Daritadi Mama coba hubungi ponselnya tapi nggak aktif, Ta.”
“Ma...” Ata berujar pelan. “Nggak usah khawatir. Ari pasti bisa jaga diri. Ata masuk ke kamar dulu ya, Ma, capek.”
Ya, Ata capek. Tidak hanya fisik, namun juga hati. Ia pun berlalu meninggalkan mama yang masih dirundung kecemasan. Mau sampai kapan mama selalu mencemaskan Ari?
Ata membanting tubuhnya di atas kasur. Kesal pada dirinya sendiri.
Terhadap semua hal yang terjadi hari ini, kenapa hatinya justru terasa hampa? Terhadap semua pembalasan dendam ini, kenapa hatinya sendiri mulai terasa lelah?
“Nggak mungkin,” bantahnya pada diri sendiri. “Nggak.”
Ata pun mencoba mengenyahkan semua perasaan tidak enak dalam hatinya dan tertidur.
*
Gita diinterogasi, lagi, oleh Angga dan Bram. Sebenarnya lebih banyak Bram yang menuntut penjelasan.
“Kenapa harus jadian sih, Git?!” Tanya Bram emosi. Gita jadi geram juga mendengar pertanyaan semacam itu. Mau gue jadian sama siapa, kek, ya terserah gue, dong!
Namun bukan itu yang keluar dari mulut Gita.
“Supaya gue juga ikutan perang, seperti kalian.”
Jawaban itu terdengar mantap, dan membuat kedua cowok di hadapannya seketika bungkam. Angga menyipitkan matanya.
“Maksud lo?”
“Gue... kasian sama Tari.”
Mendengar nama Tari disebut, kontan badan Angga membeku. Ia sampai lupa dengan keselamatan gadis itu!
“Kasian banget, dia sekarang dijauhi. Ya itu, gara-gara video Kak Ari sujud di depan elo,” Gita berkata sinis kepada Bram, “diputar di depan satu sekolah.”
“Itu resiko dia deket sama Ari, nggak ada kaitannya sama elo!”
“Jelas ada!” Sergahnya kesal. “Gimana, sih? Gue yang tiap hari selalu ngeliat Tari dikerjain habis-habisan sama Kak Ari. Nggak jarang malah Kak Ari ngelakuin itu di depan mata gue!”
Bram semakin murka mendengar Gita yang malah membela Tari, namun masih tetap tidak menemukan korelasi di antara itu semua.
“Pake gue buat ngelindungin Tari, Ga. Gue sekarang berdiri di posisi yang sama dengan Tari, bahkan lebih.”
Anggita menujukan kalimat itu langsung pada Angga. Gadis itu sangat pandai membaca perasaan sepupunya itu. Ia tahu, perlakuan Angga pada Tari lebih daripada sekedar ingin merebut cewek itu dari Ari. Angga, secara tidak sadar, telah melibatkan hatinya disana.
Angga tercenung.
Kalo masih tersisa harapan untuk melindungi Tari...
*
Tari menunggu di depan gerbang SMA Airlangga bersama dengan Fio. Namun, sosok yang mereka cari belum juga tiba disana. Padahal sebentar lagi bel masuk berbunyi, dan gerbang akan segera ditutup.
“Mereka pasti datang kan, Fi?” tanyanya cemas.
“Pastilah,” sahut Fio, menenangkan. “Kak Ari dan Kak Oji harus datang, Tar. Kalo mereka nggak masuk hari ini, tuh setan bakalan makin ngerasa di atas awan.”
Setan yang dimaksud Fio melintas di hadapan mereka. Namun cowok itu tidak menoleh. Ia sedang sibuk bercanda dengan Ridho dan kawan-kawan yang lain. Tari jadi tidak dapat menahan diri untuk meneriaki mereka.
“PENG –“
Namun mulutnya dibekap dari belakang. Tari gelagapan panik, lalu meronta sekuat tenaga.
“Lo mau ngapain?”
Suara itu!
Ari melepaskan bekapannya dan membalikkan badan gadis itu agar dapat melihat kedua matanya. Wajah Tari merona.
“Kak Ari...”
“Iya, ini gue,” sahutnya cuek. “Lo mau ngapain tadi, hmm? Mau nyari perhatian?”
Namun Tari nggak tega menjawab pertanyaan tersebut saat dilihatnya Ari dengan lebih seksama. Wajahnya kusut, dan badannya sedikit hangat. Pandangannya jadi melembut. Dan Ari tahu arti pandangan tersebut.
“Jangan khawatir, gue nggak kenapa-napa,” ujarnya menenangkan. Digenggamnya tangan Tari dengan lembut, seraya mengajaknya berjalan masuk karena bel sudah berbunyi.
Kepergian keduanya diiringi dengan tatapan cemas dari dua pasang mata yang lain: milik Fio dan Oji. Lantas keduanya jadi saling tatap.
“Apa lo liat-liat?” Seru Oji galak. “Mau minta digandeng juga kayak si Tari?”
Dengan mood yang berantakan, Oji meninggalkan Fio di gerbang dan berjalan sendiri menuju kelasnya. Fio jadi keki. “Yeee... Sempet-sempetnya tuh orang nguji kesabaran gue!” “Pake gue buat ngelindungin Tari, Ga. Gue sekarang berdiri di posisi yang sama dengan Tari, bahkan lebih.” Kata-kata Gita terngiang-ngiang dalam benak Angga seperti kaset yang direwind dan selalu memutar hal yang sama. Angga tercenung, pikirannya berkecamuk.
Saking konsentrasinya ia dengan proyek balas dendamnya dengan Ata, ia melupakan satu hal : Tari. Yang selama ini menjadi obyek sengketa antara ia dan mantan Panglima Perang Airlangga itu. Yang karena keberadaannya, menjadi perebutan antara dua belah kubu yang saling berlawanan. Kini, pada dasarnya, Tari telah ‘bebas’. Rezim Ari telah runtuh, Ari bukan siapa-siapa dan sudah tidak punya power lagi. Seharusnya, merebut Tari kembali adalah hal mudah, bukan? Tapi Angga tidak lupa, bahwa sudah cukup lama ia melepas Tari. Banyak sekali hal yang terjadi, yang mungkin terlewat dari matanya dan membuat segalanya tak lagi sama. Hati Tari sudah lepas dari genggamannya, bahkan mungkin sudah tak teraih. Namun bagaimanapun perasaan gadis itu padanya, ia tetap masih mempunyai hati pada gadis itu. Ia merasa bersalah. Sudah tidak bisa melindungi, diseretnya pula Tari pada kehebohan ini. Kehebohan yang membuat
Tari banyak terluka, banyak berdarah, banyak meneteskan air mata dan banyak mengorbankan hati! Baru ia sadari bahwa ada dampak dari hancurnya Ari yang membuat Angga sangat nelangsa: Tari sudah tidak terlindungi. Menurut apa yang ia dengar dari adik sepupunya tadi siang, sekarang bahkan Tari ikut disakiti karena ia adalah orang yang paling dekat dengan Ari. Dampak itu tidak diperhitungkan. Dan demi kesehatan jiwanya, ketenangan batinnya… ia harus melindungi Tari. Apapun caranya, apapun resikonya! Ironisnya, Angga hanya mempunyai dua opsi. Dua opsi yang sama sekali tidak bisa diandalkan keefektifannya. Untuk itu, dia hanya bisa merutuki dirinya sendiri karena pernah sangat bodoh melepaskan Tari. Opsi pertama adalah menyerahkan urusan perlindungan itu pada sepupu kesayangannya, Anggita Prameswari. Hal itu berarti satu: Gita harus jadi Ibu Negara. Meskipun Ata sekarang jadi partner in crime nya dalam menghancurkan Ari, tetap saja Angga tidak bisa mempercayakan Gita pada Ata, yang notabene adalah saudara kembar musuh bebuyutannya. Ata memang sangat membenci Ari – entah apa alasannya, Angga tidak peduli. Namun bagaimanapun juga, darah lebih kental dari air. Sebenci-bencinya Ata dengan Ari, mereka tetap saudara. Kembar, pula! Dan bukan hanya itu. Hal ini menyangkut Gita. Sepupu kesayangannya. Yang sudah dari kecil sangat ia jaga. Untuk melepaskan Gita pada seorang lelaki, laki-laki itu harus bisa membuktikan banyak hal padanya. Untuk melepas Gita pada Brahmana yang jelas-jelas sahabatnya saja, Angga masih harus berpikir seribu kali. Apalagi kepada Ata, yang belum jelas betul motifnya apa!
Dan opsi kedua… opsi kedua ini yang membuat Angga berada di depan rumah Tari sejak dua jam yang lalu, tanpa berani mengetuk pintu. Angga pesimis sekali memikirkan opsi kedua ini. Namun ia harus berusaha, bagaimanapun hasilnya. Mudah-mudahan. Semoga saja… Tari terbuka pikirannya! Angga menarik napas, panjang dan berat. Seraya membulatkan tekadnya, diseretnya langkah menuju depan pintu rumah Tari. Kemudian ia ketuk pintunya diiringi ucapan salam. Tak berapa lama terdengar suara orang berlari-lari kecil mendekati pintu. Angga menghela napas, menguatkan diri untuk apapun yang terjadi. Pintu terbuka. Sedetik, matanya dan si pembuka pintu itu beradu. Perih! Tapi sedetik kemudian pintu kembali mengayun, sebagai isyarat agar sebaiknya Angga tidak melewati batas. Agar tidak lagi-lagi Angga muncul di depannya, di hidupnya. Namun Angga yang sudah dapat memperkirakan hal itu langsung menahan pintu agar tidak tertutup. Mereka berdua, Tari dan Angga, saling berhadapan, saling bertatapan. Tari, melipat kedua tangannya, menatap Angga dengan tatapan murka. Rahangnya mengeras, bibirnya mengatup. Raut mukanya dipasang datar, meski hal itu tak menyembunyikan emosinya yang hampir meledak. Orang ini… yang dulu, dulu sekali… pernah membuat hatinya berdesir. Yang pernah membuatnya merona. Sekaligus yang meninggalkannya. Yang sekarang telah menyakiti lelakinya. Separuhnya! Beraninya Angga! Beraninya! Setelah perbuatannya pada Ari! Beraninya Angga!
Angga, menggenggam tangannya, menatap Tari dengan tatapan nanar. Bukannya ia tidak melihat badan yang bergetar menahan emosi itu. Bukannya ia tak melihat tatapan murka yang tampak jelas. Berkali-kali ia menahan diri agar tidak memeluk gadis yang berdiri di depannya. Agar sedikit saja… beban yang ada di pundak gadis itu berkurang. Agar sedikit saja, rasa kangen dan perasaan jungkir balik yang ada dalam hatinya berkurang. Angga mendesah. Gadis ini. Mengapa harus gadis itu terlibat? Dan yang terpenting... dari sekian banyak lelaki, mengapa gadis itu memilih untuk berlari menyongsong lelaki yang juga musuh bebuyutannya? “Tari…” ucap Angga lembut, ”lo nggak mau mempersilahkan gue duduk?” Mata Tari melebar. Orang ini, begitu tidak tahu malunya! Tari berjalan seperti zombie mendekati Angga. Emosinya sudah tidak terbendung lagi. Dipukulnya Angga keras-keras, sekuat mungki dan sepenuh tenaga di bagian manapun yang terjangkau olehnya. Orang ini berani sekali! Tidak tahu malu! “Lo… brengsek!!” maki Tari pelan, agar tidak terdengar orang rumah. “Tari!” Angga memegang kedua tangan Tari erat-erat, menghentikan pukulan-pukulan yang dilayangkan Tari. Pukulan itu memang tidak menyakitinya secara fisik, namun melihat Tari emosi seperti itu… hatinya jadi nelangsa. “Lo… brengsek!! Mau apa lagi, lo?! Mau apaaaa?!!” bentak Tari seraya menghentakkan tangannya, melepaskan diri dari genggaman Angga. “Tar… lo dengerin gue dulu…”
“Apa yang mesti gue denger, Ga? Apaaa?” sela Tari, tidak membiarkan Angga melanjutkan kata-katanya. Tari sudah tidak tahan lagi. Air matanya menetes, kemudian menderas… dan tanpa sadar ia menangis tergugu. Angga memejamkan mata. Berusaha mematikan hati melihat pemandangan di depannya ini. Tangis Tari yang tergugu ini benar-benar menyakiti hatinya. Terkutuklah Ari! rutuknya dalam hati. Gadis ini memilih menyongsong badai, meski sudah ia peringatkan sebelumnya. Gadis ini memilih untuk berlari menjadi perisai lawannya, tanpa mengetahui apa yang akan menimpanya. Seharusnya Angga bisa acuh. Toh, itu pilihan Tari. Tetapi, gadis di depannya ini, yang sudah merebut hatinya, tidak bisa ia abaikan begitu saja. Dan melihat gadis yang ia sayangi kesakitan seperti ini… sungguh, bukannya ini yang ia harapkan. Namun masih ada satu cara. Andai Tari mau koorperatif, sedikit saja… Angga maju selangkah, mendekati Tari. Ia peluk gadis itu, bukan hanya dengan raganya, namun dengan keseluruhan hatinya. Berharap Tari bisa merasakan. Berharap bahwa masih ada rasa yang tertinggal disana. “Tar… pergi dari medan perang. Lari ke gue. Biarin gue yang ngelindungin elo. Biarin gue yang ambil alih segalanya.” Mendengar perkataan yang mengandung perintah tersirat tersebut, Tari langsung menghentikan tangisnya dan melepaskan diri dari pelukan Angga. Tari memandang Angga dengan tatapan seperti Angga adalah makhluk dari angkasa luar. Sungguh, tawaran Angga barusan ingin membuat Tari tertawa terbahak-bahak!
“Lo tau, Ga?” Tari tersenyum tipis. ”Tawaran lo tuh basi! Semuanya udah terlambat, Ga. Sangat terlambat. Karena buat gue sekarang... cuma ada Ari. Cuma ada Ari, Ga…” Tari meremas tangan Angga pelan, kemudian masuk ke dalam rumah dan tidak mengindahkan pertanyaan orangtuanya maupun Geo mengenai siapa yang habis bertamu itu. Sementara Angga hanya bisa terpaku. Hatinya tertohok dan ia merasa dipukul dengan godam. Kata-kata Tari barusan menghantamnya telak! Sudah terlambat... Rasanya Angga ingin tertawa keras-keras, alih-alih menangis. Memang benar, penyesalan selalu datang terlambat. Penyesalan yang ini datang terlalu terlambat, bahkan. Meski sudah diduga, kenyataan Tari sudah tidak terjangkau lagi benar-benar menghantamnya telak. Angga menelan ludah. Ternyata opsi kedua harus dilaksanakan juga. Diambilnya ponsel dari saku dan ditekannya nomor yang sudah ia hapal di luar kepala. Nomor Anggita. ”Git…” sapanya, ketika telepon tersambung, ”jalanin peran lo sebagai ibu Negara sebaik mungkin. Jaga diri lo, dan juga...” Ata menggigit bibir bagian bawahnya, berusaha menguatkan hati, “jaga Tari...” * Hari yang baru, hari yang cerah, dan tidak ada tugas. Seharusnya hari ini adalah hari yang cukup membahagikan buat Tari. Setidaknya… tidak membuat mukanya ditekuk seribu dan paranoid seperti sekarang ini!
Bagi Tari sekarang, tidak ada yang lebih mengerikan dibanding sekolah. Bagi Tari, sekolah sekarang adalah hutan belantara dimana monyet-monyet disana sepertinya hobi sekali menyoraki Tari. Kejadian Ari turun tahta memang berdampak besar baginya, orang yang dianggap sebagai biang kerok kejatuhan Panglima Perang Airlangga yang selama ini terkenal kuat dan tak kenal takut. Semenjak hari itu, selalu ada mulut-mulut nyinyir tak kenal filter, tangan-tangan jahil yang butuh ditampar juga bisik-bisik yang membuat kupingnya panas – menyertainya kemanapun ia melangkah. Terkadang Tari lelah dengan semua ini. Betapa ia ingin meneriakkan, LO SEMUA GAK TAU APA-APA!! Dan betapa ia ingin melemparkan granat, bom, TNT dan bahan peledak lainnya, ketika melihat Ata yang tersenyum jumawa, memamerkan kemenangannya. Namun hal tersebut tidak ia lakukan. Gadis itu hanya bisa menulikan telinga dan mematikan hati ketika hal tersebut terjadi, hanya bisa memaki dalam hati. Menangis di depan Fio merupakan bentuk pelarian lain, bila segalanya sudah tidak tertahankan lagi. Meski setelahnya, ia kembali memasang topengnya, memasang senyumnya dan melakukan segala bentuk penghiburan di depan Ari. Karena hatinya telah memilih. Karena dirinya telah memilih. Dan mendampingi adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan untuk lelaki yang paling berarti dalam hidupnya saat ini. Walau bagaimanapun juga, sekuat apapun Tari, di sekolah tanpa Fio, Oji atau Ari benar-benar seperti mimpi buruk yang menakutkan! Tari merutuk dalam hati karena ia lupa mengerjakan PR matematikanya semalam. Kejadian Angga menguras habis tenaganya sehingga ia langsung tertidur ketika menyentuh bantal… tanpa ingat PR matematikanya sama sekali. Akibatnya, sekarang ia terpaksa pagi-pagi
sekali berangkat ke sekolah, tanpa Fio berada disampingnya, tanpa pengawalan Oji dan tanpa ada Ari! Komat-kamit Tari berdoa agar pagi ini dihindarkan dari gangguan-gangguan yang dapat menguras tenaga dan pikirannya. Tari berjalan cepat menuju kelasnya, berharap tidak ada seorangpun yang menyadari keberadaannya. Tanpa ada siapapun disampingnya sebagai pendukung, ia merasa sangat kerdil. “Eh, eh… mau ngapain lo jalan cepet-cepet?!” Siaaaaaall!! Tari memaki dalam hati. Didepannya, Vero berdiri dengan senyum penuh kemenangan. Tari hanya bisa menelan ludah dan memaksakan dirinya dalam posisi ready to war. “Ngapain diem aja? Kemaren-kemaren berani bales…” ledek Vero. ”Cat get your tongue? Atau setelah jadi MANTAN ibu Negara, keberanian lo menguap entah kemana?!” “Mau lo apa sih sebenernya? Demen banget gangguin orang! Kayak nggak ada hal lain yang bisa dilakuin!” bentak Tari. Kata-kata mantan ibu Negara yang mengingatkannya pada kejatuhan Ari, membuat seluruh kekuatannya bangkit seketika. Demi martabat Ari yang sekarang di tangannya! “Banyak bacot lo! Inget, sekaranh lo udah gak punya backingan lagi!” Vero langsung menarik rambut Tari keras-keras. Tari menjerit kemudian membalas melakukan hal yang sama. Adu fisikpun tak terelakkan lagi. Vero yang lebih tinggi dari Tari dengan mudah melakukan cakaran, pukulan atau pitingan. Namun Tari melakukan perlawanan yang cukup sengit. Dengan sisa-sisa tenaganya ia balas apa yang Vero perbuat padanya.
Seketika mereka menjadi tontonan. Orang-orang melingkar, berkerumun dan tidak ada satupun yang berniat untuk melerai. Melihat pergulatan Vero dan Tari seakan kegiatan adu fisik ini adalah pertunjukan menarik. Orang-orang menyoraki. Dan semuanya… mendukung Vero. “Hajar, Ver! Hajaaar! Cewek ngeselin itu, Ver! Yang jatuhin martabat Airlangga!” “Piting ‘pala si Helen dari Troya, Veeer!!” “Jambak lebih keras! Itu cewek yang bikin mantan Presiden ngejual harga diri Airlangga!” “Vero! Vero! Vero! Vero!” Hati Tari remuk mendengar semua itu. Rasanya ia ingin memaki mereka semua. Tapi itu tidak penting! Sekarang, ia harus menyelamatkan harga dirinya yang tersisa terlebih dahulu, dengan mengalahkan Vero! “Pertunjukan kacangan kayak gini yang mau lo persembahin buat kepala suku yang baru buat narik perhatiannya?!” terdengar suara dari tengah-tengah kerumunan. Otomatis kegiatan adu fisik itu langsung berhenti. Vero dan Tari melihat ke sumber suara. Lingkaran kerumunan itu sudah bubar, digantikan oleh orang-orang yang berbaris berhadapan untuk memberi jalan pada Ridho, Ata, serta seorang cewek yang berdiri di samping Ata dengan mata terbelalak – seperti ketakutan. “Vero, Vero…” Ridho menggeleng, memasang tampang sedih, ”sejak kapan sih lo belajar bahwa lo itu emang enggak bakal dapet perhatian dari siapapun kepala suku yang menjabat? Dan kalo boleh gue tambahkan, nyerang Tari gabakal ngebuat Ata langsung naksir elo. Jangan lupa, yang lo serang itu… iparnya kepala suku!”
Mendengar perkataan Ridho, Ata langsung tertawa terbahak-bahak. Kemudian pada Vero, ia memasang tampang kasihan. ”Sori, Ver. Gue gak tertarik ngeladenincara murahan lo, yah... Juga sama lo. Gue udah punya pacar.” Ata tersenyum jumawa sembari mengetatkan pelukannya pada gadis disampingnya itu. Si gadis menutup mukanya dengan kedua tangannya. Malu! “Brengsek, lo!” Vero setengah berlari menghampiri Ata, mencoba menampar Ata. Tapi sebelum hal itu terjadi, tangannya langsung dicengkram erat-erat oleh Ridho. “Gue nggak mau ngerusak tangan mulus lo. Tapi kalo lo maksa…” ancam Ridho. “BRENGSEK!!!” Vero menampar Ridho keras-keras, kemudian pergi. Harga dirinya benar-benar jatuh kali ini! Ata menepuk bahu Ridho pelan. ”Ke UKS sana. Periksa, gigi lo ada yang patah nggak, habis ditampar tuh monster. Sekalian bubarin kerumunan. Gue mau bicara sama ipar gue!” ucap Ata keras, kemudian tergelak. Perintah Ata adalah titah. Segera saja setelah mendengar perkataan barusan, kerumunan pun bubar. Tari meringis menyadari hal itu, karena yang memerintah di depannya sekarang bukan Ari! Ketika sekarang Ata melakukan hal-hal yang dulu dilakukan oleh Ari… Kenyataan tersebut membuatnya murka! “Pengkhianat!!” maki Tari tiba-tiba. Tari memukuli Ata, di tempat manapun yang terjangkau olehnya. ”Berani-beraninya. Ari itu sodara lo! Lo ambil tempat dia, lo ambil temen-temen dia, lo ambil sahabat dia… Lo ambil semuanya!!!”
“Lo boleh maki gue apapun yang lo mau. Tapi itu nggak merubah kenyataan kalo Ari bener-bener tumbang, ucap Ata setengah mengejek, dan itu membuat Tari semakin kesetanan memukuli Ata. “Cukup, Tar, cukup!” Tiba-tiba seseorang berdiri di depan Ata bak perisai. Tari menghentikan aktivitasnya dan memandang orang itu. Gadis yang sedari tadi berdiri di samping Ata. Yang diaku sebagai pacar oleh Ata. Gadis itu sedikit gemetar, memaksakan keberaniannya. Tapi sepertinya tekadnya lebih kuat dari ketakutannya melihat Tari yang seperti kesetanan. Dengan gagah berani, ia balas tatapan tajam Tari. “Emosi cuma ngebuang tenaga lo. Mendingan lo simpen itu buat ngehibur Ari,”cewek itu berujar pelan, namun menohok. Tanpa mengucapkan apapun lagi, diiringi senyum penuh kemenangan Ata, gadis itu pergi dari hadapan Tari. Siapa cewek yang ngakunya pacar Ata itu?! Tari mendengus kesal dan melirik ke arah gadis itu. Bersama dengan Ata, mereka memasuki ruangan kelas X-3. Jantung Tari serasa berhenti berdetak. Cewek itu! Jangan-jangan… * Ata tak bisa berhenti menyunggingkan senyumnya sembari memandangi Gita yang duduk di sebelahnya bak barang favoritnya yang paling berharga! Kejadian tadi cukup menyanjung hati Ata. Gue enggak salah pilih partner. Sedang Gita, agak rikuh ditatap seperti itu. Bukannya apa-apa, hal tersebut mengundang bisik-bisik nggak jelas oleh seluruh mata memandang. Gita sendiri merasa tidak nyaman dengan hal itu. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian. Dan dia tidak ingin menjadi
pusat perhatian. Apalagi perhatian yang mengundang desas-desus nggak penting! “Kak Ata… Kakak kembali ke kelas aja.” Ata tertawa sembari membelai rambut gadis yang berada disampingnya. “Kenapa, emang? Gue masih mau duduk di sebelah lo.” “Saya nggak enak sama temen-temen, Kak. Nggak nyaman dari tadi diliatin,” ucap Gita setengah menggerutu. Ata melihat sekeliling. Terdapat pemandangan orang-orang yang gugup atau mendadak mengalihkan pandangan kearah lain. Ata tersenyum. “Yaudah. Gue balik. Tapi nanti istirahat gue samper lagi, ya.” Ata bangkit seraya mengacak rambut gadis di hadapannya dengan sayang. “Nggak usah, Kak!” Gita buru-buru mencegah. ”Nanti kita ketemuan di kantin aja. Saya... mau ngurus sesuatu dulu, sebentar.” Ata menaikkan alis, namun tidak bertanya lebih jauh lagi. Anggap saja itu adalah hadiah karena telah menjadi pacar yang manis tadi pagi. Ata mengiyakan perkataan Gita, kemudian berbalik. Namun setelah beberapa langkah, Ata menghentikan jalannya dan berbalik kembali menuju Gita. Gita menahan napas. Takut Ata mengetahui sesuatu. “Ada apa, Kak? Ada yang kelupaan?” Ata tersenyum dan mengangguk, kemudian mengecup pipi Gita pelan. “Ini yang kelupaan. Makasih, ya.” Ata pun langsung meninggalkan kelas Gita. YA AMPUN GUSTIIII!!! Gita hanya bisa lemas diperlakukan seperti itu. Tabah… tabah… tabaaaaahh!!! Ia mengurut dadanya yang berdebar
sangat kencang. Sementara disekitarnya, bisik-bisik nggak jelas pun kembali mengheboh. * Berkali-kali Tari melihat jam tangannya dan melirik jam yang berada di belakang kelas. Berkali-kali pula ia mendengus kecewa. Jam istirahat masih lima menit lagi. Lima menit yang menyiksa! Tari benar-benar gelisah. Duduknya lasak, seperti cacing kepanasan. Fio hanya bisa menggeleng melihat kelakuan sahabatnya itu. Ia tidak mau iseng bertanya atau apa karena ogah ambil resiko ketahuan ngobrol saat pelajaran dan dihukum Bu Miyati, guru bahasa Jepang yang meski kalem namun terkenal tega memberi hukuman. Menulis kanji nama teman-teman sekelas sebanyak dua puluh kali dalam semalam! Namun akhirnya bel yang ditunggu-tunggu itu berdering juga. Tari mendesah lega. Setelah mengusir Fio secara halus dengan menyuruhnya ke kantin duluan, Tari bergegas menuju meja Nyoman, untuk menuntaskan satu tanya yang membuatnya gelisah sepanjang pelajaran. Kamu merasa bingung? Tidak kenal lingkunganmu? Tanyakan saja pada Nyoman! Begitu slogan yang sering diteriakkan oleh Nyoman. Tanpa menunggu persetujuan, Tari langsung menariknya menuju pojokan kelas yang sepi. “Eh, eh… apaan, Tar? Lo nggak lagi stress gara-gara masalah Kak Ari terus memutuskan jadi lesbi dengan nembak gue, kan?” Tari melotot. Mulut Nyoman ini cablak sekali! Mana keras, lagi, ngomongnya! Demi Tuhan, drama di hidupnya sudah cukup banyak dan ia tidak memerlukan adanya gosip tambahan! “Hahaha. Sori, Bu, sori. Habisnya lo mencurigakan gitu, sih, ngajak gue ke pojokan. Lo nggak lagi ngumpulin kekuatan buat bales
perlakuan Nenek Lampir tadi pagi, kan? Lo emang temen baik gue, Tar. Iya sih gue nggak rela lo dianiaya sama itu Lampir. Tapi sori. Kalo itu tujuan lo, gue bantu doa aja, ya. Gue masih mau hidup,” Nyoman dengan cueknya mengambil kesimpulan sendiri. Tari melongo kemudian berdecak kagum. Harusnya Tari tidak heran lagi. Hampir satu tahun sekelas dengan Nyoman membuatnya mengerti bahwa gosip dan Nyoman adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan! Tari harus mengakui, radar Nyoman mendengar gosip terbaru luar biasa dahsyatnya. “Ck, ck… dasar bigos – biang gosip! Nggak, Man. Gue nggak lagi menghimpun kekuatan untuk melawan Gunting. Well, setidaknya nggak sekarang. Gue mau nanya ke elo, nih. Kan lo orang yang paling tau semuanya, paling update.” Tari mengacungkan jempolnya tepat di depan muka Nyoman, yang menganggap hal tersebut sebagai pujian sehingga hidungnya kembang-kempis, tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya. “Lo mau nanya apa, Tar?” Tanya Nyoman sambil membusungkan dada. Tari nyengir. Kena, lo! “Lo tau, nggak, Man, cewek yang sekarang kemana-mana sama Ata? Rambutnya panjang. Kayaknya anak X-3. Lo tau?” “Anggita Prameswari maksud lo?” Nyoman mengendikkan bahu. “Itu orangnya di belakang lo.” Tari langsung membalikkan badannya. Meski berusaha sewajar mungkin, tetap saja ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat Gita dari jarak dekat. Face to face! Tanpa sadar ia menganalisis Ini… adik Angga! Gadis yang berdiri di depannya ini manis. Sangat manis, khas wanita Indonesia – kulit sawo matang yang bersih, rambut hitam legam
yang panjang, hidung bangir, senyum manis, wajah lugu dan sorot matanya lembut. Tapi dengan sekali tatap Tari mengetahui bahwa gadis yang berdiri di depannya ini tidak selugu wajahnya. Sorot matanya itu, meski lembut namun tidak menyembunyikan kecerdasan dan juga kilatan senjata yang tidak segan ia keluarkan bila terdesak! Lagipula, yang kita bicarakan disini adalah adik Angga. Mana mungkin Angga membiarkan adiknya keluar ‘sarang’ tanpa dibekali suatu hal apapun. Tari melipat kedua tangannya, memasang posisi ready to war. ”Ada apa?” Tanya Tari defensif. Jangan salahkan Tari bila sekarang ia menjadi sinis dan sarkas. Jangan salahkan Tari bila sekarang ia mengeraskan hati. Jangan salahkan Tari bila sekarang ia menjadi orang yang berburuk sangka pada semua. Kejadian Ari membuatnya tersadar bahwa tidak ada yang bisa benar-benar ia percaya di dunia ini. Kejadian Ari membuatnya harus selalu siap sedia untuk berperang setiap saat. Kejadian Ari memaksanya untuk terus waspada dan mendorong dirinya untuk tetap kuat dan tegar, dimanapun dan kapanpun. Hingga tanpa sadar ia membangun tembok setinggi mungkin dan mengasah pisau setiap saat, menusuk setiap orang mencurigakan yang mencoba untuk mendekat. Menatap Tari yang langsung memasang benteng pertahanannya, Gita tersenyum setulus mungkin. Ia sebenarnya iba pada Tari. Pasti gadis itu lelah sekali memforsir tubuh, hati dan pikirannya untuk selalu on setiap saat. Gadis itu tangguh! Sekarang Gita mengerti mengapa Tari menjadi obyek sengketa antara Ari dan Angga. “Halo, Tari. Seperti perkataan Nyoman yang murah hati,” Gita tersenyum pada Nyoman, ”Gue Gita.”
Gita mengulurkan tangannya. Untuk formalitas, Tari membalas uluran tangan itu, tanpa mengendurkan kewaspadaan sama sekali. “Ada apa?” Tari mengulang pertanyaannya. “Maaf, tapi waktu gue bener-bener enggak banyak,” ucap Gita gugup sembari melihat jam. ”Gue pengen ngobrol sama elo, Tar. Kalo boleh... berdua aja.” Tari dan Nyoman saling bertatapan. Tari tahu, Nyoman sangat tidak rela meninggalkan Tari berdua saja dengan Gita. Bukan, Tari rasa alasannya bukan untuk mencari gosip terbaru. Tapi lebih karena ia mengkhawatirkan keselamatan Tari. Untuk menenangkan Nyoman, Tari memeluk Nyoman sekilas, kemudian menyuruhnya menyusul Fio ke kantin. Di kelas X-9... tinggal dua Srikandi sendiri! Mereka berdua saling menatap, saling menilai secara singkat. Gita menatap Tari. Tari tampak sangat lelah, namun sama sekali tidak menurunkan powernya. Di depan Gita, Tari masih mengangkat senjatanya. Ini pe-er serius untuk Gita: membuat Tari percaya padanya. Tari menatap Gita. Gadis yang berdiri di depannya ini menyorotkan tatapan bersahabat, namun Tari tidak mau ambil resiko. Kewaspadannya tidak ia kendurkan. Karena ia masih belum tahu, yang didepannya ini kawan atau lawan! “Maafin gue karena udah buang waktu lo. Juga atas tindakan lancang gue tadi pagi, yang rasanya perlu dikonfirmasi. Maaf ya Tar, kalo elo malah nganggepnya itu penghinaan. Tapi, sumpah, itu tadi gue lakuin murni buat ngebelain elo,” ujar Gita cepat, menutupi kegelisahannya. Tari jadi agak tersinggung. “Gue enggak butuh dibela sama elo.”
“Tapi harus, Tar. Harus! Kalo tadi pagi gue biarin lo mukulin Ata kayak orang kesetanan gitu, nggak cuma citra lo yang buruk, Tar. Tapi juga Ari! Gue yakin, gosip bahwa mantan Ibu Negara lost control… bakal jadi headlines gosip di Airlangga.” Tari menghela napas. Perkataan Gita yang rasional tadi ada benarnya. Namun sampai disini, Tari tidak melihat adanya korelasi an tara perbuatan Gita dengan dirinya. Motifnya apa? Maunya apa? “Dan sebenernya, apa dasar lo ngelakuin hal itu?”Tanya Tari, tak lagi menyembunyikan kelelahannya. Mungkin memang Gita setulus itu. Mungkin memang ini uluran persahabatan. Mungkin memang Tari sudah luluh. “Angga…” Gita menggigit bibir bagian bawahnya, ragu ingin meneruskan ucapannya atau tidak. Namun Gita membulatkan tekadnya, kemudian meneruskan perkataannya. ”Jadi Angga…” “Oke,” tukas Tari segera, tidak membiarkan Gita melanjutkan kata-katanya. Karena sudah dapat dipastikan kata-kata Gita barusan hanya semakin memperparah luka hati Tari. Sudah tidak perlu diingatkan lagi bahwa konspirasi antara Angga dan Ata nyata adanya. “Oke...” Gita medesah. Dalam hati ia mengerti betul alasan dibalik sikap dingin Tari barusan. Sangat amat mengerti. Yang bisa ia lakukan sekarang hanya menghormati keputusan Tari. Namun masih ada satu hal penting lagi yang harus ia katakan. Gita berpikir keras, merangkai kata-kata yang tepat. Karena salah bicara sedikit saja bisa menghancurkan rencananya! “Udah, gitu aja?” Tari mengangkat sebelah alisnya. ”Terima kasih udah nyempetin waktu kesini. Gue ke kantin dulu.”
“Tolong maklumin Ata, ya Tar. Dia sama sekali nggak bermaksud jahat, kok.” Ucapan Gita yang tiba-tiba itu langsung membuat Tari menghentikan langkahnya seketika. Ia menoleh ke arah Gita, memandangnya dengan tatapan tidak percaya seakan Gita berkata bahwa bumi ini berbentuk kotak dan bukannya bulat. Gita tersenyum gugup dan mendekati Tari. ”Mungkin lo pikir gue insane atau gimana, masih ngebelain Ata setelah apa yang dia perbuat ke elo dan Ari. Tapi…Ata sama sekali nggak jahat dan nggak bermaksud jahat. Ata itu lagi tersesat. Untuk menuju jalan pulang, harus ngelakuin hal ini. Nyakitin kembarannya, maksud gue,” Gita menepuk bahu Tari. ”Tolong maafin dia, ya, Tar.” Perkataan Gita sangat membekas di hati Tari. Kata-kata Gita barusan… mengingatkannya pada dirinya sendiri! Keadaan Ata dan Gita sama seperti keadaan Tari dan Ari, kalau dipikir-pikir. Dari dulu Tari percaya bahwa Ari sama sekali bukan orang yang jahat. Tari teringat dengan tatapan Ata ketika pagi itu kerumahnya untuk memberi peringatan. Saat itu dia juga membaca bahwa Ata ini sama seperti saudara kembarnya: tersesat. Namun adanya kejadian-kejadian yang menyesakkan ini membuat Tari lupa dan terlalu menghakimi Ata sedemikian rupa dengan menganggap cowok itu sebagai orang paling jahat sedunia. Ia terlalu terlena dengan pikirannya sendiri dan melupakan hal tersebut, sampai Gita mengingatkannya kembali. Tari menatap Gita tepat di manik mata dan melihat masih ada harapan disana. *
Harusnya Ata tahu bahwa segalanya tampak too good to be true untuk berjalan semulus ini. Harusnya Ata bisa menerka bahwa semulus apapun rencana yang dibuat, pasti ada bolongnya juga. Sepintar-pintarnya Ata berusaha umenghindar, entah bagaimana caranya… orang itu menemukannya! Disini, di depannya. Orang yang mati-matian ia hindari setengah mati, orang yang ia benci sampai mendarah daging berdiri di depannya. Di depan kelasnya! Orang itu… Papanya. “Bisa Papa bicara?” Ata mendengus. Ia melirik sekeliling. Banyak bisik-bisik dan pandangan aneh yang tertuju padanya. Tidak heran, karena seorang pria perlente lengkap dengan jas dan dasi berada di depan kelas. Untuk meminimalisir adanya bermacam desas-desus, Ata mengiyakan ajakan Papa. Dengan isyarat mata, ia mengajak pria paruh baya tersebut ke pojok koridor yang sepi. “Anda mau apa?” Tanya Ata dingin. Tidak ada yang bisa mendeskripsikan perasaan Ata yang serasa jungkir balik melihat Ayahnya… Ayah kandungnya, berdiri di depannya. Sudah sembilan tahun ia tidak pernah bertemu dengan Papa. Dan ketika tiba-tiba hal itu tersodor di depannya begitu saja, rasanya… sangat aneh. Tidak ada perasaan mellow menggebu-gebu, ingin memeluk Papanya, menangis dan bernostalgia, berusaha mengisi kekosongan selama sembilan tahun. Tidak ada perasaan terharu dan bahagia melihat Papa yang selama hanya ia bisa mimpikan kehadirannya. Oh ya, selama ini dia memang kangen dengan Papanya. Sangat amat kangen! Terkadang ia membayangkan bagaimana hidupnya bila masih
ada Papa disampingnya, sebagai teman berdiskusi, teman bercanda dan berbicara mengenai permasalahan lelaki. Namun kehidupan yang Ata jalani terasa begitu keras. Sangat keras sehingga mengeraskan hatinya juga. Kerinduannya terhadap Ayah kandungnya terhapus oleh perasaan lelah lahir batin akibat harus menjadi sandaran Mamanya, harus bisa kuat dengan kaki sendiri. Perasaan rindu itu terkikis seiring berjalannya waktu, karena sementara ia harus struggle dengan hidupnya, Papa dan Ari bersenang-senang tanpa ada kesulitan yang melanda! Sekarang perasaan rindu itu malah tergantikan oleh benci. Mendengar pertanyaan Ata barusan yang terdengar kaku dan dingin, Papa tersenyum tipis. ”Kamu nggak mau menyapa Papa, Nak?” Ata tertawa geli. Benar-benar geli! “Papa?! Saya nggak punya Papa!! Jangan pikir hanya karena anda menyumbangkan DNA pada saya, anda punya hak untuk menyebut diri anda Papa saya! Saya nggak punya Papa!!” Papa terdiam dan nampak tenang, sama sekali tidak tersinggung atas ucapan Ata barusan. Karena Papa mengerti, ada hal-hal berat yang sudah dilalui Ata dan sudah melampaui apa yang anak normal lakukan. Papa mengerti bahwa Ata mengalami hari-hari yang susah dan keras, yang selama ini tidak pernah Ari alami. Kekurangajaran Ata, Papa anggap sangat lumrah. Meski begitu, Ata tetap anaknya dan ia harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang ayah. “Maafin Papa, Ta. Mungkin bagi Ata, Papa hanya orang yang pernah mengantarkan Ata ke TK. Sama sekali Ata tidak salah. Ata sudah melalui hari-hari yang berat dan tidak mengeluh sama sekali. Wajar saja Ata jadi keras hati begini. Tapi disini Papa hanya ingin menjalankan tugas seorang ayah ketika anaknya bandel, Ata. Disini
Papa ingin menegurmu,” ucapan Papa disampaikan secara lembut, namun tegas. Ata ingin membalas kata-kata itu dengan kata-kata yang lebih menyakitkan. Namun ia urung melakukannya. Sorot mata kecewa lelaki yang berdiri di depannya ini membungkam mulutnya. “Papa bukannya tidak tahu apa yang kamu lakukan pada Ari: tawuran yang hampir mencelakakan Ari, jadi dalang penggulingan posisi Ari sebagai Panglima Perang – sebutannya begitu, bukan, Nak? – dan segala hal yang bisa kamu rebut dari Ari. Kalau Papa tidak salah terka… tindakanmu ini berarti satu: kamu ingin berada dalam posisi yang sama dengan Ari, bahkan lebih.” “Selama ini Papa menutup mata, menutup telinga. Tapi semakin lama tindakanmu semakin keterlaluan, Ata. Kamu sakit hati, Papa mengerti. Tapi mengapa kamu lampiaskan semua pada Ari? Bagaimanapun, dia saudaramu.” “Lebih dari itu, yang membuat Papa paling kecewa adalah… karena kamu berubah. Kamu bukanlah Ata yang bisa Papa banggakan. Bukan Ata jagoan Papa. Bukan Ata yang kuat dan mandiri. Ata yang di hadapan Papa sekarang… Ata yang licik dan haus kekuasaan. Mamamu tidak membesarkanmu seperti ini, Ta.” Satu kata itu membuat kemarahan Ata tersulut. “Jangan bawa-bawa Mama!!” jerit Ata histeris.”anda ini siapa?! Anda nggak tau apa-apa! Anda nggak tau seberapa saya harus berjalan dan segala beban yang saya pikul! Anda nggak tau saya selama ini mati-matian jadi Ari untuk menyenangkan Mama! Anda sama sekali nggak ngerti! Dan Anda sama sekali nggak berhak ngejudge tindakan apapun yang saya lakukan!”
Napas Ata tersengal. Dadanya naik turun tidak beraturan. Mengeluarkan emosi yang sudah terpendam bertahun-tahun lamanya, ternyata bisa semenyesakkan ini. Kini, di depan ayahnya, ia mengeluarkan segala uneg-uneg yang tertahan. Perasaan yang tidak bisa ia utarakan sebelumnya. Tidak ada yang ia tutupi. Sejenak keheningan menyeruak diantara Papa dan Ata. Ada bagian-bagian melegakan dimana perasaan yang terpendam sudah diungkapkan. Namun dibalik perasaan yang terungkap, ada hal-hal rawan dan membahayakan dan masalah yang harus segera diselesaikan! Sebenarnya Papa miris sekali mendengar curhat jagoannya barusan. Ia memang tidak tahu apa-apa. Dan tidak ada satupun tindakan yang bisa menebus kesalahannya dan kekosongan waktu Sembilan tahun tersebut. Tetapi ada satu hal yang bisa lakukan untuk menyelamatkan segalanya yang belum terjadi, sekaligus mencegah terjadinya kerusakan yang nantinya akan menghancurkan semua pihak. Sudah cukup sakit hati ini sampai disini. Sudah cukup kepahitan ini mengganjal hati. Untuk berjalan ke depan, harus dengan dada yang lapang. Papa menyentuh pundak Ata, seakan memberikan suntikan kekuatan. Dan sejenak, tatapan mereka beradu. Tatapan itu! Mereka seperti kembali pada beberapa tahun yang lalu, ketika mereka masih menjadi keluarga yang utuh. Ari selalu menjadi kesayangan Mama. Buat Mama, Ari adalah malaikat manis nan penurut. Yang tidak bandel dan tidak pernah membuat onar. Sedang Ata, ia adalah jagoan favorit Papa yang kuat nan berani. Setiap kali Ata nakal, membuat anak tetangga menangis dan akhirnya dimarahi Mama, selalu saja Papa membela Ata. Papa beralasan, toh Papa tidak ingin mempunyai anak lelaki yang lembek.
Dan sudah Sembilan tahun ini Papa menjadi saksi bahwa untuk menarik perhatian, Ari sengaja berubah menjadi Ata. Dan ternyata… Ata berubah menjadi Ari! “Ta, sudah Sembilan tahun Ari berubah menjadi kamu…” Pernyataan Papa barusan sangat menohok Ata! * “Mantan Presiden lewaaaat!” “Kasih jalan, kasih jalan!” “Woo… so sweet! Helen dari Troya masih aja nih setia disamping mantan Kepala Suku? Kirain nyari tumbal lainnya!” “Harta, tahta, wanita. Sama sekali gue enggak nyangka si Ari jatuh ke lubang yang paling enggak banget nih. Wanita! Hahahaha!” Tari ingin berteriak membalas sindiran-sindiran mereka, namun Ari mempererat rangkulannya, seakan mencegah Tari melaksanakan niatnya. Tari mendengus kesal. Mati-matian ditahannya air mata yang ingin mengalir. Ia menatap Ari. Ari tampak tenang, meski bibirnya mengatup dan tangannya semakin erat merangkul Tari. “Lo kenapa diem aja?! Kenapa lo nggak bales mereka?!” ucap Tari emosi, ketika sorakan-sorakan itu sudah berhenti. “Buat apa?” jawab Ari sambil tersenyum tipis. “Gue nggak terima!!” Tari berontak, melepaskan diri dari rangkulan Ari dan kemudian berlari menuju kerumunan yang tadi menyoraki mereka berdua. ”HEH ! Lo pada cemen semua!! Beraninya cuma nyindir-nyindir nggak jelas!! Dasar kacang lupa kulitnya! Musuh dalam selimut! Nggak inget apa, dulu siapa yang nyelametin lo-lo pada pas tawuran?! Dasar nggak tau terima kasih! Udik! Kampungan!”
Orang-orang hanya terdiam mendengar makian Tari barusan. Bukan takut, tapi lebih kepada kaget karena tiba-tiba dibentak seperti itu. Diamnya mereka tak bertahan lama. Beberapa saat kemudian mereka tertawa dan melontarkan kata-kata yang jauh lebih tajam dan memerahkan telinga! Tari tidak tinggal diam. Ia membalas kata-kata mereka semua, sama kerasnya, sama tajamnya! Ari tidak tahan melihat Tari dilecehkan seperti itu. Ia sudah ingin melesat ke arah Tari, namun langkahnya terhenti. Seseorang berdiri di depannya, menghadangnya. “Kalo lo sama gue… lo nggak akan ngalamin hal-hal kaya gini. Orang-orang nggak akan berani nyentuh lo. Kalo lo sama gue!” Dengan tatapan ingin membunuh, Ari menatap Vero. ”Thank’s, but no, thank’s!” desisnya tajam. “Aaaaaaaaaaahh!!” Vero menjerit frustasi. ”Gue harus gimana lagi sih, Ri, untuk nunjukin kalo gue emang sayang sama lo?!” “Lo bisa nggak jadi Tari?” Ari menjawab pertanyaan Vero dengan diplomatis. ”Bukannya gue nggak tahu kejadian tadi pagi, Ver. Gue udah pernah ngasih peringatan. Lo sentuh Tari, lo mati! Lo pikir gue bercanda? Lo akan bayar, Ver… lo akan bayar! Stop gangguin Tari. Gue udah bukan siapa-siapa, cuma rakyat jelata. Mendingan lo berhenti.” Vero memekik frustasi. “Bukan masalah jabatan elo! Tapi elonya! Lo ngerti, nggak, sih?!” Ari mengangkat sebelah alisnya. ”Nggak. Gue nggak ngerti. Gue cuma lihat Tari. Gue cuma butuh Tari.” Hanya dalam hitungan beberapa detik, Ari melesat ke arah Tari. Dalam hitungan beberapa detik pula, kerumunan orang yang tadi dilawan Tari itu rubuh atau membungkuk kesakitan. Sementara Tari
hanya bisa menutup mulut dengan kedua tangannya, Ari merangkul gadisnya dengan senyum jumawa, sama sekali tidak mempedulikan ketika mereka melewati Vero. * Ridho melihatnya di pojokan koridor kelas duabelas. Ata, yang sedang berteriak keras kepada sosok pria berbaju rapi. Ata yang kemudian tersungkur. Dengan sigap, Ridho langsung menghampiri cowok itu, untuk menyelamatkan wajahnya. Dituntunnya Ata ke lab kimia yang sepi. Meringis menahan senyum, Ridho merasa dejavu. Kehancuran yang Ridho lihat ini persis seperti beberapa bulan lalu, ketika Ari mulai membuka topengnya yang sebenarnya dan mengendurkan segala macam bentuk pertahanan palsunya selama bertahun-tahun. Bedanya, yang ada di depannya sekarang ini Ata, bukannya Ari. Yang membuat Ridho geli adalah hampir saja ia tidak bisa membedakan keduanya. Mereka memang begitu serupa. Sebenarnya Ridho tidak tega, amat tidak tega melihat keadaan Ata yang luka parah begitu. Namun Ridho tahu, salah satu jalan menuju gerbang keikhlasan dan mendapatkan kelegaan hati, harus ada racun yang dibuang. Sesakit apapun, seperih apapun. Membawa luka hanya membuat jalan tidak lapang. Ridho menghela napas. Ia duduk disamping Ata, kemudian merangkulnya. “Lo harus bisa kontrol emosi kalo di depan umum,” Ridho menasihati cowok itu dengan suara pelan, “kan nggak lucu kalo seisi sekolah ngeliat pahlawannya nagis terisak-isak.” Begitulah Ridho, dengan sifat khasnya yang selalu meyerang bagian terdalam. Ata, yang sedang mengontrol suara tangisnya dengan makian pelan, menatap orang yang hampir tiga minggu ini selalu
membayanginya. Menjadikannya duduk di posisi tertinggi di SMA Airlangga. Yang dulunya menyandang predikat sebagai sahabat Ari, namun dengan sukarela menyebrang padanya. “Yang tadi datang itu,” Ata menelan ludah, mencoba meneguhkan hatinya,” bokap gue dan Ari.” Ridho tercengang. Dibiarkannya Ata terus bercerita. “Dia bilang, dia kecewa sama gue. Katanya gue keterlaluan. Apa dia nggak tau, gue mati-matian berperan sebagai anak yang baik, seperti Ari, di depan nyokap, dan tindakan gue sekarang dibilang keterlaluan?!” Ata terisak keras. “Bukannya Ari selama ini udah hidup enak? Bukannya Ari selama ini udah ngedapetin semuanya? Sampe-sampe orang salah ngira antara gue dan Ari!” Melihat rintihan Ata seperti ini, Ridho jadi berpikir. Betapa sebenarnya, mereka berdua benar-benar mirip. Benar-benar menjalani kehidupan dengan topeng yang sama. Melakonkan peran yang sama untuk membentengi hati. Ridho mendesah. Hal ini benar-benar ironis! Tragis! Si kembar itu harusnya berjalan berdampingan. Berlari bersama. Sehingga mereka bisa saling berbagi bila semuanya sudah tak tertahankan lagi. Namun Sembilan tahun bukan waktu yang singkat. Mereka terlalu terbiasa berdiri sendiri, berperang sendiri. Ego mereka berbicara bahwa mereka tidak butuh siapapun. Mereka ciptakan topeng untuk melindungi diri ketika semuanya menjadi menyesakkan dada. Lucunya, topeng yang mereka ciptakan ini adalah karakter dari kembaran mereka! Mereka ciptakan suatu ilusi, alter ego dari kembaran mereka. Karena dengan begitu, mereka merasa tidak berjalan sendiri lagi. Tidak berlari sendiri lagi.
Ridho ingin sekali menghentikan percakapan yang juga menyayat hatinya ini. Namun, kalimat terakhir Ata membuatnya penasaran. “Salah ngira? Maksudnya?” Ata menghela napas. Pandangannya lurus ke depan. Pandangan itu... segala emosi melebur disana. Kerinduan, kasih sayang... juga benci. * Ata, berusia 13 tahun, berjalan tergesa-gesa menuju SMP swasta elite yang berada tidak jauh dari sekolahnya. Seperti yang sudah ia lakukan bertahun-tahun, hari ini adalah waktunya ia melaksanakan tugasnya sebagai kakak: mengawasi Ari. Sudah lama semenjak perceraian kedua orangtuanya. Sudah lama pula sejak mamanya menyerah akan pencariannya terhadap Ari. Namun, di saat mamanya menyerah, justru Ata menemukan keberadaan Ari. Tidak, ia tidak tega memberitahukan hal tersebut pada mama. Karena takut, Ari yang sekarang malah menghancurkan hati mama. Maka lebih baik, cukup Ata yang mengetahui keberadaan kembarannya ini, sekaligus untuk menjaga sosok dari apa yang tersisa di ingatannya. Ari yang lemah, Ari yang penakut, Ari yang cengeng… Ata sangat mengkhawatirkan adiknya itu. Apalagi ditambah Ari yang sekarang sangat labil setelah perceraian kedua orangtuanya. Karena Ata menyaksikan sendiri bagaimana Ari tantrum, berontak dan melempari segala barang ketika Mama menggendong Ata dan pergi dari rumah. Dan menurut sepengelihatan Ata sekarang, tantrum Ari itu beralih menjadi pemberontakkan masa remaja: berantem, balapan, rokok. Ata begidik membayangkan reaksi mamanya jika mengetahui anak kesayangannya jadi kacau begitu.
Tidak pernah sekalipun Ata menampakkan hidungnya di depan Ari. Cukup ia awasi Ari dari jauh saja. Karena ia takut, jika ia muncul, ia seakan memberi harapan pada Ari bahwa keluarganya akan bersatu lagi. Padahal tidak seperti itu. Tidak akan seperti itu. Akhirnya Ata sampai juga di depan SMP Ari. Dari balik gerbang, ia awasi Ari yang sedang main basket dengan temannya. Ia tersenyum lega. Mood Ari sangat baik hari ini, sehingga tidak ada adu jotos. Ia pun berbalik dan pulang. “Kak!” Suara teriakan menghentikan langsung menghentikan langkahnya. Ia menoleh, kemudian tercenung. Gadis itu… tanpa sadar mukanya memerah. Sebenarnya sudah cukup lama ia perhatikan gadis itu. Gadis itu satu sekolah dengan Ari, sepertinya ia adik kelas. Gadis itu selalu ia lihat ketika ia mengawasi Ari. Gadis mempunyai kekurangan fisik, memang, tapi tidak menutupi kecantikannya. Diam-diam, gadis itu mencuri perhatiannya. “Kak…” terpincang-pincang, gadis itu menghampiri Ata. Ya, gadis itu memang pincang. Tapi Ata tidak peduli. Dengan sabar, ditunggunya gadis itu. “Ya?” jawab Ata sok cool. “Sebelumnya… sebelumnya… saya mau berterima kasih atas bantuan Kakak sebulan yang lalu. Kakak mungkin nggak ingat. Tapi… tapi saya selalu ingat Kakak…” Ata mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang gadis itu ucapkan. Tapi dibiarkannya juga gadis itu menyelesaikan perkataannya.
“… dan ini… ini buat Kakak…”gadis itu menyodorkan sebuah amplop. Berwarna pink. Dan wangi! Dada Ata berdesir. Ata menerimanya, kemudian ia membaca halaman depan surat itu. Untuk Kak Ari. Bagai tersambar petir di siang bolong, Ata langsung merobek-robek surat itu kemudian berbalik pergi, tak mempedulikan tangisan gadis itu memilukan hati. Ia rela melakukan apapun untuk kebahagiaan Mama. Ia rela jadi Ari. Mati-matian ia berusaha jadi anak manis seperti Ari. Agar mamanya senang. Agar sedikit saja Mama melihatnya dan menyayanginya seperti Mama menyayangi Ari. Demi Ari, ia akan lakukan segalanya. Ia lakukan apapun demi melindungi adiknya. Bila dulu ia rela dimarahi ibu-ibu tetangga dan mama karena berusaha membalas anak-anak yang menjahili Ari, sekarang ia mengawasi dari jauh dan kadang turun tangan bila sudah ada yang kelewatan. Memang wajah mereka sebegitu miripnya. Ata dan Ari Nampak tiada beda dan itu berarti Ata, alih-alih Ari, dapat langsung mengeksekusi siapapun yang menyakiti Ari. Segala pengorbanannya, jerih payahnya… tumpah sia-sia! Cukup sudah! Ini puncaknya. Ia sudah lelah. Ia sudah letih jadi bayang-bayang Ari! * “Dia cinta pertama gue, Dho...” Ata gemetar menahan emosi. “Tapi yang ia lihat ternyata Ari! Bukan gue! Sejak saat itu, rasa muak gue memuncak. Udah, disitu puncaknya! Gue muak sama Ari!” Ata kalap. Digebrak-gebrakkannya meja yang ada disana untuk melampiaskan kemarahannya. Ridho hanya bisa diam, shock dengan segala informasi yang ia dengar keluar dari mulut Ata.
* “Kalo ngelamun ajak-ajak, dong! Emangnya asyik ngelamun sendiri?” Ata menoleh ke sumber suara. Ata menatap orang itu tajam, kesal karena orang itu telah mengangguk kekhusyukannya berpikir. “Main PS, kali, berdua! Mana ada ngelamun ajak-ajak,” ujar Ata ketus, ”Tau dimana gue disini?” Angga meringis, kemudian duduk di sebelah Ata tanpa dipersilahkan. ”Gue tau dari Nyokap lo. Katanya lo lagi nyari angin di taman ujung kompleks. Yaudah, gue samper aja.” Ata mendengus kesal,”Lo mau apa kesini?” “Yee, Lo kok galak, sih?” Angga jadi ikutan kesal karena kedatangannya tidak disambut baik. “Harusnya gue yang galak. Gue bilang jagain Gita, bukan jadian! Jadian sama Gita nggak ada dalam perjanjian, tau!” Ata melunak. Ia tertawa geli mendengar omelan Angga barusan. ”Setiap Kepala Suku butuh pendamping, Ga,” kilah Ata. ”Lagipula, dengan Gita jadi Ibu Negara, nggak ada satupun yang berani nyentuh dia. Gue harus pepet Gita, biar Ari nggak bisa ngapa-ngapain dia. Jadi ini beneran murni hubungan diplomatis.” Angga mengangguk, menerima penjelasan Ata barusan. ”Ini memang bukan urusan gue. Tapi… gue berhak tau,” Angga berkata dengan sangat hati-hati. “Sebenarnya... Ada masalah apa lo sama Ari sampe bela-belain ngajak gue kerjasama untuk ngancurin dia?” Ata terdiam. Keheningan yang canggung menyeruak. Sejenak, Angga merasa pertanyaan yang ia lontarkan kelewat lancang. Tapi Angga tidak bisa berhenti begitu saja. Dia harus tau motif Ata. Mereka
telah memutuskan untuk menjalin relasi dan bekerjasama. Angga ingin semuanya jelas, clear dan transparan! “Gue udah muak jadi bayang-bayang Ari,” jawab Ata, memecah sunyi. ”Waktu Nyokap-Bokap cerai, Nyokap dapet hak asuh gue dan Ari ikut Bokap. Tanpa Ari, Nyokap bener-bener kaya orang gila. Dan untuk nyegah Nyokap jadi gila beneran… Gue berubah jadi Ari.” Angga terhenyak. Ia tidak tahu bahwa ceritanya seperti ini. “Dan kalo lo pikir tekanan yang gue dapet cuma dari Nyokap, lo salah. Eyang gue, para sepupu… selalu aja Ari yang mereka ingat. Gue yang ada disana bener-bener nggak dianggap. Segalanya berporos pada Ari. Mereka lupa kalo gue juga matahari…” Ata tertawa getir. “Atas nama sodara, gue masih bisa maklum. Walo gue lelah. Puncaknya waktu ada cewek pincang yang nyamperin gue malu-malu. Ngasih surat ke gue. Tapi begitu gue baca... itu bukan buat gue! Itu buat Ari! Dasar cewek pincang sialan. Bener-bener bikin gue muak sama Ari!” Angga hanya mendengarkan samar-samar. Tubuhnya sudah menegang sejak menyinggung tentang “cewek pincang” yang memberinya surat. Hatinya mencelos. Dendamnya.... salah sasaran!! * Di sebuah warung kopi pinggir jalan. Tempat ini bagaikan tempat relaksasi untuk Angga. Tempat ini adalah tempatnya berlari dan menikmati me timenya. Angga menyeruput kopinya perlahan. Ia hisap rokoknya dalam-dalam. Harus ia nikmati saat-saat ini sendiri, sebelum nanti ia harus berkutat dengan kesehariannya : sekolah, tawuran dan… rumah.
Angga benci rumah. Sangat benci rumah. Bagi Angga, rumah adalah neraka. Semenjak perceraian kedua orangtuanya sepuluh tahun silam, rumah sudah tidak bisa memberikan kenyamanan baginya. Angga memang sebagian besar dari produk keluarga broken home. Benci rumah dan melampiaskan segala bentuk kekecewaannya dengan hal-hal yang membuat bulu kuduk kedua orangtuanya berdiri dan bisa membuat kedua orangtuanya kena serangan jantung : tawuran, balapan. Angga sama sekali tidak mempedulikan kedua orangtuanya. Apalagi dengan kedua orangtuanya yang sudah membina keluarga baru masing-masing. Segala hal yang dilakukan kedua orangtuanya untuk kembali meraih Angga, Angga anggap hal itu hanya formalitas dan basa-basi. Ia bosan. Ia benci. Lebih baik seperti ini. Bebas sendiri. Sebenarnya Angga tidak terlalu parah dan apatis seperti ini ketika ada Kirana, adiknya. Dengan jarak hanya setahun, Kirana dan Angga memang sangat dekat. Apalagi kekurangan fisik Kirana membuat Angga mati-matian menjaganya. Bagi Kirana, Angga adalah abang nomor satu. Dan Kirana sendiri, meski statusnya adalah adik, dia lebih dewasa dari abangnya dalam berbagai hal. Hanya Kirana yang bisa mengendalikan dan meredam Angga. Hanya Kirana tempat Angga bersandar. Bagi Angga, Kirana adalah segalanya… Dan itu… sebelum Ari datang dan menghancurkan segalanya! Terkutuklah Ari dengan segala kesempurnaan dan ketidaksempurnaan yang ia miliki! Terkutuklah Ari yang membuat adiknya jatuh cinta setengah mati! Terkutuklah Ari yang membuat adiknya patah hati sedemikian rupa sehingga memutuskan untuk menyusul ibu mereka ke luar negeri dan meninggalkan Angga sendiri! Namun hari ini, diketahuinya satu fakta baru yang mengejutkan. Bukan Ari yang membuat adiknya nelangsa, melainkan orang yang
selama ini sedang bekerja sama dengannya! Mendadak Angga merasa bego, sangat bego. Di tangan Ata, ia menyerahkan keselamatan Gita seutuhnya. Tidak... tidak mungkin Angga langsung mengubah taktik tepat di depan musuh. Topeng ini harus tetap ia pakai. Angga letih. Ia sangat membutuhkan Kirana hadir di sampingnya. Menyemangatinya, membuatnya tertawa. Tapi masalahnya sekarang… Kirana tidak ada. Dan Angga harus melakukan segala sesuatunya… sendiri. Sudah dua jam Ridho merebahkan diri di kasur empuknya, namun tetap saja matanya tak dapat terpejam. Pikirannya masih saja berlarian pada Ata dan Ari. Fakta yang terkuak dari hasil mendekati Ata ternyata begitu mengejutkan. Jika saat bersama Ari, ia hanya diberitahukan secuil saja informasi mengenai kehidupan masalalunya, mengetahui sepotong kenangan tersebut dari Ata semakin membuatnya memaklumi tingkah kembar tersebut. Keduanya... hanyalah trauma. Keduanya mencari pelarian dengan caranya masing-masing. Cara yang ternyata sama! Tiba-tiba saja, Ridho dapat memaklumi segala perbuatan Ata terhadap Ari – apalagi yang melibatkannya. Ata hanya ingin menggapai sebanyak mungkin yang kala itu tak dapat diraihnya. Seperti Ari dulu, yang mengejar Tari karena kesamaan nama dengan kembarannya. Tidak ada salah yang benar-benar salah disini. Walaupun begitu, segala sakit hati dan perebutan ini haruslah segera diakhiri, sebelum
tikamannya terlalu jauh dan malah menutup semua jalan untuk kembali. * “Halo, Cantik...” “Halo, gombal...” balas perempuan di seberang sana sambil terkikik geli. Angga gemas. Ingin rasanya ia mencubit lembut pipi Kirana yang saat ini terlihat di layar komputer. Sayang. Adiknya itu berada pada jarak yang sangat jauh dengan dirinya. Angga menghela napas. Wajah kalut itu tertangkap oleh penglihatan Kirana. “Kenapa, Kak?” Angga tahu, gadis itu memang selalu mengerti jika dirinya sedang gundah. Rentang umur yang hanya setahun membuat mereka sangat akrab satu sama lain. “Kamu disana gimana? Kak Angga... Kangen,” ujarnya sambil menelan ludah, “harusnya kamu nggak perlu ikut Mama, Ki...” Giliran Kirana yang menegang di kursinya. Kenangan itu... Walau telah lama berlalu, namun sakitnya tidak terlupa. Lebih tepatnya, rasa tidak percaya bahwa orang yang selama ini ia anggap baik bisa bertingkah segitu kejamnya. “Udah berlalu, Kak...” sahut Kirana, menenangkan, “lagian aku bahagia, kok, disini. Ap –“ “Tapi yang terbayang di kepala Kakak bukan raut kebahagiaannya kamu!” potong Angga kesal, napasnya memburu. Kirana terkejut. “Bahkan tanpa surat itu dirobek pun... Harusnya aku yang tau diri.” Pada wajah gadis itu tercetak senyuman pasrah. Suaranya bergetar, namun dalam keadaan terkontrol. Seakan apa yang terjadi di
masalalu memang kesalahannya, yang menganggap besar sebuah kejadian kecil. * Kirana berjalan tergesa-gesa. Karena toilet penuh, ia jadi terlambat masuk ke kelas. Padahal hari ini ada ulangan matematika! Sedikit saja ia terlambat berdampak sangat besar dalam menyelesaikan soal rumit tersebut. Namun, ketergesa-gesaannya itu malah membuat langkahnya goyah dan... tek! Kakinya masuk ke selokan. Kirana terduduk, mengaduh kesakitan. Untung saja sepi, kalo nggak dia bisa malu! “Yah... telat!” suara seorang cowok terdengar di belakangnya. Wajah cowok itu menyiratkan perasaan menyesal. “Tadinya mau ngingetin kalo jalan lo tuh terlalu pinggir, eh keburu jatuh. Maaf, ya.” Cowok itu mengulurkan tangannya. Dengan wajah memerah dan terkesima, perlahan Kirana membalas uluran tangan cowok tersebut. “Makasih...” cicitnya pelan. “Buru-buru sih boleh, tapi jalanan juga harus diliat,” ujar cowok itu menasehati. “Yuk, gue anter sampe ke kelas!” “Eh!” Kirana langsung gelagapan. “Enggg.. Nggak usah, Kak. Saya bisa jalan sendiri.” “Gitu? Lo kelas berapa?” “Delapan satu, Kak. Duh...” Kirana melirik jam tangannya, cemas. “Maaf, Kak. Saya buru-buru. Ulangan, nih. Sama Bu Ambar. Per –“ Namun, cowok itu malah menarik tangannya dengan kelembutan yang tak terbantahkan, memapah Kirana menuju kelasnya. “Jangan bandel, biar gue anter. Biar lo dapet tambahan waktu juga.” “Mana mungkin! Aduh.. Saya –“
Kirana malu. Takut seisi kelasnya akan heboh. Karena cowok yang sedang memapahnya ini bukanlah cowok biasa. Namun, lagi-lagi perkataannya dipotong. “Jelas bisa, dong! Percaya deh sama gue. Karena gue... Matahari Senja!” Semudah itu. Ari menolongnya, dan membuatnya dapat waktu ekstra untuk mengerjakan soal ulangan. Membuat teman-temannya histeris karena keberuntungannya. Sejak hari itu, Kirana selalu mengamati sosok Matahari Senja. Walau dalam setiap senyum malu-malu yang dilontarkannya ketika mereka berpapasan, Ari tidak melihatnya sama sekali. Walau Kirana selalu mengambil tempat duduk terdekat dengannya saat di kantin, cowok itu tidak menghiraukannya. Walau dalam setiap pertandingan basket di waktu senggang selalu Kirana tonton, Ari tetap tidak melihatnya. Namun, selama bisa melihat sosok Matahari Senja, nggak masalah. Kirana nggak keberatan. Sampai suatu ketika, gadis itu memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. Kirana memekik senang karena Dewi Fortuna sedang berpihak padanya. Dilihatnya keberadaan Ari tak jauh dari gerbang sekolah. Setelah berkali-kali memotivasi dirinya untuk berani, akhirnya gadis itu melangkah pelan menuju Ari. Namun, saat dilihatnya Ari akan beranjak pergi, mau tak mau Kirana mencegahnya dengan berseru, “Kak!” Cowok itu lantas menoleh, kemudian menghentikan langkahnya. Dengan muka memerah karena bersemangat, Kirana akhirnya sampai di depan pujaannya. “Ya?”
Dag... dig... dug... “Sebelumnya… sebelumnya… saya mau berterima kasih atas bantuan Kakak sebulan yang lalu. Kakak mungkin nggak ingat. Tapi… tapi saya selalu ingat Kakak…” Kirana tidak sempat memerhatikan ekspresi cowok di hadapannya. Matanya tertuju ke sepatunya sendiri, dimana sebelah kakinya terlihat lebih pendek daripada yang satunya. “… dan ini… ini buat Kakak.” Disodorkannya sebuah surat yang ia tulis semalaman suntuk, seraya memberanikan diri menatap mata pujaannya itu. Namun, ekspresi yang terpancar disana bukanlah keramahan yang sama seperti yang ia lihat satu bulan lalu. Orang di hadapannya saat ini memancarkan ekspresi murka yang sangat hebat, sangat menakutkan! Kebengisan wajah itu semakin terpampang nyata saat ia merobek dengan brutal amplop pemberian Kirana – bahkan tanpa sekalipun membuka amplop tersebut! Lalu ia pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tanpa memerdulikan Kirana yang hatinya juga terkoyak seperti kertas-kertas itu. Kirana curhat habis-habisan pada Angga. Tentang Ari. Tentang penolakannya bahkan sebelum melihat apa yang tertulis disana. Kirana bahkan sampai malu datang ke sekolah, takut melihat wajah murka cowok itu. Kirana tidak ingin bersekolah lagi. * Kini, Kirana bisa mengikhlaskannya. Walau hatinya berdenyut setiap kali membandingkan kekontrasan sikap Ari saat menolongnya dengan Ari yang menolaknya, seiring berjalannya waktu, gadis itu sadar bahwa memang dirinya yang salah, melambungkan perasaan begitu tinggi.
Namun Angga tetap tidak bisa menerimanya. Tangisan itu... Kesakitan itu... Ternyata bukan Ari! Ternyata memang Ata pelakunya. Cerita keduanya cocok! “Ki...” suara Angga bergetar menahan amarah, “Akan Kak Angga balas semua perlakuan kasar itu. Kak Angga akan bikin dia membayar semua kesalahannya!” Kirana menggeleng, letih. “Buat apa sih, Kak? Aku juga udah nggak kenapa-napa, kok. Kak Angga juga harus ikhlas, ya...” Nggak akan! Sampe kapanpun gue nggak akan bisa ikhlas!! * Guru-guru merasa, kedatangan Ata benar-benar memberikan dampak positif bagi Ari. Sudah seminggu terakhir, Ari selalu berada di sekolah: tidak pernah membolos, pakaiannya selalu rapi, dan juga tidak membuat onar! Ari bahkan mendengarkan pelajaran dengan tekun. Rajin datang pendalaman materi. Duduk manis di kelas, mengacungkan tangan jika ada hal yang tidak ia mngerti terkait dengan pelajaran! Terang saja. Ari mampu mengontrol emosinya dengan baik, sehingga air mukanya tidak mencerminkan kekalutan hatinya yang sebenarnya. Walaupun, jika dipikir-pikir lagi... Begini lebih baik. Perlahan, Ari kembali dengan sifat aslinya. Ari yang sekarang lebih ramah – walau hanya ditunjukkan pada teman-teman sekelasnya dan juga para penjual di kantin. Bahkan pelecehan demi pelecehan yang dilakukan oleh beberapa siswa akibat kejatuhannya tidak lagi ia tanggapi dengan serius. Biarlah. Ata sudah membuktikan kehebatannya, membuat Brawijaya bersedia melakukan gencatan senjata. Apapun alasan yang
menyertainya, Ari sudah tidak peduli. Ia siap melepas segala kekuasaannya di SMA Airlangga. Bahkan ketika dilihatnya Ridho sedang berjalan beriringan dengan saudara kembarnya tersebut, emosi Ari tidak lagi tersulut. Biarlah... Toh, saudara kembarnya juga berhak mendapatkan teman yang baik. Ari percaya, kehadiran Ridho di samping Ata setidaknya akan membuat kembarannya punya kekuatan lebih untuk mengontrol Airlangga. Dan lagi, Ridho paling jago dalam menenangkan Ari. Pasti, Ridho juga akan menjalankan perannya sebagai teman juga sebagai perisai dengan sempurna. Dari ujung tangga, Ari menatap pada satu titik. Kelas X-9. Tempat dimana gadisnya berada. Untuk saat ini... Ia hanya akan menyimpan tenaganya untuk melindungi gadis itu. Silakan saja jika ada serangan yang ditujukan untuk dirinya... asal jangan Tari! Sudah cukup Tari menderita hanya untuk menopang jiwa Ari yang rapuh. Dari kejauhan, Ari dapat melihat sebentuk senyum milik Tari yang dilemparkan untuk dirinya. Ari membalas senyuman itu. Demi untuk menjaga senyuman itu... Sudah saatnya Ari berbalas budi. Akan dibuatnya gadis itu tersenyum setiap hari, bagaimanapun caranya. Ari memejamkan matanya sesaat, berdoa. Berharap kali ini akan berjalan lancar. Kemudian, ia melangkah menghampiri kelas Tari dengan langkah seringan kapas. * Siapapun dapat melihat bahwa hari ini, mendung menyelimuti wajah Ata. Tidak ada senyum ramah seperti yang biasa ia pasang di wajahnya. Yang ada hanyalah wajah kesal. Bete. Mood Ata masih
memburuk pasca dua kejadian kemarin: kehadiran Papa dan kenangan tentang Gadis Pincang. Gita, yang akhir-akhir ini sangat berinisiatif membayangi Ata kemanapun cowok itu pergi, menangkap keganjilan sikap ‘pacarnya’ dengan bingung. Apalagi seharian ini Ata hanya diam, tidak menggodanya seperti biasa. “Kak Ata sakit? Nggak enak badan?” tanya gadis itu cemas, yang hanya dijawab dengan gelengan pelan. Gita makin bingung. Ia paling tidak suka menghadapi orang yang hanya diam dengan muka ditekuk. Keterdiaman yang justru lebih mengerikan. Tiba-tiba raut wajah Ata menegang sambil memandang ke satu titik. Setelah ditelusuri, ternyata pandangan itu jatuh pada kembarannya yang sedang tertawa lepas dengan Tari. Tawa itu adalah paling lepas yang pernah Gita lihat ada pada Ari setelah semua kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini. Namun, apa yang terpancar di wajah Ata sungguh berkebalikan dengan saudara kembarnya. Pada wajahnya tergambar kemuakan yang begitu nyata! “Gue...” desis Ata pelan, “bukan Ari.” Gita terdiam mendengar pernyataan tersebut. “Gue.. selamanya bukan Ari. Gue Ata!” Ditatapnya mata Gita tepat di manik mata. “Lo tau itu, kan?! Lo sadar itu, kan?!” Gita tersenyum maklum. Ia mengerti. Lelaki di hadapannya ini sedang mengalami pergolakan hati yang hebat. “Yang sekarang ada di depan saya... memang Kak Ata. Tapi bukan yang di depan teman-teman satu sekolah.” Kalimat itu begitu sederhana, namun maksudnya terpampang jelas. Ata melotot pada gadis yang duduk di sampingnya.
“Lo... berani-beraninya!” “Berani-beraninya berkata benar?” tukas gadis itu, tandas. Wajahnya masih menyampirkan senyum penuh pengertian. “Kak Ata... Rileks aja. Jangan ada yang dipendam. Bahkan tentara paling tangguh sekalipun punya beban di hatinya yang –“ “DIAM!” Pembicaraan itu, yang tadinya berlangsung sangat pelan sehingga tidak ada orang yang menyadari, akhirnya turut menjadi perhatian publik karena bentakan Ata terhadap gadisnya. Gita lantas terkejut, begitu juga yang lain. Ata, yang selama ini terkenal dengan keramahannya, berani membentak cewek yang diakuinya sebagai pacar? “Lo, orang baru,” desisnya, “jangan pernah sok tau!” Kemudian Ata melenggang pergi dengan muka yang semakin ditekuk. Saat itu, Gita – dan juga seluruh siswa yang mendengar bentakan tersebut – belum benar-benar menyadari apa yang sesungguhnya sedang mereka lihat. * Ari sedang tertawa geli, sangat geli. Gadis yang duduk di sampingnya saat ini sedang gila! Tari dengan menggebu-gebu sedang bercerita tentang kejadian seru di kelas biologi hari ini: praktek membuat tape. Dimana teman-temannya begitu antusias menghadapi hari ini. Saking antusiasnya, beberapa di antara mereka membawa bahan makanan lain yang tidak disuruh: roti, lemang, surabi, bahkan ada yang bawa rujak! Jadilah kelas biologi dengan Bu Ida tadi sebagai kelas makan-makan. “Kehidupan SMA tuh semenyenangkan itu ternyataaaa!”
“Trus lo bawa apaan?” Tari merendahkan suaranya. “Bawa bento bikinan Mama, sih. Tapi nggak mau bagi-bagi sama mereka, ah. Napsu makannya pada anarkis semua!” “Pelit!” Ari mengacak lembut rambut Tari yang hari ini dikucir rapi, membuat gadis itu sewot. “Aaaa jadi berantakan!” Sungguh, pemandangan keduanya yang nampak akur membuat takjub semua mata yang memandang. Terutama ekspresi Ari.... Ekspresi yang sebelumnya tidak pernah ia pancarkan terang-terangan di depan umum, atau di tempat yang Oji dan Ridho tidak ada disana. Membuat para junior merasa, Ari tuh sebenarnya senior yang seru. Yang nggak galak. Yang enak banget untuk diajak ngobrol. Seperti sekarang ini! * Ada sepasang mata lain yang mengamati pasangan paling fenomenal di SMA Airlangga itu. Sepasang mata itu turut menyunggingkan senyum kebahagiaan, sekaligus kerinduan. Rindu untuk ngegodain, rindu untuk juga ikut tertawa bersama. Namun tugasnya belum selesai. Bahkan, saat ini ia merasa memiliki kewajiban untuk menjaga hati yang satunya lagi. Yang masih terlalu rapuh untuk ditinggalkan sendiri. “Ngapain lo ngintip-ngintip? Samperin dong.” Ridho menoleh ke belakang. Oji memergokinya! Dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan, ditinggalkannya Oji tanpa sepatah katapun. * Ata tersenyum lebar. Wajahnya terlihat sangat sumringah. Belum pernah ia merasa mendapatkan ide secemerlang ini sejak kasus
penurunan tahta Ari. Kali ini, ia akan melakukannya dengan idenya sendiri, tanpa pasokan ide dari orang lain! Kali ini, akan dibuatnya Ari memilih. Kali ini, akan dipaksanya Ari berlutut kelelahan. Kali ini, Ata akan memenangkan seluruhnya dengan sempurna! Dho, yuk cari sensasi lg. Plg seklh. Lap basket. * Mood Tari hari ini sedang sangat bagus. Gangguan-gangguan untuk dirinya dan Ari sudah berkurang, begitu juga dengan pandangan sinis merendahkan yang mereka terima. Apalagi kondisi Ari semakin membaik, semakin terbuka. Ari... telah melepas topengnya. Inilah sumber kelegaan terbesar Tari, yang membuatnya sangat mensyukuri kejadian akhir-akhir ini. Kesakitan panjang itu akhirnya berujung pada kebaikan kondisi sang pentolan sekolah sendiri. Runtuhnya kekuasaan Ari membuatnya ikut meruntuhkan segala topeng yang ia pasang, topeng menduplikasi Ata. Jelas saja hal itu sudah tidak perlu dilakukan lagi. Karena sekarang, Ata telah hadir, mengambil posisinya sendiri. Dengan kehadiran Ata, Ari tidak harus membawa bayang-bayang Ata dalam dirinya. Tidak harus membuat dirinya setegar batu karang. Ari bisa bersikap biasa saja. Meskipun... Kedatangan Ata bukan berarti kabar baik bagi episode kehidupannya. Namun setidaknya, Ata telah kembali. Berbekal kenyamanan hatinya mengenai kondisi Ari, tiba-tiba Tari merasa kalau pelajaran kimia ternyata tidak serumit yang biasanya.
Tidak, sebelum Tari melihat sosok Ridho di luar kelasnya. Cowok itu mengedikkan kepalanya, mengisyaratkan Tari untuk keluar menghampirinya. “Ngapain, ya?” tanya Fio ingin tahu. Tari hanya mengangkat bahu, tidak tahu. “Mukanya serem gitu, Tar.” “Makanya harus disamperin, kan,” ujar Tari, agak ragu dengan perkataannya sendiri. “Gue keluar dulu, Fi. Jangan lapor Kak Ari, ya....” Bibir Fio menggerakkan kata semangat, Tar! tanpa mengeluarkan suara, yang disambut anggukan tipis oleh sahabatnya. Begitu Tari sampai di luar kelas, Ridho langsung menggenggam tangannya. “Ada apa, Kak?” Namun Ridho tidak menjawab. Ia terus berjalan menuju lantai tiga dalam bungkam. Tari was-was. Sepuluh menit lagi jam pulang sekolah. Mana bisa ia lama-lama ijin keluar kelas, kan. Makanya Tari agak sedikit meronta, menuntu penjelasan. Begitu sampai di tangga teratas, Ridho berbisik pelan. “Apapun yang akan terjadi nanti... Sebaiknya lo nurut aja, Tar. Oke?” Sebelum Tari sempat menyerukan pertanyaan lagi, Ridho telah menyeretnya masuk ke sebuah ruang kosong. Disana... Ata sudah bersiap. “Yuk, Tar. Duduk disini.” Suara Ata terdengar sangat manis, bahkan hingga menyunggingkan senyum. Namun matanya tidak berkata demikian. Tari bersiap untuk lari dari situ, namun genggaman Ridho yang semakin kencang menahannya.
“Lepasin, Kak!” Tari meronta hebat. Percuma saja. Badan Ridho yang lebih besar darinya, serta hukum alam yang dengan jelas menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kekuatan fisik yang lebih dibandingkan perempuan, membuat sampai kapanpun Tari meronta, dirinya tidak akan berhasil lepas dari cengkraman Ridho. Ata hanya tertawa geli. “Emangnya mau diapain sih, Tar?” tanyanya dengan polos. Wajahnya hanya berjarak lima centi dari wajah Tari. “Gue mau ngajak kembaran gue main. Yah... katakanlah untuk mengakrabkan diri. Tapi lo harus diem dulu disini, oke? Dijagain sama Ridho, kok.” “Kakak mau ngapain?!” “Mau maiiin!” Ata menjawabnya dengan seruan kesal, seakan-akan Tari nggak mengerti definisi “main” itu seperti apa. Tari menatap Ridho, menuntut penjelasan. Cowok itu hanya menyiratkan pandangan nurut aja. Ketika akhirnya tidak ada satupun dari kedua cowok ini yang mau memberikan penjelasan lebih, Tari menyerah. Ia berhenti meronta. Menepuk-nepuk pipi gadis itu pelan. “Pinteeeer.” Ridho menuntun Tari untuk duduk di kurso yang telah ditunjuk oleh Ata sebelumnya. Kemudian, dikeluarkannya tali untuk mengikat tangan dan kaki cewek itu. Tari sempat akan berseru protes, namun sekali lagi dilihatnya sorot mata Ridho yang penuh peringatan. Makanya Tari bungkam, urung menyuarakan aksi protesnya. Namun penjelasan itu datang dari mulut Ata. “Sori, Tar. Lo harus diiket dulu. Biar gue sama kembaran gue mainnya lebih konsen aja, sih. Tapi tenaaang, lo tetep bisa nonton permainan kami. Dari sini.”
Ata menepuk bahu Ridho sebagai ucapan terima kasih, sebelum akhirnya berjalan keluar. “Kak Ata!” Seru Tari keras. Langkah Ata terhenti. Ditatapnya Tari dengan menaikkan sebelah alis. “Mau sampe kapan Kakak bersikap begini?” Senyum di wajah Ata menghilang, digantikan dengan kelam yang pekat. “Kakak pasti capek...” Tari mendesah pelan. Ata menendang pintu di sampingnya, membuat Tari terlonjak. “Itu bukan urusan lo!” * Bel pulang sekolah. Ari dan Oji melangkah gontai meninggalkan kelasnya menuju kelas X-9. Dalam perjalanannya, sekilas Ari memandangi saudara kembarnya yang sedang berdiri di tengah lapangan. “Kak Ari!” Fio menghampirinya dengan suara panik. Gadis itu menenteng dua tas, miliknya dan... milik Tari! “Tari mana, Fio?!” Tanya Ari panik. Fio sendiri juga panik, namun tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya dengan tepat. Sepuluh menit sebelum bel pulang berbunyi, Tari dijemput oleh Ridho. Dan tidak kembali sampai sekarang. Fio panik, namuan tidak berani langsung mengabari Ari karena dicegah oleh sahabatnya. Ari menggeram, “Sial!” Cowok itu tahu ia sedang berurusan dengan siapa. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia langsung berjalan menuju lapangan basket, tempat saudara kembarnya sudah menunggu. “Woy, Ri! Lama banget!”
Ata menyapanya dengan ramah, bahkan merangkulnya. Namun Ari hanya diam saja, tidak membalas rangkulan tersebut. “Yuk!” Ari menatap Ata dengan pandangan bertanya. Ajakan untuk apa? Melihat kembarannya hanya mematung, Ata jadi nggak sabaran. Dipantulkannya bola basket yang sedang ia pegang secara asal, membuat kerumunan yang mengelilingi mereka berlarian menghindari bola nyasar. “Ck! Setau gue lo pinter. Kenapa sekarang jadi lemot gini? Oh... Jangan bilang gara-gara cewek!” Ata berseru dramatis. “Tari bikin adik gue lemah!” “Mau lo apa, Ta?!” Ari akhirnya angkat suara, nggak tahan karena Ata telah menyebutkan kartu As nya. Tari! Keduanya adu tatap, lama. Pemandangan itu membekukan segalanya, termasuk Oji dan Fio yang baru bergabung dengan penonton lainnya. Tidak ada kembar yang benar-benar beda. “Mau gue?!” Ata balik berseru keras. Emosinya sedang sangat membuncah. “Mau gue... Kita tanding!” Bola basket yang tadi dilemparnya secara asal sudah kembali. “Simpel aja. Basket. Nggak pake batasan waktu. Nggak pake istirahat. Kita bersenang-senang, Ri... Sampe salah satu tumbang!” Ata berteriak kalap. “Tumbang! Dan lo harus menyerah terhadap semuanya!” Bagaimana mungkin Ari tidak bersedih karena melihat kekalapan saudaranya? Tentu saja Ari sedih! Apalagi Ata menatapnya dengan pandangan benci yang sangat kental.
“Lo harus menyerah terhadap semua kejayaan yang udah lo toreh disini. Dan juga... Lo harus menyerah atas Tari!” Satu nama itu, lagi-lagi membuat Ari langsung sigap. Segera ia berusaha merebut bola dari tangan Ata. Tanpa aba-aba, pertandingan mereka dimulai. Apa yang berada di tengah lapangan saat ini adalah fenomena lain yang dimiliki oleh SMA Airlangga. Dua matahari yang – anggapan awalnya – saling bertolak belakang dalam segala hal. Ari yang pemberontak. Ata yang pendiam. Ari yang usil. Ata yang rajin. Ari yang kejam. Ata yang ramah. Namun sekarang... keduanya melebur! Ata dan Ari... sejenis. Keduanya adalah benda dan bayangan yang serupa. Yang bahkan tidak bisa dibedakan lagi, mana Ata dan mana Ari. Karena keduanya telah menjelma menjadi dua orang yang sangat identik dalam segala hal! “Apa harus begini, Ta?” tanya Ari tajam saat sedang berada di depan Ata, menghalangi jalan kembarannya untuk memasukkan bola. Ata hanya menyeringai sinis dan secara tak terduga membuat tembakan three point. “Harus!” Siaaal! “Tari dimana?!” Sebagai jawabannya, Ata hanya menatap pada satu titik di lantai tiga gedung barat. Tempat dimana saat ini Tari sedang duduk manis menatap pertandingan di bawah... bersama Ridho! * Tari melihatnya. Disana, dua orang yang serupa saling memperebutkan sebuah bola.
Tari juga mendengarnya, pekikan serta seruan menyemangati untuk kedua orang itu. Suasana yang sangat kontras dengan apa yang terjadi disini, di tempat ia dan Ridho berada. “Gue nggak tau harus ngelakuin apalagi, Tar...” ucap Ridho frustasi. Tari mengerti. Ridho telah menceritakan segalanya sejak Ata meninggalkan mereka berdua setengah jam yang lalu. Kisah lengkap tentang pencarian kedua kembar tersebut agar bisa berdamai dengan kenangan masalalu. Baik Ata maupun Ari... keduanya memilih menempuh jalan yang paling terjal dan menyakitkan. Baik Ata maupun Ari... keduanya memilih untuk saling menjelma menjadi satu dengan yang lainnya. Yang sempurna membentengi hati, namun ternyata sangat rapuh bila disentuh! “Tapi mereka harus segera dihentikan, Kak...” Tari mendesah pelan. “Bukan cuma demi Kak Ari, tapi juga Kak Ata.” Ridho tahu, sangat tahu. Sebelum keduanya sangat kelelahan, semuanya harus dihentikan. Terutama Ata. “Kak Ridho bisa pergi ke bawah, kalo Kakak mau. Biar saya yang nemenin Tari.” Gita telah berdiri di ujung tangga. Sontak keduanya terkejut. Namun Ridho... ia langsung menghalangi Tari dari pandangan. “Gue nggak minta bantuan lo. Turun!” “Saya cuma mau membantu, Kak –“ “Tapi gue nggak butuh bantuan lo!” seru cowok itu murka. “Menurut lo, gue harus percaya gitu aja sama sepupunya Angga? Musuh Ari? Musuh Airlangga? Jangan mimpi!”
“Bukannya Kakak juga sedang akrab dengan Brawijaya?” Gita menyerang balik. “Bukannya Kakak temannya Kak Ata? Bukannya mereka berdua sekarang lagi bersatu?” Ridho tercengang dengan serangan balik itu. Ia merasa mati langkah! “Saya bukannya nggak tau apa yang jadi motif Kak Ata sekarang ini,” Gita mendekati posisi Ridho dan Tari secara perlahan. “Saya... tulus ingin membantu. Setidaknya supaya saya nggak ngerasa bersalah banget karena kejadian dulu.” Tari sudah mengerti. Hanya Ridho yang belum mampu memercayai orang baru. Maka, dibantunya Ridho untuk mengerti. “Kak Ridho pergi aja,” pinta Tari dengan halus. “Saya percaya sama Gita.” “Tapi, Tar...” “Yang penting sekarang, Kak Ridho harus menyelamatkan mereka.” Tari mengedikkan pandangannya ke arah lapangan, dimana pertandingan semakin panas. Ridho mendesah. Sebentuk makian keluar dari mulutnya. Akhirnya, dengan menekan perasaan tidak percayanya hingga ke dasar, Ridho pergi. Menitipkan Tari pada sepupu Angga untuk diawasi. Sementara dirinya melakukan penyelamatan di tempat lain. Menyelamatkan kedua matahari yang saat ini sedang mempertaruhkan kredibilitas masing-masing di SMA Airlangga. * SMS dari Ridho membuat Oji sewot. “Apaan, Kak?” Tanya Fio penasaran. Sebagai gantinya, Oji menyodorkan ponselnya pada Fio sambil merutuk dalam hati. Tari baik2 aja, kok. Gw menuju ke lap. Awasi mrka ber2.
Tanpa perlu Ridho mengirimkan SMS semacam itu, sudah sejak tadi Oji mengawasi pertandingan gila ini! Ata dan Ari terlihat begitu serius bertaruh. Keduanya menampilkan permainan basket yang begitu keras, begitu sadis. Kontak fisik yang berlebihan. Lemparan yang mematikan. Sehingga para siswa yang menonton tidak berani berada terlalu dekat dengan area permainan, takut dengan serangan bola nyasar akibat permainan dua panglima ini! Ata sama sekali tidak membiarkan Ari menembus pertahanannya dengan mudah. Dibuatnya Ari menjadi sangat kelelahan dengan memasang pertahanan serapat mungkin. Tidak dibiarkannya Ari memegang bola terlalu lama, pun mengambil alih dribelan bola basketnya dengan gampang. Tidak akan semudah itu! “Gimana?” Seru Ridho setelah tiba di pinggir lapangan, bergabung dengan Fio dan Oji. Ingin sekali rasanya Oji melayangkan tinju pada orang ini, namun mati-matian ditahan karena kondisi yang tidak memungkinkan. “Kacau.” Hanya itu. Dan memang terlihat sangat kacau. “Kak Ridho, Tari dimana?” Tanya Fio cemas, karena Ridho hanya berjalan sendirian. Ridho menyebutkan lokasi penyekapan Tari, yang tana basa-basi lagi langsung membuat Fio melesat kesana. Keduanya meringis. Pertandingan ini berlangsung selama dua jam lebih tanpa henti, hingga pada akhirnya Ata melemparkan bola basket besar itu ke arah Ari... Dengan sengaja! Tak ayal, Ari yang tenaganya telah terkuras habis langsung limbung dan terlentang di lapangan.
Hanya saja... Tak ada niatan bagi Ari untuk berdiri dan kembali melanjutkan permainan. Ia hanya diam disitu, dengan kedua mata yang dipejamkan untuk mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Oji dan Ridho segera melangkah ke tengah lapangan. Ata menghampiri adiknya, menunduk agar bisa berbicara dengan jelas. “Capek?” tanyanya, namun dengan tidak menyiratkan kekhawatiran sedikitpun. “Brenti aja, ya? Supaya lo bisa menjalani kehidupan yang normal. Yang nggak perlu mengambil tempat gue. Dan gue... juga nggak perlu ngambil tempat lo.” Ari membuka matanya, kaget dengan apa yang ia dengar dari Ata! “Lo pasti nggak tau kemarin Papa ke sekolah. Sengaja nyamperin gue. Katanya, gue nakal. Segini gue dibilang nakal, Ri.” Suara Ata bergetar menahan geram. “Seenaknya aja dia menghakimi gue seperti itu. Padahal gue cuma ngambil apa yang seharusnya juga berhak gue miliki. Salah, Ri?” Namun Ari tidak menjawab. Ia hanya menatap saudara kembarnya dalam diam. Setiap kata itu telah menggores hatinya, bahkan kekuatan otaknya untuk membalas. Hal ini malah membuat Ata geram. “JAWAB GUE, RI!!” Ata berteriak kalap. Ditariknya kerah baju Ari, bmembuat badan cowok itu sedikit terangkat. Ridho dan Oji segera menghampiri keduanya dan melerai. “Cukup, Ta.” Suara lemah itu berasal dari mulut Ridho. Ata yang meronta seketika diam. Ditatapnya Oji yang justru sedang melindungi Ari dengan pandangan tercengang.
“Udah, cukup... Lo nggak bisa melampiaskan semuanya pada Ari. Ari nggak salah apa-apa –“ “NGGAK SALAH?!” Bantahnya murka. “Nggak salah, kata lo?! Setelah semua perlindungan yang gue kasih ke dia?!” “Jadi lo pamrih?! Itu emang kewajiban lo sebagai kakak!” Ata meronta lagi, membuat Oji kewalahan memeganginya. Sementara ia sendiri gemas karena Ari sedari tadi hanya diam, tidak menunjukkan reaksi perlawanan apapun. Mana pernah Oji melihat Ari selemah ini. Mana pernah Oji melihat ekspresi Ari yang seperti ini. Dan Oji nggak suka! Ia sama sekali nggak suka dengan Ari yang nggak bersemangat seperti ini. “BANGUN, RI! Mau sampe kapan lo selemah ini?!” Ari tersentak. Ditepisnya Ridho yang menghalangi pandangannya dari Ata. Sambil berusaha berdiri, dipeganginya bahu saudara kembarnya sebagai penopang. “Lepasin Ata, Ji,” perintahnya dengan suara tak terbantahkan. Kemudian, pandangannya menusuk lurus ke mata Ata. “Maaf, ya? Gue emang adek yang nggak tau diuntung.” Segalanya luruh disana. Ari, dengan sisa-sisa sifat Ata yang menempel pada dirinya, yang selama ini ia lakoni hanya untuk membuatnya merasa masih memiliki ikatan dengan kembarannya tersebut. Di lapangan sekolah sore itu, Ari sempurna menerima kejatuhannya dengan hati ikhlas. Demi Ata. Demi seseorang yang pernah berbagi rahim sang ibu dengan dirinya. Demi segala kesakitan yang pernah harus Ata pikul selama sembilan tahun. Ari berjalan pelan meninggalkan lapangan basket. Ridho sudah akan mengikutinya, namun dengan lunglai ditepis oleh Ari.
“Lo juga... jangan gitu, Dho. Jangan ninggalin abang gue. Jangan coba-coba.” “Nggak lucu, Bos!” Oji meneriaki sahabatnya itu dengan frustasi. “Jangan bercanda! Balik lo! Sebelum gue berubah pikiran –“ “Nggak pa-pa, Ji,” sahut Ari menenangkan. “Lagian gue bukan Bos elo.” Senyum menenangkan dipancarkan oleh Ari lewat tarikan bibirnya. Sejujurnya, senyuman itu lebih untuk menenangkan dirinya sendiri. Kalau untuk kebaikan saudara kembarnya... Tidak mengapa. Ari akan menyerah terhadap segala hal. Terhadap kekuasaan. Terhadap pengaruh dan pertemanannya. Hanya saja, ada satu hal lagi yang harus ia usahakan untuk direlakan. Satu orang yang telah membawanya menemukan jalan terang menuju kedamaian hati. Yang sesuai dengan janjinya pada Ata, orang tersebut pun juga akan Ari tinggalkan. Kesanalah saat ini langkah Ari menuju. Lantai tiga gedung barat SMA Airlangga. * Fio sibuk menenangkan Tari, segera setelah ia tiba di tempat Tari diikat. Karena Gita telah memberitahukan segala yang ia tahu. Terutama tentang niatan Angga. Tentang penyesalan Angga. Tentang mengapa Angga dan Ata berkomplot dan apa tujuannya. Rata-rata memang sudah Tari dengar langsung dari mulut Ridho. Meskipun... mendengarnya dua kali dalam selang waktu yang singkat bukan berarti bisa membuatnya lebih tenang. Skenario terburuk yang mungkin terjadi hari ini adalah... Tari tahu, namun tidak mampu membayangkannya. Meninggalkan Ari dalam
kondisi terpuruk seperti ini bukanlah hal yang baik untuk dilakukan. Tidak setelah Tari berikrar untuk tetap setia mendampingi Ari. Tidak setelah ia bersedia untuk berhenti menangis hanya supaya cowok itu tegar. Supaya cowok itu bisa menghadapi peperangannya dengan gagah berani. Namun... Siapa yang bisa benar-benar bertekuk lutut, jika lawan tangguh di seberang sana justru adalah orang yang ada tubuhnya mengalir darah yang sama dengan dirinya? Derap langkah pelan terdengar sedang menaiki tangga lantai tiga, tempat ketiga cewek itu berada. Derap langkah milik Ari. Yang pada wajahnya terpancar kelelahan yang amat sangat. “Tolong tinggalin kami berdua.” Tanpa harus disuruh dua kali, Fio dan Gita melangkah pelan meinggalkan keduanya. Sementara Ari langsung berdiri di hadapan gadisnya. Terenyuh, Ari melepaskan ikatan yang ada di tangan dan kaki gadis itu dengan sangat hati-hati. “Baik-baik aja, kan? Ikatannya nggak kuat, kok... Nggak ninggalin bekas.” Suara itu... Tari bisa mendengarnya. Suara itu dipaksakan sehingga terdengar terlalu tenang. Padahal, gemuruh hati di dalam sana terdengar tanpa harus disuarakan. Kepada seseorang yang mati-matian meminta penyelamatan padanya, ingin rasanya Tari sekali lagi mengangkat semua beban itu dari hati Ari. Maka, Tari bersiap untuk merangkul Ari. Kepada seseorang yang selama ini selalu ia kejar, kali ini... Ari melakukan penolakan. Ditepisnya rangkulan dari Tari, namun dengan pandangan yang tidak sekalipun menatap wajah Tari.
Kejatuhannya hari ini sempurna. Ari akan merelakan segalanya pergi. Terutama Tari. “Gue...” Ari memulai dengan suara tercekat. “nggak tau, bahaya apalagi yang ada di depan sana.” Ingin rasanya Tari berteriak jangan ngomong apa-apa! Tapi nggak bisa, karena ia pun sedang terpana dengan kejatuhan ini. “Gue cuma mau nyampein dua hal. Tolong didenger baik-baik, ya?” Sambil menatap kedua bola mata Tari – pada akhirnya – Ari melanjutkan, “Makasih. Karena elo pada akhirnya bisa menerima gue dengan sangat baik, setelah apa yang gue lakuin ke elo selama ini. Dan kedua... Maaf,” suara Ari mulai bergetar menahan isakan. “Maaf, karena setelah semua yang terjadi selama ini, gue... Gue menyerah.” Tari menggeleng, tidak percaya dengan apa yang sedang ia dengarkan. Bukan. Bukan seperti ini jalan ceritanya! “Selama yang berdiri di ujung sana adalah Ata, gue... Sampai kapanpun nggak akan sanggup untuk menang,” Ari tertawa pelan, miris. “Lo juga harus menyerah. Setelah ini... Lo bebas. Bebas, Tar.” “Gue udah lama bebas, Kak...” Tari tergugu. “Apa yang gue lakuin untuk lo selama ini ikhlas, bukan –“ Ari menempelkan jarinya di bibir gadis itu, membuatnya seketika diam. Tidak, Ari tidak butuh mendengarkan penjelasan gadis ini lebih banyak lagi. Sebelum hatinya goyah. Sebelum keputusannya berubah. Kedua tangannya menyentuh pipi Tari dengan lembut. Mata Tari terpejam. Bukan seperti ini. Bukan seperti ini akhir yang ia bayangkan harus dijalani oleh Ari! Bukan sikap selemah ini yang Tari bayangkan akan ditempuh oleh Ari! Jika selama ini Ari bisa menempuh jalan terkejam, kenapa sekarang ia tidak melakukan apa-apa?
Yang Tari tidak sadari, justru keputusan ini telah memakan jiwa Ari lebih dahulu. Sakitnya sudah ia rasakan, menancap dengan sangat dalam. Dan hal terakhir yang dapat Ari lakukan tinggal ini. Memangkas habis semuanya, demi kebahagiaan saudara kembarnya. Ari mengecup kening gadis di hadapannya dengan lembut. Lama, seakan perpisahan itu nantinya berlangsung abadi.
Sudah dua jam Ridho merebahkan diri di kasur empuknya, namun tetap saja matanya tak dapat terpejam. Pikirannya masih saja berlarian pada Ata dan Ari.
Fakta yang terkuak dari hasil mendekati Ata ternyata begitu mengejutkan. Jika saat bersama Ari, ia hanya diberitahukan secuil saja informasi mengenai kehidupan masalalunya, mengetahui sepotong kenangan tersebut dari Ata semakin membuatnya memaklumi tingkah kembar tersebut.
Keduanya... hanyalah trauma. Keduanya mencari pelarian dengan caranya masing-masing. Cara yang ternyata sama!
Tiba-tiba saja, Ridho dapat memaklumi segala perbuatan Ata terhadap Ari – apalagi yang melibatkannya. Ata hanya ingin menggapai sebanyak mungkin yang kala itu tak dapat diraihnya. Seperti Ari dulu, yang mengejar Tari karena kesamaan nama dengan kembarannya.
Tidak ada salah yang benar-benar salah disini. Walaupun begitu, segala sakit hati dan perebutan ini haruslah segera diakhiri, sebelum tikamannya terlalu jauh dan malah menutup semua jalan untuk kembali.
*
“Halo, Cantik...”
“Halo, gombal...” balas perempuan di seberang sana sambil terkikik geli. Angga gemas. Ingin rasanya ia mencubit lembut pipi Kirana yang saat ini terlihat di layar komputer. Sayang. Adiknya itu berada pada jarak yang sangat jauh dengan dirinya. Angga menghela napas.
Wajah kalut itu tertangkap oleh penglihatan Kirana. “Kenapa, Kak?”
Angga tahu, gadis itu memang selalu mengerti jika dirinya sedang gundah. Rentang umur yang hanya setahun membuat mereka sangat akrab satu sama lain.
“Kamu disana gimana? Kak Angga... Kangen,” ujarnya sambil menelan ludah, “harusnya kamu nggak perlu ikut Mama, Ki...”
Giliran Kirana yang menegang di kursinya. Kenangan itu... Walau telah lama berlalu, namun sakitnya tidak terlupa. Lebih tepatnya, rasa tidak percaya bahwa orang yang selama ini ia anggap baik bisa bertingkah segitu kejamnya.
“Udah berlalu, Kak...” sahut Kirana, menenangkan, “lagian aku bahagia, kok, disini. Ap –“
“Tapi yang terbayang di kepala Kakak bukan raut kebahagiaannya kamu!” potong Angga kesal, napasnya memburu. Kirana terkejut.
“Bahkan tanpa surat itu dirobek pun... Harusnya aku yang tau diri.” Pada wajah gadis itu tercetak senyuman pasrah. Suaranya bergetar, namun dalam keadaan terkontrol. Seakan apa yang terjadi di masalalu memang kesalahannya, yang menganggap besar sebuah kejadian kecil.
*
Kirana berjalan tergesa-gesa. Karena toilet penuh, ia jadi terlambat masuk ke kelas. Padahal hari ini ada ulangan matematika! Sedikit saja ia terlambat berdampak sangat besar dalam menyelesaikan soal rumit tersebut.
Namun, ketergesa-gesaannya itu malah membuat langkahnya goyah dan... tek! Kakinya masuk ke selokan. Kirana terduduk, mengaduh kesakitan. Untung saja sepi, kalo nggak dia bisa malu!
“Yah... telat!” suara seorang cowok terdengar di belakangnya. Wajah cowok itu menyiratkan perasaan menyesal. “Tadinya mau ngingetin kalo jalan lo tuh terlalu pinggir, eh keburu jatuh. Maaf, ya.”
Cowok itu mengulurkan tangannya. Dengan wajah memerah dan terkesima, perlahan Kirana membalas uluran tangan cowok tersebut. “Makasih...” cicitnya pelan.
“Buru-buru sih boleh, tapi jalanan juga harus diliat,” ujar cowok itu menasehati. “Yuk, gue anter sampe ke kelas!”
“Eh!” Kirana langsung gelagapan. “Enggg.. Nggak usah, Kak. Saya bisa jalan sendiri.”
“Gitu? Lo kelas berapa?”
“Delapan satu, Kak. Duh...” Kirana melirik jam tangannya, cemas. “Maaf, Kak. Saya buru-buru. Ulangan, nih. Sama Bu Ambar. Per –“
Namun, cowok itu malah menarik tangannya dengan kelembutan yang tak terbantahkan, memapah Kirana menuju kelasnya. “Jangan bandel, biar gue anter. Biar lo dapet tambahan waktu juga.”
“Mana mungkin! Aduh.. Saya –“
Kirana malu. Takut seisi kelasnya akan heboh. Karena cowok yang sedang memapahnya ini bukanlah cowok biasa. Namun, lagi-lagi perkataannya dipotong.
“Jelas bisa, dong! Percaya deh sama gue. Karena gue... Matahari Senja!”
Semudah itu. Ari menolongnya, dan membuatnya dapat waktu ekstra untuk mengerjakan soal ulangan. Membuat teman-temannya histeris karena keberuntungannya. Sejak hari itu, Kirana selalu mengamati sosok Matahari Senja. Walau dalam setiap senyum malu-malu yang dilontarkannya ketika mereka berpapasan, Ari tidak melihatnya sama sekali. Walau Kirana selalu mengambil tempat duduk terdekat dengannya saat di kantin, cowok itu tidak menghiraukannya. Walau dalam setiap pertandingan basket di waktu senggang selalu Kirana tonton, Ari tetap tidak melihatnya.
Namun, selama bisa melihat sosok Matahari Senja, nggak masalah. Kirana nggak keberatan.
Sampai suatu ketika, gadis itu memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.
Kirana memekik senang karena Dewi Fortuna sedang berpihak padanya. Dilihatnya keberadaan Ari tak jauh dari gerbang sekolah. Setelah berkali-kali memotivasi dirinya untuk berani, akhirnya gadis itu melangkah pelan menuju Ari. Namun, saat dilihatnya Ari akan beranjak pergi, mau tak mau Kirana mencegahnya dengan berseru, “Kak!”
Cowok itu lantas menoleh, kemudian menghentikan langkahnya. Dengan muka memerah karena bersemangat, Kirana akhirnya sampai di depan pujaannya.
“Ya?”
Dag... dig... dug... “Sebelumnya… sebelumnya… saya mau berterima kasih atas bantuan Kakak sebulan yang lalu. Kakak mungkin nggak ingat. Tapi… tapi saya selalu ingat Kakak…” Kirana tidak sempat memerhatikan ekspresi cowok di hadapannya. Matanya tertuju ke sepatunya sendiri, dimana sebelah kakinya terlihat lebih pendek daripada yang satunya. “… dan ini… ini buat Kakak.”
Disodorkannya sebuah surat yang ia tulis semalaman suntuk, seraya memberanikan diri menatap mata pujaannya itu. Namun, ekspresi yang terpancar disana bukanlah keramahan yang sama seperti yang ia lihat satu bulan lalu.
Orang di hadapannya saat ini memancarkan ekspresi murka yang sangat hebat, sangat menakutkan! Kebengisan wajah itu semakin terpampang nyata saat ia merobek dengan brutal amplop pemberian Kirana – bahkan tanpa sekalipun membuka amplop tersebut! Lalu ia
pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun, tanpa memerdulikan Kirana yang hatinya juga terkoyak seperti kertas-kertas itu.
Kirana curhat habis-habisan pada Angga. Tentang Ari. Tentang penolakannya bahkan sebelum melihat apa yang tertulis disana. Kirana bahkan sampai malu datang ke sekolah, takut melihat wajah murka cowok itu. Kirana tidak ingin bersekolah lagi.
*
Kini, Kirana bisa mengikhlaskannya. Walau hatinya berdenyut setiap kali membandingkan kekontrasan sikap Ari saat menolongnya dengan Ari yang menolaknya, seiring berjalannya waktu, gadis itu sadar bahwa memang dirinya yang salah, melambungkan perasaan begitu tinggi.
Namun Angga tetap tidak bisa menerimanya. Tangisan itu... Kesakitan itu... Ternyata bukan Ari! Ternyata memang Ata pelakunya. Cerita keduanya cocok!
“Ki...” suara Angga bergetar menahan amarah, “Akan Kak Angga balas semua perlakuan kasar itu. Kak Angga akan bikin dia membayar semua kesalahannya!”
Kirana menggeleng, letih. “Buat apa sih, Kak? Aku juga udah nggak kenapa-napa, kok. Kak Angga juga harus ikhlas, ya...”
Nggak akan! Sampe kapanpun gue nggak akan bisa ikhlas!!
*
Guru-guru merasa, kedatangan Ata benar-benar memberikan dampak positif bagi Ari. Sudah seminggu terakhir, Ari selalu berada di sekolah: tidak pernah membolos, pakaiannya selalu rapi, dan juga tidak membuat onar! Ari bahkan mendengarkan pelajaran dengan tekun. Rajin datang pendalaman materi. Duduk manis di kelas, mengacungkan tangan jika ada hal yang tidak ia mngerti terkait dengan pelajaran!
Terang saja. Ari mampu mengontrol emosinya dengan baik, sehingga air mukanya tidak mencerminkan kekalutan hatinya yang sebenarnya.
Walaupun, jika dipikir-pikir lagi... Begini lebih baik.
Perlahan, Ari kembali dengan sifat aslinya. Ari yang sekarang lebih ramah – walau hanya ditunjukkan pada teman-teman sekelasnya dan juga para penjual di kantin. Bahkan pelecehan demi pelecehan yang dilakukan oleh beberapa siswa akibat kejatuhannya tidak lagi ia tanggapi dengan serius.
Biarlah. Ata sudah membuktikan kehebatannya, membuat Brawijaya bersedia melakukan gencatan senjata. Apapun alasan yang
menyertainya, Ari sudah tidak peduli. Ia siap melepas segala kekuasaannya di SMA Airlangga.
Bahkan ketika dilihatnya Ridho sedang berjalan beriringan dengan saudara kembarnya tersebut, emosi Ari tidak lagi tersulut. Biarlah... Toh, saudara kembarnya juga berhak mendapatkan teman yang baik. Ari percaya, kehadiran Ridho di samping Ata setidaknya akan membuat kembarannya punya kekuatan lebih untuk mengontrol Airlangga. Dan lagi, Ridho paling jago dalam menenangkan Ari. Pasti, Ridho juga akan menjalankan perannya sebagai teman juga sebagai perisai dengan sempurna.
Dari ujung tangga, Ari menatap pada satu titik. Kelas X-9. Tempat dimana gadisnya berada.
Untuk saat ini... Ia hanya akan menyimpan tenaganya untuk melindungi gadis itu. Silakan saja jika ada serangan yang ditujukan untuk dirinya... asal jangan Tari! Sudah cukup Tari menderita hanya untuk menopang jiwa Ari yang rapuh.
Dari kejauhan, Ari dapat melihat sebentuk senyum milik Tari yang dilemparkan untuk dirinya. Ari membalas senyuman itu. Demi untuk menjaga senyuman itu... Sudah saatnya Ari berbalas budi. Akan dibuatnya gadis itu tersenyum setiap hari, bagaimanapun caranya.
Ari memejamkan matanya sesaat, berdoa. Berharap kali ini akan berjalan lancar. Kemudian, ia melangkah menghampiri kelas Tari dengan langkah seringan kapas.
*
Siapapun dapat melihat bahwa hari ini, mendung menyelimuti wajah Ata. Tidak ada senyum ramah seperti yang biasa ia pasang di wajahnya. Yang ada hanyalah wajah kesal. Bete. Mood Ata masih memburuk pasca dua kejadian kemarin: kehadiran Papa dan kenangan tentang Gadis Pincang.
Gita, yang akhir-akhir ini sangat berinisiatif membayangi Ata kemanapun cowok itu pergi, menangkap keganjilan sikap ‘pacarnya’ dengan bingung. Apalagi seharian ini Ata hanya diam, tidak menggodanya seperti biasa.
“Kak Ata sakit? Nggak enak badan?” tanya gadis itu cemas, yang hanya dijawab dengan gelengan pelan. Gita makin bingung. Ia paling tidak suka menghadapi orang yang hanya diam dengan muka ditekuk. Keterdiaman yang justru lebih mengerikan.
Tiba-tiba raut wajah Ata menegang sambil memandang ke satu titik. Setelah ditelusuri, ternyata pandangan itu jatuh pada kembarannya yang sedang tertawa lepas dengan Tari. Tawa itu adalah paling lepas yang pernah Gita lihat ada pada Ari setelah semua kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini.
Namun, apa yang terpancar di wajah Ata sungguh berkebalikan dengan saudara kembarnya. Pada wajahnya tergambar kemuakan yang begitu nyata!
“Gue...” desis Ata pelan, “bukan Ari.”
Gita terdiam mendengar pernyataan tersebut.
“Gue.. selamanya bukan Ari. Gue Ata!” Ditatapnya mata Gita tepat di manik mata. “Lo tau itu, kan?! Lo sadar itu, kan?!”
Gita tersenyum maklum. Ia mengerti. Lelaki di hadapannya ini sedang mengalami pergolakan hati yang hebat.
“Yang sekarang ada di depan saya... memang Kak Ata. Tapi bukan yang di depan teman-teman satu sekolah.”
Kalimat itu begitu sederhana, namun maksudnya terpampang jelas. Ata melotot pada gadis yang duduk di sampingnya.
“Lo... berani-beraninya!”
“Berani-beraninya berkata benar?” tukas gadis itu, tandas. Wajahnya masih menyampirkan senyum penuh pengertian. “Kak Ata... Rileks aja. Jangan ada yang dipendam. Bahkan tentara paling tangguh sekalipun punya beban di hatinya yang –“
“DIAM!”
Pembicaraan itu, yang tadinya berlangsung sangat pelan sehingga tidak ada orang yang menyadari, akhirnya turut menjadi perhatian publik karena bentakan Ata terhadap gadisnya. Gita lantas terkejut, begitu juga yang lain.
Ata, yang selama ini terkenal dengan keramahannya, berani membentak cewek yang diakuinya sebagai pacar?
“Lo, orang baru,” desisnya, “jangan pernah sok tau!”
Kemudian Ata melenggang pergi dengan muka yang semakin ditekuk.
Saat itu, Gita – dan juga seluruh siswa yang mendengar bentakan tersebut – belum benar-benar menyadari apa yang sesungguhnya sedang mereka lihat.
*
Ari sedang tertawa geli, sangat geli. Gadis yang duduk di sampingnya saat ini sedang gila!
Tari dengan menggebu-gebu sedang bercerita tentang kejadian seru di kelas biologi hari ini: praktek membuat tape. Dimana teman-temannya begitu antusias menghadapi hari ini. Saking antusiasnya, beberapa di antara mereka membawa bahan makanan lain yang tidak disuruh: roti, lemang, surabi, bahkan ada yang bawa rujak! Jadilah kelas biologi dengan Bu Ida tadi sebagai kelas makan-makan.
“Kehidupan SMA tuh semenyenangkan itu ternyataaaa!”
“Trus lo bawa apaan?”
Tari merendahkan suaranya. “Bawa bento bikinan Mama, sih. Tapi nggak mau bagi-bagi sama mereka, ah. Napsu makannya pada anarkis semua!”
“Pelit!” Ari mengacak lembut rambut Tari yang hari ini dikucir rapi, membuat gadis itu sewot. “Aaaa jadi berantakan!”
Sungguh, pemandangan keduanya yang nampak akur membuat takjub semua mata yang memandang. Terutama ekspresi Ari.... Ekspresi yang sebelumnya tidak pernah ia pancarkan terang-terangan di depan umum, atau di tempat yang Oji dan Ridho tidak ada disana. Membuat para junior merasa, Ari tuh sebenarnya senior yang seru. Yang nggak galak. Yang enak banget untuk diajak ngobrol.
Seperti sekarang ini!
*
Ada sepasang mata lain yang mengamati pasangan paling fenomenal di SMA Airlangga itu. Sepasang mata itu turut menyunggingkan senyum kebahagiaan, sekaligus kerinduan. Rindu untuk ngegodain, rindu untuk juga ikut tertawa bersama.
Namun tugasnya belum selesai. Bahkan, saat ini ia merasa memiliki kewajiban untuk menjaga hati yang satunya lagi. Yang masih terlalu rapuh untuk ditinggalkan sendiri.
“Ngapain lo ngintip-ngintip? Samperin dong.”
Ridho menoleh ke belakang. Oji memergokinya! Dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan, ditinggalkannya Oji tanpa sepatah katapun.
*
Ata tersenyum lebar. Wajahnya terlihat sangat sumringah. Belum pernah ia merasa mendapatkan ide secemerlang ini sejak kasus penurunan tahta Ari. Kali ini, ia akan melakukannya dengan idenya sendiri, tanpa pasokan ide dari orang lain!
Kali ini, akan dibuatnya Ari memilih. Kali ini, akan dipaksanya Ari berlutut kelelahan. Kali ini, Ata akan memenangkan seluruhnya dengan sempurna!
Dho, yuk cari sensasi lg. Plg seklh. Lap basket.
*
Mood Tari hari ini sedang sangat bagus. Gangguan-gangguan untuk dirinya dan Ari sudah berkurang, begitu juga dengan pandangan sinis merendahkan yang mereka terima. Apalagi kondisi Ari semakin membaik, semakin terbuka. Ari... telah melepas topengnya.
Inilah sumber kelegaan terbesar Tari, yang membuatnya sangat mensyukuri kejadian akhir-akhir ini. Kesakitan panjang itu akhirnya berujung pada kebaikan kondisi sang pentolan sekolah sendiri.
Runtuhnya kekuasaan Ari membuatnya ikut meruntuhkan segala topeng yang ia pasang, topeng menduplikasi Ata. Jelas saja hal itu sudah tidak perlu dilakukan lagi.
Karena sekarang, Ata telah hadir, mengambil posisinya sendiri.
Dengan kehadiran Ata, Ari tidak harus membawa bayang-bayang Ata dalam dirinya. Tidak harus membuat dirinya setegar batu karang. Ari bisa bersikap biasa saja. Meskipun... Kedatangan Ata bukan berarti kabar baik bagi episode kehidupannya.
Namun setidaknya, Ata telah kembali.
Berbekal kenyamanan hatinya mengenai kondisi Ari, tiba-tiba Tari merasa kalau pelajaran kimia ternyata tidak serumit yang biasanya.
Tidak, sebelum Tari melihat sosok Ridho di luar kelasnya. Cowok itu mengedikkan kepalanya, mengisyaratkan Tari untuk keluar menghampirinya.
“Ngapain, ya?” tanya Fio ingin tahu. Tari hanya mengangkat bahu, tidak tahu. “Mukanya serem gitu, Tar.”
“Makanya harus disamperin, kan,” ujar Tari, agak ragu dengan perkataannya sendiri. “Gue keluar dulu, Fi. Jangan lapor Kak Ari, ya....”
Bibir Fio menggerakkan kata semangat, Tar! tanpa mengeluarkan suara, yang disambut anggukan tipis oleh sahabatnya. Begitu Tari sampai di luar kelas, Ridho langsung menggenggam tangannya.
“Ada apa, Kak?”
Namun Ridho tidak menjawab. Ia terus berjalan menuju lantai tiga dalam bungkam. Tari was-was. Sepuluh menit lagi jam pulang sekolah. Mana bisa ia lama-lama ijin keluar kelas, kan.
Makanya Tari agak sedikit meronta, menuntu penjelasan. Begitu sampai di tangga teratas, Ridho berbisik pelan.
“Apapun yang akan terjadi nanti... Sebaiknya lo nurut aja, Tar. Oke?”
Sebelum Tari sempat menyerukan pertanyaan lagi, Ridho telah menyeretnya masuk ke sebuah ruang kosong. Disana... Ata sudah bersiap.
“Yuk, Tar. Duduk disini.”
Suara Ata terdengar sangat manis, bahkan hingga menyunggingkan senyum. Namun matanya tidak berkata demikian. Tari bersiap untuk lari dari situ, namun genggaman Ridho yang semakin kencang menahannya.
“Lepasin, Kak!” Tari meronta hebat. Percuma saja. Badan Ridho yang lebih besar darinya, serta hukum alam yang dengan jelas menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kekuatan fisik yang lebih
dibandingkan perempuan, membuat sampai kapanpun Tari meronta, dirinya tidak akan berhasil lepas dari cengkraman Ridho.
Ata hanya tertawa geli.
“Emangnya mau diapain sih, Tar?” tanyanya dengan polos. Wajahnya hanya berjarak lima centi dari wajah Tari. “Gue mau ngajak kembaran gue main. Yah... katakanlah untuk mengakrabkan diri. Tapi lo harus diem dulu disini, oke? Dijagain sama Ridho, kok.”
“Kakak mau ngapain?!”
“Mau maiiin!” Ata menjawabnya dengan seruan kesal, seakan-akan Tari nggak mengerti definisi “main” itu seperti apa. Tari menatap Ridho, menuntut penjelasan. Cowok itu hanya menyiratkan pandangan nurut aja.
Ketika akhirnya tidak ada satupun dari kedua cowok ini yang mau memberikan penjelasan lebih, Tari menyerah. Ia berhenti meronta. Menepuk-nepuk pipi gadis itu pelan. “Pinteeeer.”
Ridho menuntun Tari untuk duduk di kurso yang telah ditunjuk oleh Ata sebelumnya. Kemudian, dikeluarkannya tali untuk mengikat tangan dan kaki cewek itu.
Tari sempat akan berseru protes, namun sekali lagi dilihatnya sorot mata Ridho yang penuh peringatan. Makanya Tari bungkam, urung menyuarakan aksi protesnya.
Namun penjelasan itu datang dari mulut Ata.
“Sori, Tar. Lo harus diiket dulu. Biar gue sama kembaran gue mainnya lebih konsen aja, sih. Tapi tenaaang, lo tetep bisa nonton permainan kami. Dari sini.”
Ata menepuk bahu Ridho sebagai ucapan terima kasih, sebelum akhirnya berjalan keluar.
“Kak Ata!” Seru Tari keras. Langkah Ata terhenti. Ditatapnya Tari dengan menaikkan sebelah alis. “Mau sampe kapan Kakak bersikap begini?”
Senyum di wajah Ata menghilang, digantikan dengan kelam yang pekat.
“Kakak pasti capek...” Tari mendesah pelan.
Ata menendang pintu di sampingnya, membuat Tari terlonjak. “Itu bukan urusan lo!”
*
Bel pulang sekolah. Ari dan Oji melangkah gontai meninggalkan kelasnya menuju kelas X-9. Dalam perjalanannya, sekilas Ari memandangi saudara kembarnya yang sedang berdiri di tengah lapangan.
“Kak Ari!”
Fio menghampirinya dengan suara panik. Gadis itu menenteng dua tas, miliknya dan... milik Tari!
“Tari mana, Fio?!” Tanya Ari panik. Fio sendiri juga panik, namun tidak tahu bagaimana cara menyampaikannya dengan tepat.
Sepuluh menit sebelum bel pulang berbunyi, Tari dijemput oleh Ridho. Dan tidak kembali sampai sekarang. Fio panik, namuan tidak berani langsung mengabari Ari karena dicegah oleh sahabatnya. Ari menggeram, “Sial!”
Cowok itu tahu ia sedang berurusan dengan siapa. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia langsung berjalan menuju lapangan basket, tempat saudara kembarnya sudah menunggu.
“Woy, Ri! Lama banget!”
Ata menyapanya dengan ramah, bahkan merangkulnya. Namun Ari hanya diam saja, tidak membalas rangkulan tersebut.
“Yuk!”
Ari menatap Ata dengan pandangan bertanya. Ajakan untuk apa?
Melihat kembarannya hanya mematung, Ata jadi nggak sabaran. Dipantulkannya bola basket yang sedang ia pegang secara asal, membuat kerumunan yang mengelilingi mereka berlarian menghindari bola nyasar.
“Ck! Setau gue lo pinter. Kenapa sekarang jadi lemot gini? Oh... Jangan bilang gara-gara cewek!” Ata berseru dramatis. “Tari bikin adik gue lemah!”
“Mau lo apa, Ta?!” Ari akhirnya angkat suara, nggak tahan karena Ata telah menyebutkan kartu As nya. Tari!
Keduanya adu tatap, lama. Pemandangan itu membekukan segalanya, termasuk Oji dan Fio yang baru bergabung dengan penonton lainnya.
Tidak ada kembar yang benar-benar beda.
“Mau gue?!” Ata balik berseru keras. Emosinya sedang sangat membuncah. “Mau gue... Kita tanding!”
Bola basket yang tadi dilemparnya secara asal sudah kembali.
“Simpel aja. Basket. Nggak pake batasan waktu. Nggak pake istirahat. Kita bersenang-senang, Ri... Sampe salah satu tumbang!”
Ata berteriak kalap. “Tumbang! Dan lo harus menyerah terhadap semuanya!”
Bagaimana mungkin Ari tidak bersedih karena melihat kekalapan saudaranya? Tentu saja Ari sedih! Apalagi Ata menatapnya dengan pandangan benci yang sangat kental.
“Lo harus menyerah terhadap semua kejayaan yang udah lo toreh disini. Dan juga... Lo harus menyerah atas Tari!”
Satu nama itu, lagi-lagi membuat Ari langsung sigap. Segera ia berusaha merebut bola dari tangan Ata. Tanpa aba-aba, pertandingan mereka dimulai.
Apa yang berada di tengah lapangan saat ini adalah fenomena lain yang dimiliki oleh SMA Airlangga. Dua matahari yang – anggapan awalnya – saling bertolak belakang dalam segala hal. Ari yang pemberontak. Ata yang pendiam. Ari yang usil. Ata yang rajin. Ari yang kejam. Ata yang ramah.
Namun sekarang... keduanya melebur!
Ata dan Ari... sejenis. Keduanya adalah benda dan bayangan yang serupa. Yang bahkan tidak bisa dibedakan lagi, mana Ata dan mana Ari. Karena keduanya telah menjelma menjadi dua orang yang sangat identik dalam segala hal!
“Apa harus begini, Ta?” tanya Ari tajam saat sedang berada di depan Ata, menghalangi jalan kembarannya untuk memasukkan bola. Ata hanya menyeringai sinis dan secara tak terduga membuat tembakan three point.
“Harus!”
Siaaal!
“Tari dimana?!”
Sebagai jawabannya, Ata hanya menatap pada satu titik di lantai tiga gedung barat. Tempat dimana saat ini Tari sedang duduk manis menatap pertandingan di bawah... bersama Ridho!
*
Tari melihatnya. Disana, dua orang yang serupa saling memperebutkan sebuah bola.
Tari juga mendengarnya, pekikan serta seruan menyemangati untuk kedua orang itu.
Suasana yang sangat kontras dengan apa yang terjadi disini, di tempat ia dan Ridho berada.
“Gue nggak tau harus ngelakuin apalagi, Tar...” ucap Ridho frustasi.
Tari mengerti. Ridho telah menceritakan segalanya sejak Ata meninggalkan mereka berdua setengah jam yang lalu. Kisah lengkap tentang pencarian kedua kembar tersebut agar bisa berdamai dengan kenangan masalalu.
Baik Ata maupun Ari... keduanya memilih menempuh jalan yang paling terjal dan menyakitkan. Baik Ata maupun Ari... keduanya memilih untuk saling menjelma menjadi satu dengan yang lainnya. Yang sempurna membentengi hati, namun ternyata sangat rapuh bila disentuh!
“Tapi mereka harus segera dihentikan, Kak...” Tari mendesah pelan. “Bukan cuma demi Kak Ari, tapi juga Kak Ata.”
Ridho tahu, sangat tahu. Sebelum keduanya sangat kelelahan, semuanya harus dihentikan. Terutama Ata.
“Kak Ridho bisa pergi ke bawah, kalo Kakak mau. Biar saya yang nemenin Tari.”
Gita telah berdiri di ujung tangga. Sontak keduanya terkejut. Namun Ridho... ia langsung menghalangi Tari dari pandangan.
“Gue nggak minta bantuan lo. Turun!”
“Saya cuma mau membantu, Kak –“
“Tapi gue nggak butuh bantuan lo!” seru cowok itu murka. “Menurut lo, gue harus percaya gitu aja sama sepupunya Angga? Musuh Ari? Musuh Airlangga? Jangan mimpi!”
“Bukannya Kakak juga sedang akrab dengan Brawijaya?” Gita menyerang balik. “Bukannya Kakak temannya Kak Ata? Bukannya mereka berdua sekarang lagi bersatu?”
Ridho tercengang dengan serangan balik itu. Ia merasa mati langkah!
“Saya bukannya nggak tau apa yang jadi motif Kak Ata sekarang ini,” Gita mendekati posisi Ridho dan Tari secara perlahan. “Saya... tulus ingin membantu. Setidaknya supaya saya nggak ngerasa bersalah banget karena kejadian dulu.”
Tari sudah mengerti. Hanya Ridho yang belum mampu memercayai orang baru. Maka, dibantunya Ridho untuk mengerti.
“Kak Ridho pergi aja,” pinta Tari dengan halus. “Saya percaya sama Gita.”
“Tapi, Tar...”
“Yang penting sekarang, Kak Ridho harus menyelamatkan mereka.” Tari mengedikkan pandangannya ke arah lapangan, dimana pertandingan semakin panas. Ridho mendesah. Sebentuk makian keluar dari mulutnya.
Akhirnya, dengan menekan perasaan tidak percayanya hingga ke dasar, Ridho pergi. Menitipkan Tari pada sepupu Angga untuk diawasi. Sementara dirinya melakukan penyelamatan di tempat lain.
Menyelamatkan kedua matahari yang saat ini sedang mempertaruhkan kredibilitas masing-masing di SMA Airlangga.
*
SMS dari Ridho membuat Oji sewot.
“Apaan, Kak?” Tanya Fio penasaran. Sebagai gantinya, Oji menyodorkan ponselnya pada Fio sambil merutuk dalam hati.
Tari baik2 aja, kok. Gw menuju ke lap. Awasi mrka ber2.
Tanpa perlu Ridho mengirimkan SMS semacam itu, sudah sejak tadi Oji mengawasi pertandingan gila ini!
Ata dan Ari terlihat begitu serius bertaruh. Keduanya menampilkan permainan basket yang begitu keras, begitu sadis. Kontak fisik yang berlebihan. Lemparan yang mematikan. Sehingga para siswa yang menonton tidak berani berada terlalu dekat dengan area permainan, takut dengan serangan bola nyasar akibat permainan dua panglima ini!
Ata sama sekali tidak membiarkan Ari menembus pertahanannya dengan mudah. Dibuatnya Ari menjadi sangat kelelahan dengan memasang pertahanan serapat mungkin. Tidak dibiarkannya Ari memegang bola terlalu lama, pun mengambil alih dribelan bola basketnya dengan gampang. Tidak akan semudah itu!
“Gimana?” Seru Ridho setelah tiba di pinggir lapangan, bergabung dengan Fio dan Oji. Ingin sekali rasanya Oji melayangkan tinju pada orang ini, namun mati-matian ditahan karena kondisi yang tidak memungkinkan.
“Kacau.”
Hanya itu. Dan memang terlihat sangat kacau.
“Kak Ridho, Tari dimana?” Tanya Fio cemas, karena Ridho hanya berjalan sendirian. Ridho menyebutkan lokasi penyekapan Tari, yang tana basa-basi lagi langsung membuat Fio melesat kesana. Keduanya meringis.
Pertandingan ini berlangsung selama dua jam lebih tanpa henti, hingga pada akhirnya Ata melemparkan bola basket besar itu ke arah Ari... Dengan sengaja! Tak ayal, Ari yang tenaganya telah terkuras habis langsung limbung dan terlentang di lapangan.
Hanya saja... Tak ada niatan bagi Ari untuk berdiri dan kembali melanjutkan permainan. Ia hanya diam disitu, dengan kedua mata yang dipejamkan untuk mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
Takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Oji dan Ridho segera melangkah ke tengah lapangan.
Ata menghampiri adiknya, menunduk agar bisa berbicara dengan jelas.
“Capek?” tanyanya, namun dengan tidak menyiratkan kekhawatiran sedikitpun. “Brenti aja, ya? Supaya lo bisa menjalani kehidupan yang normal. Yang nggak perlu mengambil tempat gue. Dan gue... juga nggak perlu ngambil tempat lo.”
Ari membuka matanya, kaget dengan apa yang ia dengar dari Ata!
“Lo pasti nggak tau kemarin Papa ke sekolah. Sengaja nyamperin gue. Katanya, gue nakal. Segini gue dibilang nakal, Ri.” Suara Ata bergetar menahan geram. “Seenaknya aja dia menghakimi gue seperti
itu. Padahal gue cuma ngambil apa yang seharusnya juga berhak gue miliki. Salah, Ri?”
Namun Ari tidak menjawab. Ia hanya menatap saudara kembarnya dalam diam. Setiap kata itu telah menggores hatinya, bahkan kekuatan otaknya untuk membalas. Hal ini malah membuat Ata geram.
“JAWAB GUE, RI!!”
Ata berteriak kalap. Ditariknya kerah baju Ari, bmembuat badan cowok itu sedikit terangkat. Ridho dan Oji segera menghampiri keduanya dan melerai.
“Cukup, Ta.”
Suara lemah itu berasal dari mulut Ridho. Ata yang meronta seketika diam. Ditatapnya Oji yang justru sedang melindungi Ari dengan pandangan tercengang.
“Udah, cukup... Lo nggak bisa melampiaskan semuanya pada Ari. Ari nggak salah apa-apa –“
“NGGAK SALAH?!” Bantahnya murka. “Nggak salah, kata lo?! Setelah semua perlindungan yang gue kasih ke dia?!”
“Jadi lo pamrih?! Itu emang kewajiban lo sebagai kakak!”
Ata meronta lagi, membuat Oji kewalahan memeganginya. Sementara ia sendiri gemas karena Ari sedari tadi hanya diam, tidak menunjukkan reaksi perlawanan apapun.
Mana pernah Oji melihat Ari selemah ini. Mana pernah Oji melihat ekspresi Ari yang seperti ini. Dan Oji nggak suka! Ia sama sekali nggak suka dengan Ari yang nggak bersemangat seperti ini.
“BANGUN, RI! Mau sampe kapan lo selemah ini?!”
Ari tersentak. Ditepisnya Ridho yang menghalangi pandangannya dari Ata. Sambil berusaha berdiri, dipeganginya bahu saudara kembarnya sebagai penopang.
“Lepasin Ata, Ji,” perintahnya dengan suara tak terbantahkan. Kemudian, pandangannya menusuk lurus ke mata Ata. “Maaf, ya? Gue emang adek yang nggak tau diuntung.”
Segalanya luruh disana. Ari, dengan sisa-sisa sifat Ata yang menempel pada dirinya, yang selama ini ia lakoni hanya untuk membuatnya merasa masih memiliki ikatan dengan kembarannya tersebut.
Di lapangan sekolah sore itu, Ari sempurna menerima kejatuhannya dengan hati ikhlas. Demi Ata. Demi seseorang yang pernah berbagi rahim sang ibu dengan dirinya. Demi segala kesakitan yang pernah harus Ata pikul selama sembilan tahun.
Ari berjalan pelan meninggalkan lapangan basket. Ridho sudah akan mengikutinya, namun dengan lunglai ditepis oleh Ari.
“Lo juga... jangan gitu, Dho. Jangan ninggalin abang gue. Jangan coba-coba.”
“Nggak lucu, Bos!” Oji meneriaki sahabatnya itu dengan frustasi. “Jangan bercanda! Balik lo! Sebelum gue berubah pikiran –“
“Nggak pa-pa, Ji,” sahut Ari menenangkan. “Lagian gue bukan Bos elo.”
Senyum menenangkan dipancarkan oleh Ari lewat tarikan bibirnya. Sejujurnya, senyuman itu lebih untuk menenangkan dirinya sendiri.
Kalau untuk kebaikan saudara kembarnya... Tidak mengapa. Ari akan menyerah terhadap segala hal. Terhadap kekuasaan. Terhadap pengaruh dan pertemanannya.
Hanya saja, ada satu hal lagi yang harus ia usahakan untuk direlakan. Satu orang yang telah membawanya menemukan jalan terang menuju kedamaian hati. Yang sesuai dengan janjinya pada Ata, orang tersebut pun juga akan Ari tinggalkan.
Kesanalah saat ini langkah Ari menuju. Lantai tiga gedung barat SMA Airlangga.
*
Fio sibuk menenangkan Tari, segera setelah ia tiba di tempat Tari diikat. Karena Gita telah memberitahukan segala yang ia tahu. Terutama tentang niatan Angga. Tentang penyesalan Angga. Tentang mengapa Angga dan Ata berkomplot dan apa tujuannya. Rata-rata memang sudah Tari dengar langsung dari mulut Ridho. Meskipun... mendengarnya dua kali dalam selang waktu yang singkat bukan berarti bisa membuatnya lebih tenang.
Skenario terburuk yang mungkin terjadi hari ini adalah... Tari tahu, namun tidak mampu membayangkannya. Meninggalkan Ari dalam kondisi terpuruk seperti ini bukanlah hal yang baik untuk dilakukan. Tidak setelah Tari berikrar untuk tetap setia mendampingi Ari. Tidak setelah ia bersedia untuk berhenti menangis hanya supaya cowok itu tegar. Supaya cowok itu bisa menghadapi peperangannya dengan gagah berani.
Namun... Siapa yang bisa benar-benar bertekuk lutut, jika lawan tangguh di seberang sana justru adalah orang yang ada tubuhnya mengalir darah yang sama dengan dirinya?
Derap langkah pelan terdengar sedang menaiki tangga lantai tiga, tempat ketiga cewek itu berada. Derap langkah milik Ari. Yang pada wajahnya terpancar kelelahan yang amat sangat.
“Tolong tinggalin kami berdua.”
Tanpa harus disuruh dua kali, Fio dan Gita melangkah pelan meinggalkan keduanya. Sementara Ari langsung berdiri di hadapan
gadisnya. Terenyuh, Ari melepaskan ikatan yang ada di tangan dan kaki gadis itu dengan sangat hati-hati.
“Baik-baik aja, kan? Ikatannya nggak kuat, kok... Nggak ninggalin bekas.”
Suara itu... Tari bisa mendengarnya. Suara itu dipaksakan sehingga terdengar terlalu tenang. Padahal, gemuruh hati di dalam sana terdengar tanpa harus disuarakan.
Kepada seseorang yang mati-matian meminta penyelamatan padanya, ingin rasanya Tari sekali lagi mengangkat semua beban itu dari hati Ari. Maka, Tari bersiap untuk merangkul Ari.
Kepada seseorang yang selama ini selalu ia kejar, kali ini... Ari melakukan penolakan. Ditepisnya rangkulan dari Tari, namun dengan pandangan yang tidak sekalipun menatap wajah Tari.
Kejatuhannya hari ini sempurna. Ari akan merelakan segalanya pergi. Terutama Tari.
“Gue...” Ari memulai dengan suara tercekat. “nggak tau, bahaya apalagi yang ada di depan sana.”
Ingin rasanya Tari berteriak jangan ngomong apa-apa! Tapi nggak bisa, karena ia pun sedang terpana dengan kejatuhan ini.
“Gue cuma mau nyampein dua hal. Tolong didenger baik-baik, ya?” Sambil menatap kedua bola mata Tari – pada akhirnya – Ari melanjutkan, “Makasih. Karena elo pada akhirnya bisa menerima gue dengan sangat baik, setelah apa yang gue lakuin ke elo selama ini. Dan kedua... Maaf,” suara Ari mulai bergetar menahan isakan. “Maaf, karena setelah semua yang terjadi selama ini, gue... Gue menyerah.”
Tari menggeleng, tidak percaya dengan apa yang sedang ia dengarkan. Bukan. Bukan seperti ini jalan ceritanya!
“Selama yang berdiri di ujung sana adalah Ata, gue... Sampai kapanpun nggak akan sanggup untuk menang,” Ari tertawa pelan, miris. “Lo juga harus menyerah. Setelah ini... Lo bebas. Bebas, Tar.”
“Gue udah lama bebas, Kak...” Tari tergugu. “Apa yang gue lakuin untuk lo selama ini ikhlas, bukan –“
Ari menempelkan jarinya di bibir gadis itu, membuatnya seketika diam. Tidak, Ari tidak butuh mendengarkan penjelasan gadis ini lebih banyak lagi. Sebelum hatinya goyah. Sebelum keputusannya berubah.
Kedua tangannya menyentuh pipi Tari dengan lembut. Mata Tari terpejam. Bukan seperti ini. Bukan seperti ini akhir yang ia bayangkan harus dijalani oleh Ari! Bukan sikap selemah ini yang Tari bayangkan akan ditempuh oleh Ari! Jika selama ini Ari bisa menempuh jalan terkejam, kenapa sekarang ia tidak melakukan apa-apa?
Yang Tari tidak sadari, justru keputusan ini telah memakan jiwa Ari lebih dahulu. Sakitnya sudah ia rasakan, menancap dengan sangat
dalam. Dan hal terakhir yang dapat Ari lakukan tinggal ini. Memangkas habis semuanya, demi kebahagiaan saudara kembarnya.
Ari mengecup kening gadis di hadapannya dengan lembut. Lama, seakan perpisahan itu nantinya berlangsung abadi.
Ari melepaskan bibirnya dari kening Tari. Mereka saling menatap, melihat jendela jiwa masing-masing, mencoba menyusuri kedalamannya. Kedua tatapan itu tak terdefinisi. Ada permohonan untuk tetap tinggal sekaligus binar lelah menghadapi kenyataan. Namun satu yang jelas, ada jelaga yang nampak disana. Pekat terlihat begitu nyata.
Kecupan itu, meski dingin dan membuat Tari gemetar, dilakukan dengan sepenuh jiwa, sepenuh raga, seakan meniupkan separuh ruh disana. Kecupan itu begitu dalam, menyampaikan banyak perasaan yang tidak sempat diutarakan. Kecupan itu membawa seluruh luka dan perih. Kecupan itu sekaligus memutus rantai takdir yang mematerai antara dia dan lelaki yang ada di depannya ini!
Sebagai salam perpisahan, Ari memeluk gadis yang ada depannya erat. Sangat erat, sehingga siluet menggambarkan mereka sebagai satu kesatuan.
Tari menggigil hebat meski tubuhnya tidak kedinginan. Pelukan itu begitu menyesakkan dadanya sehingga ia kesulitan bernapas. Pelukan itu begitu menyakitkan, membuat kepalanya hampir pecah. Pelukan itu serasa merontokkan tulangnya dan menjadikannya serpihan. Ia tak punya tenaga lagi untuk berdiri. Untuk menopang tubuhnya, tangannya menggelayut erat pada leher Ari dan menundukkan wajahnya di dada lelaki itu dalam-dalam.
Ari memejamkan mata. Sama sekali tidak ada niatan untuk melepas pelukannya. Karena gadis ini adalah pusatnya. Gadis ini adalah separuh jiwanya. Namun ia telah berjanji. Ini memang harga mahal yang harus ia bayar: meminum racun yang Ata sodorkan padanya. Nampaknya Ari tidak punya pilihan selain menguatkan hati dan mengabaikan rasa hancurnya. Dilepaskannya pelukan itu seraya mendorong Tari menjauh. Pemandangan yang ada setelah itu membuat dadanya serasa dipukul oleh godam.
Begitu pelukan itu terlepas, Tari langsung terkulai lemas. Air matanya mengalir deras dan mati-matian ia menahan isaknya, yang menyebabkan Tari megap-megap, kesulitan bernapas. Gadis itu menatap Ari tepat di manik mata, tajam.
Ari meremas tangannya. Mati-matian ditahannya hasrat untuk memeluk lagi gadis yang ada di depannya ini, untuk mengatakan kalimat-kalimat penghiburan, atau setidaknya kepastian bahwa apapun yang terjadi, dia masih ada disamping gadis itu. Namun kenyataannya tidak bisa seperti itu. Lebih dari siapapun, harusnya Tari mengerti. Dan kalaupun tidak bisa, dicobanya membuat Tari mengerti.
Ari berlutut agar sejajar dengan Tari. Dengan pandangan memohon, ia menatap Tari, ”Tolong… jangan bikin jalan gue tersendat…” bisiknya serak.
“Lo berusaha mati-matian ambil hati gue. Setelah berhasil, lo balikin lagi ke gue dan nyerah gitu aja. Lo pikir lo siapa, hah, bisa mainin hati gue seenak jidat lo kaya gitu?!” jerit Tari, histeris. Air matanya kembali menderas. Ia tergugu.
Bukannya Tari tidak melihat kehancuran di mata seseorang yang telah memiliki hatinya dengan sempurna. Bukannya Tari tidak melihat bahwa batin Ari juga tersayat dengan keadaan ini. Tari lebih dari
mengerti bahwa perang ini adalah perang yang tidak dapat mereka menangkan. Tapi apakah akhirnya harus seperti ini? Setelah kejadian-kejadian yang menorehkan luka dan air mata, setelah berbagai peristiwa yang menguras hati… mengapa ia menyerah secepat ini? Tanpa perlawanan, pula!
“Maaf...” bisik Ari singkat, sebelum kemudian ia berdiri dan pergi. Langkahnya terseok dan nampak berat. Namun ia tetap berjalan, sama sekali tidak menoleh ke belakang. Karena ia menyembunyikan air matanya, simbol kekalahan mutlaknya, kepada gadis yang telah menuntunnya ke jalan pulang dan telah dijanjikannya banyak tawa.
Tari menangis. Dengan sisa-sisa kekuatannya, ia mencoba berdiri. Dengan segenap kekuatannya ia berkata, ”Denger, Matahari Senja! Mungkin lo udah nyerah, tapi gue nggak! Denger itu! Gue nggak akan menyerah atas elo!”
Teriakan Tari nyaris membuat langkah Ari terhenti. Hatinya menghangat, namun ia tetap kukuhkan niatnya untuk pergi. Karena memang lebih baik begini.
*
Meski hanya terlihat gerakan-gerakan samar tanpa bisa mendengar pembicaraan sama sekali, sangat terlihat jelas bahwa situasi di lantai tiga sana, yang sedang dihadapi Ari dan Tari berdua, bukanlah situasi yang menyenangkan. Pembicaraan yang terjadi sudah dapat dipastikan berdarah. Setiap gerakan samar mengisyaratkan adanya pergolakan batin yang sangat hebat. Dari jauh, sudah tercium aroma perpisahan!
Pemandangan yang terlihat sangat memilukan. Pelukan yang setelahnya mengakibatkan Tari meluruh, langkah kaki Ari yang berbalik arah yang hanya bisa ditatap nanar oleh Tari… benar-benar pemandangan yang tragis. Karena hanya sesuatu yang besar dan
hebatlah yang dapat membuat dua orang dengan kisah cinta melegenda di Airlangga memutuskan untuk mengucapkan sayounara!
Keadaan itu menimbulkan sejuta tanya bagi para penonton yang melihat. Ini sebenarnya ada apa? Mengapa jadi begini? Ata, Ari dan Tari sebenarnya ada masalah apa?
Spekulasi yang tidak mendekati kebenaran sama sekali pun berkembang.
Ata naksir Tari, tapi tidak tergapai karena gadis itu sudah berpacaran duluan sama Ari. Makanya Ari dan Ata adu basket sebagai unjuk kekuatan. Dalam perang basket itu, Ari kalah. Karenanya, Ari harus meninggalkan Tari atas permintaan Ata
Spekulasi yang aneh dan bisa langsung membuat rambut Tari keriting ketika mendengarnya. Namun, dengan spekulasi itu, timbul berbagai macam simpati pada Ari dan langsung men-judge Ata sebelah mata.
“Liat perbuatan lo, Bangsat!!!”
Melihat sahabatnya dihancurkan berkali-kali, melihat sahabatnya diserang dari segala arah, melihat segala yang dipunyai sahabatnya gugur satu per satu sangat menyakitkan hati Oji. Puncaknya hari ini. Melihat benteng pertahanan sahabatnya, sekaligus kepada perempuan dimana sahabatnya menaruh jiwa, direnggut begitu saja oleh Ata – saudara kembar sahabatnya sendiri! – bahkan tanpa perlawanan yang berarti, benar-benar membuat Oji remuk redam! Ia murka, sangat murka.
Dengan emosi yang menggelegak di kepala, ia seret Ata ke pojok ring, alih-alih melempar Ata kesana. Dicengkramnya kerah Ata.
Emosi Oji ini nampaknya adalah kekuatan tambahan untuk Ata. Emosi Oji ini sudah menguasai hati dan pikiran sehingga ia tidak
melihat tatapan bengis Ata yang siap membunuh. Kekuatan Oji memang besar, namun Ata lebih besar lagi. Dibantingnya Oji sampai ia terjengkang. Ditariknya kerah cowok itu dan dipukulinya berkali-kali. Perlawanan Oji tidak menimbulkan efek apapun bagi Ata yang kalap.
“Lo tau apa?! Lo itu orang luar dan nggak usah kebanyakan ikut campur! Lo pikir lo siapa, hah?! Polisi moral?!?”
Semua orang terkesiap, terhenyak. Belum pernah mereka lihat sisi Ata seperti ini. Ata yang ramah, Ata yang pintar, Ata yang kesayangan guru-guru. Sekarang yang terlihat Ata yang kalap. Nampak garang. Nampak ganas. Sangat menakutkan! Ata yang ini… mirip sekali dengan Ari, dulu!
Ridho buru-buru menengahi adu jotos yang tidak imbang itu, sebelum Oji benar-benar menjadi bubur. Setelah diusirnya kerumunan, ia langsung melesat ke area pergulatan tersebut. Ia meringis melihat kondisi Oji yang sudah babak belur, namun masih berusaha untuk melawan. Sia-sia. Kekuatan Ata yang kalap, membuat Ata seperti monster yang tidak kenal kata ambruk. Oji hanya sandsack.
“Cukup, Ta!” Ridho, berdiri dengan gagah berani di depan Ata. Pipinya sempat terkena ‘hadiah’ bogem mentah dari Ata sebelum Ata menyadari siapa orang yang berdiri di depannya. Ata mendesis geram.
“Lo nggak usah ikut-ikutan, Dho! Minggir! Biar gue tunjukin kejongosnya Ari itu, dengan siapa dia berhadapan!! Biar dia nggak seenaknya ikut campur kaya begini!!” bentak Ata yang kemudian mendorong Ridho menjauh. Tapi Ridho tak gentar, ia terus membayangi Ata.
“Nggak usah lo halangin, Dho!!! Dikira gue takut, apa, sama dia?!” Oji yang tersulut emosi langsung berlari menyongsong Ata. Mukanya
yang sudah babak belur dan badannya yang nyaris remuk tidak ia pedulikan.
“Goblok! Gak usah cari mati!!” Ridho mendorong Oji hingga Oji jatuh tersungkur. Dan kepada Ata ia berteriak,”Cukup, Ataaaa!!! Udah cukup lo sakitin satu sahabat gue! Gak usah merembet ke sahabat gue yang lainnya!!”
Seketika Ata langsung menghentikan langkahnya. Ia memandang Ridho dengan pandangan tak percaya. Perkataan Ridho barusan… apa ia tidak salah dengar bahwa Ridho, yang katanya sudah jenuh dengan segala kebossyan Ari, sekarang balik membela kubu itu lagi? Ata ingin mengucapkan sesuatu, namun tertahan angin. Dibiarkannya Ridho menyelesaikan perkataannya.
“Lo…” Ridho mendesah. ”bener-bener udah keterlaluan. Apapun yang Ari udah lakuin, terlepas itu udah nyakitin lo segala macem… Dia nggak sengaja. Nggak saharusnya dia ngebayar sesuatu yang dia nggak tau, Ta.”
Ridho kemudian membantu Oji berdiri dan memapahnya. Setelah berhasil membantu Oji bangkit, Ridho, dengan Oji dalam rangkulannya, menoleh kearah Ata, seakan ada sesuatu yang lupa ia sampaikan.
“Ari sahabat gue, Ta. Dari dulu tetap begitu. Nggak ada makar.”
Ata hanya bisa tercengang sembari menatap punggung Ridho yang semakin menjauh.
*
Keadaan hampir kembali seperti dulu. Orang itu ada dalam jangkauannya, tapi tak teraih. Ari tertawa miris. Setelah jatuh-bangun berbulan-bulan, setelah perjalanan yang sangat melelahkan dan
menyakitkan, setelah semuanya ia lakukan… ia kembali seperti ini. Sendiri.
Dahulu Ari mengenal definisi sendiri berarti keadaan rumahnya yang kosong dan dingin. Sendiri berarti perasaan hati yang disekop dalam-dalam akibat ketiadaan Mama dan kembarannya. Sendiri berarti meski dia harus memakai ‘topeng’ setiap hari, setiap waktu, sebagai bentuk pertahanan. Sendiri yang itu… sendiri yang menyedihkan. Menguras tenaganya karena raga, otak, hati dan pikirannya terus-menerus dipakai berperang. Sendiri yang itu masih bisa dienyahkan dengan membuat perkara dan kegaduhan di sekolah.
Namun ternyata ada definisi kata “sendiri” yang baru saja Ari kenali. Yang tidak jauh berbeda, namun efeknya sangat menghancurkan.
Sendiri berarti, meski Mama dan Ata ada di dekatnya, namun hatinya tetap hampa. Sendiri berarti, setelah membuka ‘topeng’nya di depan dua sahabatnya, ia tidak bisa merdeka seperti yang diharapkannya. Sendiri berarti, dengan sangat terpaksa dan suka maupun tidak suka, dia harus berjalan tanpa penopangnya, tanpa ada yang memandunya.
Definisi kata “sendiri” yang ini… meluluhlantakkan. Merontokkan jiwanya dan mengosongkan hampir seluruh ruhnya. Sendiri yang ini sama sekali tidak bisa diperbaiki.
Sungguh ironis, karena Ari tidak menyangka semua ini akan menimpanya. Ari pikir ia sudah bahagia, segalanya akan baik-baik saja. Sepertinya Tuhan sedang mengajaknya bercanda. Diberi-Nya Ari rentetan ‘perang’ bertubi-tubi, tanpa jeda dan banyak kejutan di dalamnya yang sama sekali tidak disangka. Dan untuk kejadian ini… tidak ada yang dapat Ari lakukan.
Sekarang, disinilah ia berada. Berdiri depan di rumah Tari pada pukul dua dini hari. Gadis ini sumber kekuatannya, juga sumber kerapuhannya. Dan untuk kebaikan gadis itu sendiri, terpaksa ia tempatkan gadis itu di tempat terjauh dari dirinya, dari hatinya. Karena ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, agar tidak menghapus senyuman yang tersungging di bibir gadis itu. Dengan tetap berada disampingnya, ia hanya akan menyeret Tari dalam masalah.
Disinilah Ari berada. Berdiri di depan rumah Tari pukul dua dini hari. Setelah kejadian tadi siang, ia harus pastikan bahwa Tari baik-baik saja. Karena ia sangat khawatir pada gadisnya itu. Gadisnya tidak berhenti menangis setelah ia berbalik. Masih belum berhenti menangis ketika Fio menghampirinya. Tari masih menangis ketika ia dan Fio dihampiri oleh Ridho serta Oji yang babak belur. Tangis itu baru berhenti ketika Tari sudah kelelahan dan akhirnya tertidur di pelukan Fio dengan wajah yang pucat. Ari sendiri benar-benar harus menguatkan hati agar tidak berlari dan memeluk gadisnya saat itu.
Sekarang, sudah pukul dua lebih dan lampu di kamar Tari belum dimatikan juga. Siluet seorang gadis yang sedang mondar-mandir, bermain puzzle yang kemudian diserakkan lagi dan yang duduk termenung di dekat jendela, menandakan bahwa si empunya kamar belum tidur, membuat hati Ari makin nelangsa.
Dan ketika sampai pukul tiga dini hari lampu kamar Tari belum mati juga, disusul siluet gadis itu masih bergerak… Ari langsung memutuskan sesuatu. Keputusan yang mencabik dirinya sendiri, namun itu yang terbaik bagi semua pihak. Lo gadis tangguh, Tari… lo harus tangguh.
*
Airlangga gempar! Setelah adanya adu basket yang lebih mirip gladiator antara Ata dan Ari, Panglima dan Mantan Panglima Perang Airlangga, yang berakhir dengan kekalahan Ari dan putusnya hubungan Ari dan Tari, kini mantan orang nomor satu di Airlangga itu… menghilang! Sudah seminggu Ari tidak masuk sekolah dan tidak pulang kerumah, tidak ada yang tahu keberadaannya. Termasuk Ayah Ari dan kedua sahabat Ari – Ridho dan Oji.
Yang membuat ngilu adalah selama seminggu itu, orang-orang selalu menemukan pemandangan Tari yang terus-terusan menangis atau berjalan dengan mata sembab dan wajah pucat yang tanpa ekspresi seperti zombie. Di kelas pun Tari hanya mencatat seperti robot dan kelihatan linglung jika ditanya. Benar-benar pemandangan yang sangat mengenaskan.
Herannya lagi... Ata, yang mana telah menjadi sumber perkara, terlihat sangat santai dan tenang-tenang saja. Otomatis semua langsung berspekulasi bahwa Ata yang membuat mantan Panglima Perang tidak menampakkan diri!
Hilangnya Ari diikuti oleh pemunculan sifat asli Ata: beringas, dingin dan menakutkan. Bahkan, melebihi Ari dahulu. Bila Ari masih bisa “disentuh”, maka Ata ini tidak teraih. Ata seperti lava yang menggelegak. Menghancurkan semua yang ia lewati. Tiada hari tanpa adanya salah seorang korban tak bersalah, menjadi sandsack pelampiasan Ata. Ata yang sekarang seperti monster.
Kerinduan mereka terhadap hadirnya Ari pun makin menjadi…
*
Karena setiap air mata yang keluar, tidak bisa dihentikan. Tiap air mata adalah simbol cinta yang begitu dalam, sekaligus kepedihan karena orang itu ada namun tak teraih. Ketiadaan Ari dan
ketidakjelasan kabarnya membuat Tari sangat terpuruk. Menangis adalah tempat Tari berlari ketika semuanya sudah tidak tertahankan lagi. Menangis itu melelahkan. Menangis itu menguras tenaga dan hati. Apalagi bila dilakukan hampir setiap hari dan setiap waktu.
Tari asalnya wanita tangguh yang jarang sekali menangis. Namun permasalahan Ari ini menjadikannya wanita slang air yang menangis tiap detik, tiap waktu. Ia sangat lelah menangis. Ia juga kasihan dengan Fio yang mau tidak mau harus mendampinginya karena terkadang ledakan tangis ini terjadi tiba-tiba. Lelah, ia lelah menangis. Semakin ia sering menangis, semakin hatinya terasa berat. Menangis berarti menegaskan ketiadaan Ari disisinya nyata adanya. Selama ini Tari tidak pernah tahu bahwa ditinggalkan Ari bisa semenyakitkan ini. Ditambah kenyataan, Ari-nya menghilang. Benar-benar hilang, tidak ada yang tahu dimana keberadaannya.
Tari merasa ini semua salahnya. Karena dialah Ari pergi. Lebih dari siapapun, Tari sangat memahami Ari. Dan Tari tahu betul bahwa alasan Ari pergi adalah dirinya. Begitu cintanya Ari padanya, sehingga apapun akan Ari lakukan untuk melindungi dirinya. Untuk tindakan Ari sekarang, Tari kurang sependapat. Rasanya Tari ingin sekali menyeret Ari ke depannya, kemudian diperlihatkannya pada Ari mata bengkak karena kebanyakan menangis ini. Jelas, tanpa Ari, Tari sangat berantakan.
Kemudian Ata… ah, apa yang bisa Tari jelaskan? Melihat Ata, Tari lebih nelangsa. Karena dalam Ata, ia lihat sosok Ari yang dulu. Yang cadas dan selalu memakai topeng sebagai benteng pertahanan. Kedua kembar itu… memakai cara yang sama untuk melindungi hati dari trauma yang dulu mereka peroleh. Tari mahfum dengan alasan Ata. Yang Ata lakukan adalah simbol kekecewaan. Yang Ata lakukan adalah
perwujudan rasa pahitnya yang dipendam bertahun-tahun. Kepada seseorang yang telah menjalani begitu banyak emosi, bagaimana Tari bisa menyalahkan?
Tari menghela napas. Terlalu banyak yang terjadi dalam waktu yang singkat. Dilempar nyeri bertubi-tubi membuat gadis setangguh Tari menjadi slang air.
Karena tiap air mata, akan menjelma sebagai doa. Dalam sujudnya, Tari berharap agar semuanya segera baik-baik saja.
*
Oji mengintip dari jendela X-9. Ia mendesah, ikut nelangsa. Lagi-lagi ia disuguhi dengan pemandangan Tari yang menangis. Ingin rasanya ia peluk Tari erat-erat agar air matanya tidak mengalir.
Namun Oji paham betul bahwa kehilangan separuh jiwa dapat membuat orang sekuat apapun tidak bisa mengontrol emosinya. Terlebih lagi, sebagai salah satu orang yang dekat dengan Ari, Oji bisa mengerti segala kekhawatiran, kecemasan dan segala perasaan yang berkecamuk di hati Tari. Karena ia pun merasakan hal yang sama. Jika saja dia wanita, maka dia pun juga akan ikut menangis bersama Tari. Berhubung dia masih lelaki – tulen lagi – maka untuk mengusir rasa sesaknya, hal yang ia lakukan adalah menganggu Ridho yang kebetulan sekarang ada di sampingnya, ikut mengintip Tari.
“Gue baru tau ada orang yang bisa memproduksi air mata sebanyak itu.” Oji menggeleng, tampak prihatin. ”Gue rasa kalo dikumpulin air mata Tari bisa buat mandiin gajah sampe kinclong.”
Oji tetaplah Oji. Yang selalu bisa melihat celah humor dalam situasi apapun. Yang dapat melontarkan jokes mesti hatinya sendiri juga teriris.
“Ck… gue rasa itu air mata bisa buat ngeguyur Ari supaya sadar kalo dia harus berhenti bersikap sok pahlawan dan ninggalin Tari dalam kondisi kacau begitu!” sahut Ridho jengkel. Ia rangkul Oji, kemudian berjalan menuju kelasnya sendiri. Acara mengawasi Tari menangis sudah cukup hari ini.
“Belum tau keberadaannya Ari, Dho?” Tanya Oji, kembali serius.
Ridho menggeleng lemah.
”Belom, Ji. Bahkan Bokapnya juga kelimpungan nyariin dia. Tapi beliau nggak bisa lapor polisi, karena Ari bukan tergolong anak ilang. Dia rutin ngehubungin Bokap-Nyokapnya.”
“Lho, kalo gitu bisa aja kita minta nomornya ke Tante terus kita seret itu kunyuk kesini biar dia liat dampak perbuatan dia kayak apa!”
“Nggak bisa. Nomornya selalu ganti-ganti.” Ridho menghela napas, frustasi.
Oji menepuk bahu Ridho, seakan menenangkan. Ia tersenyum. Senang rasanya bisa berkumpul kembali dengan sahabatnya yang satu ini. Rasanya sudah berabad-abad ia kehilangan Ridho akibat ulah Ata. Sekarang, sahabatnya kembali. Seperti keajaiban.
Seakan tersengat, Oji melonjak. Ia ingat ada sesuatu yang sudah lama ia ingin tanyakan pada Ridho.
”Dho… jadi yang kemaren-kemaren itu… lo sama Ata…?”
Ridho nyengir, merasa bersalah sekaligus bangga.
”Itu strategi, bego. Devide et impera. Kita deketin musuh buat tau kelemahannya,” jelas Ridho seperti mengajari anak TK.
“Terus, apa yang lo dapet? Ata cerita apa aja?”
Ridho mendesah. Ia menarik Oji ke pojok koridor yang sepi, untuk meminimalisir orang-orang yang ingin mencuri dengar. Bersama Oji, ia ceritakan sekeping demi sekeping puzzle yang menjawab sejuta tanya.
Tentang masalalu Ari dan Ata. Tentang konspirasi dengan Angga. Tentang perasaan dan alasan Ata. Terakhir, tentang Kirana.
Mendengar cerita Ridho tersebut, Oji hanya bisa mengangguk, melongo, ternganga dan kombinasi dari tiga itu. Segalanya benar-benar tidak terduga, segalanya benar-benar tidak terprediksi. Menyatukan puzzle-puzzle itu membuat semuanya menjadi masuk akal. Meski itu tidak dapat dijadikan alasan pembenaran.
“Terlepas dari itu, kita masih punya pe-er yang besar,” Ridho menghela napas, seakan ada beban yang sarat di pundaknya. ”Angga.”
*
Gita mengintip dari jendela X-9. Ia mendesah, ikut nelangsa. Lagi-lagi ia disuguhi dengan pemandangan Tari yang menangis. Ingin rasanya ia peluk Tari erat-erat, seakan menambah kekuatan. Atau paling tidak menangis bersama agar seluruh beban tidak terlalu berat.
Namun beban yang disandang Tari saat ini tidak terbagi. Dan Gita sadar betul hal itu. Tidak ada satu hal pun yang dapat ia lakukan, betapapun ia ingin membantu Tari. Dalam hati ia ikut sedih, merasa bersalah. Hal ini terjadi karena Angga, kakak sepupunya dan “pacarnya”.
Berbicara mengenai Ata, Gita sudah tidak bisa berkata-kata. Ata ini susah untuk dijangkau. Ata ini tidak terbaca. Kedekatan mereka yang terlihat mesra, hanya dipermukaan saja. Pada setiap tatap, tidak pernah menyelam ke dalam jendela jiwa. Pada setiap rangkulan, Ata tidak pernah memeluk Gita dengan keseluruhan jiwa. Pada setiap tawa, Ata tidak membiarkan Gita masuk di dalamnya. Gita tidak bisa mendekat, karena Ata telah menggariskan batas tegas yang tidak boleh Gita lewati sama sekali. Tidak dibiarkannya Gita mendekati batas itu.
Kata “Ibu Negara” memang betul-betul secara de facto saja. Karena pada kenyataannya, hubungan antara Ata dan Gita memang hanya simbol belaka. Tidak ada hati yang berbicara disana. Ironis sekali, bukan?
Tapi Gita tidak mau menyerah. Persoalan ini harus selesai, bagaimanapun caranya, apapun resikonya.
Sekelebatan ia lihat Ata sedang berjalan menyusuri koridor seberang. Gita langsung menghampirinya. Ata mengangkat alis, agak kaget. Karena tidak biasanya “pacar”nya ini menemuinya terlebih dahulu. Apalagi, sorot mata “pacar”nya itu tidak seperti biasanya yang lembut dan polos. Sorot mata ini… sorot kemurkaan juga kekecewaan.
“Ada apa?”
“Kakak puas dengan kondisi kaya gini?” tembak Gita langsung, tanpa ampun. Sepertinya tangisan Tari memupuk keberaniannya, memicu kekuatannya dan membuatnya meledak seperti sekarang.
”Jadi… ini yang Kak Ata mau? Liat Tari nangis setiap hari. Liat Kak Ari ilang entah dimana. Kakak bikin semua hubungan hancur. Percuma ada di posisi tertinggi, tapi dengan cara mematikan orang lain!”
“Git!” tangan Ata sudah melayang, namun seketika ia tersadar siapa yang dihadapinya dan urung melakukan kekerasan fisik itu. Sebagai gantinya ia memukul pilar yang ada di belakang Gita.
Hampir ditampar seperti itu, Gita terkejut. Ia tidak menyangka betapa sensitifnya perkataannya barusan hingga membuat Ata lepas kendali. Dengan tatapan nanar, ia tatap Ata. Kedua tangan Gita yang gemetar menyentuh pipi Ata, lembut.
”Maafin saya, Kak,” bisik Gita dengan suara bergetar, menahan isak.
Ata menarik napas panjang. Ia memejamkan mata, kemudian ia turunkan tangan Gita dari pipi menuju dadanya. Dada yang berdegup sangat kencang, seperti ingin melesak dari tempatnya. Dadanya sangat sesak.
”Sakit, Git.”
Gita nyaris tak bisa membendung air matanya. Ini pertama kalinya… Ata membiarkannya melangkah lebih jauh! Ini pertama kalinya Ata membiarkannya mendekat. Terharu, Gita pun memeluk Ata.
”Saya nggak akan ninggalin Kak Ata…”
*
Angga dan Bram. Keduanya ada di taman belakang rumah Angga, duduk berhadapan. Yang satu sedang menggebu-gebu bercerita, yang satunya menjadi pendengar yang baik dan menahan seulas senyum juga perkataan, ”I’ve told you so!”
Keadaannya begitu lucu. Angga ternyata bekerja sama dengan orang yang ternyata adalah sumber petaka, biang kerok masalahnya. Dan bahkan ia menitipkan “adiknya” yang satu lagi pada si biang kerok itu! Angga merutuki kebodohannya. Ia meminta maaf pada Bram karena telah mengabaikan perkataan Bram dulu.
“Terus rencana lo sekarang apa?” Tanya Bram, setelah mendengarkan curhatan Angga dengan khusyuk.
“Bales Ata, apalgi!” jawab Angga, geram. “An eye for an eye, Bram!”
“Terus Gita gimana?”
Ata berdecak. Bram ini! Tidak bisakah sekali saja mengesampingkan perasaan pribadinya dengan adiknya itu? Ia ingin mengatakan hal tersebut pada sahabatnya itu, tapi urung karena ia
melihat Mbok Narti, asisten rumah tangga yang sudah lima tahun mengabdi, tergopoh-gopoh menghampirinya.
“Mas, Mbak Gita sudah datang.”
“Makasih, Mbok. Nanti saya temuin di ruang tamu,” ujarnya pada Mbok Narti. Dan pada Bram, ia memperingatkan, ”Lo jangan mengacaukan segalanya dengan acara ngomel-ngomel nggak jelas ke Gita!”
“Ngomelin gue apaan?” sahut Gita, yang ternyata sudah berada di depan Angga. ”Jadi gue dipanggil kesini cuma buat diomelin, nih?”
“Bukan diomelin, tapi dinasehatin,” ralat Angga. “Jadi, Git, maksud gue nyuruh lo kesini –“
“Lo… brengsek!” desis Gita tajam, memotong perkataan Angga. “Lo tau perkembangan terbaru yang terjadi di Airlangga berkat kerjaan elo? Nggak. Pasti lo nggak tau. Karena otak lo udah ketutup sama ambisi untuk bales dendam dan mata lo udah gelap jadi nggak bisa ngeliatberapa banyak orang yang udah lo tusuk, yang bahkan enggak bersalah sama sekali, buat nuntasin dendam lo itu!”
Gita menatap Angga tajam. Napasnya sedikit tersengal karena emosi yang menggelegak membuat dadanya sesak. Angga surprised sekaligus bingung karena tiba-tiba diserang oleh adik sepupunya. Pasti ada kejadian mahahebat sehingga membuat adiknya yang biasanya kalem itu jadi muntab.
“Bisa lo jelasin kenapa tiba-tiba lo ngomelin gue begini?”
Gita menghela napas panjang. Ia ceritakan kehebohan yang melanda Airlangga beberapa hari terakhir ini. Tentang perseteruan Ata dan Ari yang terang-terangan. Tentang adu basket yang menyebabkan putusnya Ari dan Tari. Tentang menghilangnya Ari. Tentang Tari yang menjadi manusia slang air separuh zombie; sangat kacau.
Angga sendiri tidak menyangka bahwa perkembangannya akan seperti itu. Pertikaian antara Ata dan Ari adalah kabar baik untuknya, namun depresinya Tari membuatnya sangat tertohok. Untuk itu ia hanya bisa menyayangkan dalam hati. Lo nggak akan begitu kalo elo lari ke gue, Tar.
“Sebenernya mau sampe kapan, sih, bales-balesan begini berlangsung? Perang nggak berkesudahan kayak gini emangnya nggak bikin kalian capek, apa?!” Gita mendengus kesal. ”Lo liat Tari, Ga. Dia udah bisa dibilang hidup yang nggak hidup. Tolong… hentikan, Ga.”
Gita mengucapkan permohonannya dengan suara lemah. Matanya langsung menatap Angga. Ada permohonan yang sarat disana. Untuk berhenti. Untuk menyerah. Untuk meletakkan beban itu jauh-jauh di belakang. Apa yang telah terjadi ya sudahlah, tidak ada yang bisa dilakukan lagi kecuali mengikhlaskan segalanya. Namun Angga tidak mengindahkan tatapan Gita. Hatinya masih keras. Angga malah balik menatap Gita, tajam.
“Lo pikir gue lakuin ini buat siapa? Jelas, gue juga nggak seneng-seneng disini, Git! Gue cuma ngelakuin apa yang berhak mereka dapetin!” bentak Angga.
“Bukan cuma elo yang ngebawa luka hati, Ga! Mereka – Ata dan Ari – udah punya masalah yang cukup berat tanpa lo harus ikut campur dan ngebawa kepentingan lo disana!” jerit Gita frustasi karena Angga tak kunjung mengerti. ”Demi Tuhan, Angga… kenapa lo nggak ngerti-ngerti juga!”
“Lo itu yang nggak ngerti!! Udah, Git, cukup elo ikut dalam kancah peperangan ini! Lo sebaiknya out dan nggak usah ikut campur lagi! Jauhin Ata!”
Gita histeris mendengar perkataan Angga barusan. “Emangnya lo siapa nyuruh-nyuruh gue jauhin Ata?!!”
“Gita! NURUT!!”
“NGGAK!!”
Kedua orang itu, Angga dan Gita, saling menatap, saling garang. Sama-sama keras hati dan mempertahankan apa yang menurut mereka benar. Egoisme mereka yang berbicara. Sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Angga, dengan dasar untuk melindungi orang yang ia sayang. Gita, dengan dasar untuk melindungi orang yang sama sekali tidak bersalah. Semua alasan itu valid. Tidak ada yang sangat benar atau sangat salah.
Bram sedari tadi hanya diam melihat perdebatan kakak beradik itu. Sebenarnya ia agak geli, karena Angga dan Gita sangat mirip ketika sama-sama sedang ngotot. Tapi diingatnya bahwa perdebatan ini bukan perdebatan antara adik dan kakak yang sedang memperebutkan remote TV. Perdebatan ini mengenai suatu hal yang dapat mengacaukan rencana Angga dan membahayakan keselamatan Gita itu sendiri. Karenanya, diputuskanlah dirinya untuk ikut bicara. Dengan hati-hati Bram memilih kata-katanya.
“Git, lo dengerin Angga. Yang dihadepin ini bukan main-main, lho,” bujuk Bram.
Gita menatap ke arah Bram. Matanya mendelik, sorot matanya begitu keras dan tajam. Gita benar-benar murka.
”Justru karena ini nggak main-main, gue minta kalian berhenti!”
Mata Angga melebar seakan Gita menyuruhnya memakan rumput di halaman belakang.
”Lo…”
“Git…” Bram memotong perkataan Angga, sengaja untuk menghindari pertikaian yang lebih hebat antara Angga dan Gita. ”Coba aja lo tau alesan Angga berbuat seperti ini. Lo pasti akan maklum… terus –“
“Jangan bilang ini soal Kirana!” potong Gita, kemudian ia tertawa histeris. “Lo sebaiknya nggak usah bawa-bawa Kirana. Nggak ada kaitannya Kirana dengan masalah ini!”
“Nggak ada kaitannya gimana maksud lo?!” emosi Bram mulai tersulut menghadapi Gita yang benar-benar keras kepala . ”Kirana ini… Ata dan Ari…”
“Gue udah tahu cerita tentang surat Kirana yang disobek Ata alih-alih Ari, terima kasih,” sela Gita dingin. ”Okelah kalo dasar kalian itu buat ngebales orang yang nyakitin Kirana. Tapi Ari sama sekali nggak tau apa-apa. Ata sendiri juga bukannya nggak punya alesan…”
Sebagai “pacar” yang baik dan pengertian, ketika Ata sangat kacau pasca didatangi Papanya di sekolah, Gita bermaksud menghibur Ata siang itu. Definisi menghibur disini adalah, duduk di samping Ata dan menceritakan sebuah kisah dari novel yang ia baca. Namun alangkah terkejutnya Gita ketika menghampiri Ata dan Ata sedang kalap. Ata menangis yang benar-benar menangis! Membantingi kursi, meja dan memukuli apa saja yang ada disana. Gita takut dan memutuskan untuk mengintip saja. Beberapa saat kemudian, Ridho datang. Ia dan Ata berbicara banyak, membuat Gita yang sengaja mencuri dengar terhenyak. Dari mencuri dengar itu, bukannya Ata yang menyakiti Kirana yang menjadi fokus perhatiannya. Namun bagaimana Ata telah sangat terluka dan terpuruk setelah kejadian itu.
Ata adalah dinding yang kokoh tak teraih, tak terjangkau. Ata adalah badai yang sangat kuat dan dingin. Ata adalah lava yang
menggelegak dan menghancurkan. Ata adalah seorang yang berjalan dengan pisau menancap di dadanya. Ata penuh luka! Dan apa yang dia lakukan… itu adalah salah satu bentuk pertahanan.
“Lo ngebelain Ata?!! Lo ngebelain Ata??!!!”
Angga kalap. Dilemparnya kursi yang ada disebelahnya hingga kursi itu patah. “Itu orang yang ngancurin Kirana, tau!! Aaarggh!! Bram! Bikin cewek keras kepala ini ngerti!!!”
Untuk menenangkan diri agar tidak terjadi hal yang akan ia sesali nanti, Angga berbalik dan pergi. Meninggalkan Gita yang badannya bergetar menahan marah dan Bram yang masygul dan bingung.
Bram menatap Gita lembut. Berharap dengan itu Gita akan lebih melunak dan bisa dibujuk.
”Ayolah Git. Kenapa sih, lo ngebelain Ata?”
“Yang terluka bukan cuma Kirana, tau,” jawab Gita sebal.
“Oke. Anggeplah emang Ata enggak salah-salah banget…” Bram menghela napas. ”Kenapa elo ikut campur? Biarin aja. Ini urusan antara Angga dan Ata. Nggak usah ikut-ikutan dan turutin apa kata abang lo.”
“Kalo gitu lo bisa nggak, nggak usah ikut campur juga dan biarin Angga berhadapan sama Ata sendiri?”
Serangan balik Gita membuat Bram tergeragap.
”Beda cerita, Git. Angga itu sahabat gue.”
“Ata itu… pacar gue.” Gita menggigit bibir, malu.
Kata “pacar” belum tepat untuk melabeli hubungan Gita dan Ata. Karenanya Gita sangat segan untuk menyebut kata itu. Mereka – Gita dan Ata, hanya pacar di atas kertas saja. Agak kurang resmi, begitu. Menyebut Ata sebagai miliknya, membuat Gita seakan mengaku-aku.
Tapi mau bagaimana lagi. Penjelasan itu yang termudah bisa diterima oleh telinga siapapun.
Bram langsung terpaku. Lidahnya kelu. Salah paham dengan kata-kata Gita, Bram berasumsi bahwa Ata benar-benar telah merasuk di hati Gita. Ia patah hati seketika. Ia menelan ludah ketika menguatkan diri untuk berkata-kata, ”Jadi…”
“Jadi gue harus melakukan tugas gue sebagai pacar yang baik,” Gita menegaskan dengan suara melengking. ”Lebih dari itu… ada hati yang lebih rusak dari punya lo atau Angga. Dan gue sudah memilih untuk berdiri dimana.”
Gita memberikan menjelasan dengan lembut. Karena, bukannya ia tidak tahu bahwa sahabat sepupunya ini menaruh hati padanya, bahkan sudah cukup lama.
Bram dan Gita, keduanya saling bertatapan. Saling mencoba membaca perasaan melalui jendela jiwa. Ada keinginan yang kuat untuk memeluk, ada retakan hati yang terlihat jelas. Ada kelembutan juga keras hati yang terpancar, keputusan tidak bisa diganggu gugat lagi. Hanya ada satu kesamaan di sinar mata itu: sama-sama mencoba berdiri di samping orang yang mereka sayang.
“Gue pamit. Tolong sampein ke Angga,” ucap Gita kemudian, memecah kesunyian yang canggung itu. Ia berbalik dan melangkah meninggalkan Bram dengan hati patah.
Melihat punggung Gita makin menjauh, Bram pun dilanda perasaan gundah. Apakah sebenarnya masih ada kesempatan? Apakah ia bisa membuat Gita berpaling? Mungkin… mungkin. Ia harus mencoba. Meski itu mempertaruhkan perasaannya.
“Git… gue… sayang elo,” ucap Bram pelan dan tegas.
Gita menghentikan langkah. Matanya terpejam. Ia sudah menduga, hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Namun kata-kata yang diucapkan Bram dengan serak dan lirih seakan mengucapkan permohonan untuk tetap tinggal itu membuat hatinya bergetar. Terus terang, ia bingung harus menjawab apa pertanyaan dari orang yang sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri itu. Gita menghela napas, kemudian menoleh. Ia menatap Bram tepat di manik mata, untuk membuktikan bahwa ia benar-benar menghargai ucapan Bram barusan.
“Gue tau, Bram,” jawab Gita pelan, sambil menyunggingkan senyum. “Terima kasih, ya,” lanjutnya, kemudian berbalik dan pergi tanpa menoleh lagi.
*
Bandara Soekarno Hatta, 21.15 WIB.
Seminggu di Bali tidak membuat langkah Ari menjadi lebih ringan. Kuta, Sanur, Nusa Penida, Bedugul, Ubud, berbagai diskotik, alkohol dan perjalananya bersama Wayan, tidak membuat langkahnya ringan. Tidak ada hari yang tidak ia habiskan dengan memikirkan Jakarta. Dan orang yang ia sayangi yang berada disana.
Seminggu di Bali adalah pergolakan batin yang hebat. Ditahannya kuat-kuat keinginan untuk langsung berlari, melesat, terbang menuju orang yang sangat amat ingin dipeluknya. Rasa rindu dan sesak memenuhi rongga dada Ari, membuatnya sangat sakit sehingga ada waktu-waktu dimana ia terlihat seperti orang sakaw saking menderitanya. Sengaja berganti-ganti nomer untuk memberi kabar Mama dan Papanya, agar ia tak terlacak dan tidak ada yang bisa menghubunginya. Karena hanya satu SMS saja dapat membuatnya langsung melesat dan merobohkan segala benteng pertahanannya.
Seminggu di Bali sangat menyiksanya. Namun bagaimanapun ia harus bisa menghadapinya. Meninggalkan Tari memang bukan hal yang mudah namun hal itu harus ia lakukan. Demi kebaikan gadis itu sendiri… juga penebusan rasa bersalahnya pada orang yang selama Sembilan bulan berbagi rahim sang ibu dengannya. Tak apa, Ari ikhlas. Karena mungkin itu adalah harga mahal yang harus ia bayar.
Antara ia dan Ata… entah apa yang terjadi hingga seperti ini. Mereka sama-sama terluka, sama-sama berperang menghadapi bayang-bayang. Saling berperan menjadi yang lain, sekedar untuk mengobati hati. Setelah sekian lama berdiri sendiri, memang sangat sulit tiba-tiba harus berdua lagi. Ata telah melewati hidup yang keras, apapun itu. Untuk kebahagiaan Ata, Ari rela memberikan semua.
Ari menghela napas. Dadanya sakit karena ia teringat Tari. Gadis yang termaterai takdir untuk menjadi jalan pulang baginya, namun tidak untuk bersama. Ikhlas… ikhlas… ia memejamkan mata, kemudian berjalan. Langkahnya masih berat, tapi ia harus paksa untuk kuat. Ia langsung menaiki taksi yang berhenti di depannya. Ia menyandarkan diri di jendela. Merasa sangat letih.
Seminggu sudah nomornya tidak diaktifkan. Sebenarnya ia agak penasaran juga berita apa yang ia lewatkan seminggu ini. Ia ambil ponsel dari sakunya kemudian mengganti simcard yang ada di ponselnya sekarang dengan simcardnya yang asli. Nomor keramatnya. Dan benar saja, begitu diaktifkan ada begitu banyak SMS yang masuk. Sebagian besar dari sahabatnya, Ridho dan Oji, ada Fio juga dan, yang membuat dada Ari serasa berhenti… Tari.
Ia langsung menchecklist semua SMS dari Tari, kemudian ia menghapusnya tanpa membacanya sama sekali. Sengaja, karena satu pesan dapat menggoyahkan hatinya. Dan ia tidak bisa menjamin apa
dia bisa bertahan untuk tidak berlari dan mengajak Tari berlari bersamanya, jauh dari segala yang ada sekarang.
Satu demi satu ia baca SMS yang ada. Standar, menanyakan kabar, menanyakan dimana ia, sehat atau tidak. Menceritakan kejadian di sekolah. Memberitahu ada PR, tanding futsal, dan sebagainya. Kemudian tinggal 1 yang belum ia buka. Sebuah MMS dari Oji. Tanpa ada perasaan apapun ia membukanya. Dan seketika… napasnya berhenti!!
MMS itu sebuah foto. Foto Tari di kelas, sedang menangis ditenangkan oleh Fio. Merasa itu belum cukup, Oji menulis caption Begini keadaan Tari, setiap hari, semenjak lo tinggalin Bos…
Satu pesan… benar dapat membawanya langsung melesat seperti anak panah yang lepas dari busurnya! Seperti kesetanan, Ari langsung memerintahkan supir taksi untuk putar balik dengan tujuan rumah Tari.
*
Dua jam. Dua jam yang sangat menyiksa. Disinilah ia sejak dua jam yang lalu. Berdiri di depan rumah gadisnya. Memandangi jendela kamar gadis itu, berusaha mereguk kerinduan yang menggelegak di dada, yang terpancar melalui siluet. Namun kali ini Ari hanya cukup melihat jendela saja. Tidak ada siluet. Lampu kamar itu sudah mati, bahkan mungkin sebelum Ari datang kesana. Ari tertawa, getir. Setelah ia nyaris kehilangan kesadarannya tadi, ternyata pemandangan yang ada tidak seperti yang ada dalam pikirannya.
Sebagian hatinya merasa lega, karena itu berarti, Tari baik-baik saja. Sebagian hati yang lain merasa sakit luar biasa, karena itu berarti Tari baik-baik saja… tanpanya. Tapi ia menekankan kuat-kuat dalam hatinya, ini yang terbaik. Ini yang terbaik.
Ada satu hal yang Ari tidak tahu. Tadi siang, Tari di sekolah pingsan. Sudah seminggu lebih makan Tari berantakan, kurang tidur dan menangis hampir setiap waktu.
Hari ini adalah puncaknya. Setelah tangis Tari meledak tiba-tiba waktu istirahat, ia langsung pingsan. Hidungnya mimisan, pula. Hampir satu sekolah heboh. Fio yang menangis tergugu, Oji dan Ridho membawa Tari ke UGD. Walau setelah diperiksa, ternyata Tari tidak apa-apa. Hanya lelah saja dan maagnya kambuh. Stress memang membuat tubuh Tari sangat lemah. Mama Tari langsung histeris mendapati anaknya diantar pulang dalam keadaan lemas begitu, ditambah adanya obat dari rumah sakit, pula. Segera saja beliau memaksa Tari untuk beristirahat, menyuapinya makan yang banyak dan memaksanya minum obat.
Di antara banyak obat yang diresepkan, ternyata ada obat tidur. Karenanya Tari langsung jatuh tertidur setelah meminum obat. Ya, Ari tidak tahu itu. Dan mungkin sebaiknya tidak perlu tahu.
Ari merasa Tari sudah baik-baik saja. Namun tetap saja ia pandangi jendela kamar Tari. Sedikit berharap terlihat siluet Tari disana. Sedetik saja tidak mengapa. Untuk mengobati kerinduan dan sakit hatinya…
“Udah gue duga. Elo disini.”
Ari terperanjat. Ia menoleh ke arah suara, tepat di belakangnya. Ari mendesah, merasa lelah untuk menanggapi orang itu. Angga.
“Lo mau apa lagi?”
Angga tersenyum menghina, menatap Ari dari atas ke bawah seakan menilai apakah Ari berhak berbicara padanya atau tidak.
”Apa yang gue mau udah terlaksana. Sedikit demi sedikit. Itu juga berkat elo. Makasih ya, ‘Suh’,” ucap Angga sembari membungkuk
berlebihan dan memanggil Ari dengan sebutan ‘Suh’, kependekan dari ‘Musuh.’
“Maksud lo apa?” Tanya Ari, defensif. Moodnya sedang tidak baik dan sebaiknya Angga berhati-hati sebelum Ari naik darah.
Angga tertawa terbahak, kemudian menepuk bahu Ari.”Gak usah sensitif begitu, dong. Gue cuma nggak habis pikir aja sama lo dan Tari. Pasangan… apes. Nggak sengaja ada di medan perang, kemudian jadi sasaran.”
Ari hanya terdiam mendengar jawaban Angga yang berputar dan tidak jelas apa maksudnya. Sunyi langsung menyeruak, hanya dipecahkan oleh suara lalu lalang kendaraan di jalan besar ujung gang yang nampaknya sangat jauh.
“Dari awal dulu…” Angga menarik napas, memecah keheningan. “Gue udah kasih peringatan ke elo. Tapi lo dengan sombongnya nggak mau denger. Gue juga udah kasih peringatan ke Tari. Cewek itu…”
Angga tertawa, mengingat reaksi Tari.
”Cewek itu begitu bodohnya mengira elo bisa ngelindungin dia selamanya. Pasti sekarang dia nyesel banget lo lepeh gitu aja.”
“Gue enggak lepeh dia!” Ari meradang mencengkram kaus Angga. “Gue nggak ada niatan sama sekali buat ninggalin dia! Tapi keadaan…”
Angga melepas cengkraman Ari dengan mudah. Ganti ia yang mencengkram kerah kaus Ari, dan mendesis geram.
“Justru itu! Keadaan! Dari dulu juga udah gue peringetin Tari buat jauhin lo biar nggak keseret masalah! Gue juga udah kasih peringatan buat lo ngejauhin Tari biar dia nggak dapet masalah! Lo ini trouble maker!”
Kata-kata Angga barusan serasa menampar Ari keras. Ari diam. Sama sekali tidak membantah dan melawan Angga. Ia sudah sangat
pasrah. Dan merasa sangat bersalah karena sudah terlambat menyelamatkan hati Tari dari kehancuran yang disebabkan olehnya.
“Lo… udah gak bisa jaga Tari lagi!!!” bentak Angga. “Lo sakitin dia terus-terusan!”
“Maaf,” ujar Ari lirih, menelan ludah.
Angga tercekat. Ari yang begitu gagah berani di medan tawuran, seorang lawan yang sulit sekali ia kalahkan di segala bidang… melemah! Benar-benar Angga tidak mempercayai pengelihatannya sendiri. Dari dekat, dilihatnya kehancuran yang nyata, benar-benar nyata… dari Ari!
Angga melepas cengkramannya. Ia sama nelangsanya dengan sosok musuh yang berada di depannya ini, dengan alasan hampir sama. Jingga Matahari.
Malam semakin larut. Namun Angga dan Ari sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari jendela kamar Tari. Keduanya, bersebelahan, asyik dengan pikirannya masing-masing. Mereka mencintai gadis yang sama. Yang sedang dipeluk kehangatan kamar, tanpa merasa ada dua hati yang terkoyak berdiri di depan rumahnya.
*
Pagi itu Tari bangun dengan kepala yang sangat berat dan badan yang sakit luar biasa, seperti sedang terkena flu. Tari membersit hidungnya. Ternyata benar, ia terkena flu. Andai saja hari ini tidak ulangan kimia, maka ia malas sekali pergi ke sekolah. Ia tidak enak badan, ditambah sudah tidak ada orang yang ia cari di sekolah. Tari meringis. Belum-belum air matanya mau tumpah lagi. Ia mendesah. Betapa cengengnya ia beberapa hari terakhir ini.
Tari memaksakan bangkit dari tempat tidur dan bersiap ke sekolah. Sedikit terburu-buru, karena ia terlambat bangun. Mamanya
memang sengaja tidak membangunkannya, karena Mama pikir ia masih sakit, setelah kemarin ia pingsan kemudian diantar pulang oleh Fio, Ridho dan Oji. Benar-benar memalukan. Dirinya, maksudnya. Bisa pingsan begitu dan sampai merepotkan banyak orang.
Selesai mandi, Tari mengambil ponselnya, menelepon Ridho. Ia harus berterima kasih pada seniornya itu karena telah mengantarnya pulang kemarin. Karena mungkin nanti di sekolah, ia tidak sempat mengatakan ucapan terima kasihnya pada Ridho. Ia tidak mungkin datang ke kelas Ridho dan… tidak mau. Terlalu menyakitkan. Ari tidak disana.
“Halo, Kak. Ini Tari…” sapa Tari dengan suara serak, ketika teleponnya diangkat.
“Iya, tau. Ada apa, Tar? Sehat?”
“Nggak ada apa-apa, Kak. Saya sehat. Makasih ya, Kak, kemarin udah nganter saya pulang,” ucap Tari tulus.
“Bohong. Suara lo serak gitu. Sehat darimana?” Ridho terkekeh. ”Udah, lo tidur lagi aja. Istirahat dulu baik-baik dirumah.” ujar Ridho penuh pengertian. Tari terdiam, tahu betul apa yang dimaksud Ridho.
“Ng… nggak, Kak. Saya masuk sekolah, kok. Ada ulangan kimia, Kak.”
“Hah?! Dengan kondisi kaya gini lo mau masuk?! Trus lo berangkat sekolahnya naik bus?! Ck!!” Ridho berdecak. Tidak mengerti dengan jalan pikiran Tari. Ulangan masih bisa ikut susulan. Tapi kalau pingsan di bus, siapa yang menjamin?
“Iyalah Kak. Naik bus. Biasanya juga gitu,” Tari membalasnya dengan keki karena pagi-pagi sudah dimarahi. “Sudah ya, Kak –“
“Tunggu gue. Lima belas menit lagi gue sampe.”
Kemudian telepon ditutup tanpa menunggu jawaban dari Tari. Mata Tari melebar. Kesal. Ridho ini betul-betul otoriter sekali. Seperti…
Tari tercekat. Tidak mau mengingat lagi. Setidaknya… sebelum ulangan kimia yang sangat menguras tenaga itu. Tari menghela napas. Ia kembali bersiap-siap sebelum berangkat ke sekolah.
Beberapa menit kemudian, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah Tari. Tari melihat jamnya. Belum ada lima belas menit. Tari pun mempercepat persiapannya kemudian pergi ke ruang tamu, dimana Ridho sedang mengobrol asyik dengan Mamanya.
“Tari berangkat dulu, ya, Ma,” pamitnya sembari mencium tangan Mamanya.
Mamanya mengangguk. ”Hati-hati, ya. Kalau nggak kuat, minta dianterin pulang aja sama Ridho.”
Tari melirik tajam ke arah Ridho yang menyunggingkan senyum kemenangan. Setelah Ridho berpamitan pada Mamanya, mereka pun langsung naik ke sedan putih Ridho dan berangkat ke sekolah.
“Katanya lima belas menit. Itu baru sebelas menit, ya, Kak, dari gue nutup telpon. Cepet amat datengnya,” gerutu Tari. Ridho hanya tertawa.
“Gue nggak mau ambil resiko. Takutnya lo ngabur dulu ke halte. Soalnya kata Ari lo sukanya ngabur kalo nggak mau dijemput.”
Ridho mengatakannya dengan santai, tanpa sadar ucapannya membuat Tari agak guncang.
Mengingat Ari, mendengar namanya… betul-betul bisa membuat Tari kacau seketika. Tari menghela napas, berusaha tenang. Kemudian ia mencari bahan pembicaraan yang tidak sensitif dan tidak ada
hubungannya sama sekali atau bahkan mengarah pada Ari. Tanpa sadar mereka sudah berada di parkiran sekolah.
Tari sudah akan mendesah lega, ketika sebuah motor hitam, yang sangat familiar, parkir di sebelah mobil Ridho. Jantungnya serasa berhenti berdegub, ia kehilangan kemampuan untuk bernapas. Astaga…ini benar yang berada disampingnya...
Hanya kebetulan belaka. Motornya datang sepersekian nano detik dari mobil Ridho. Hanya kebetulan belaka ia parkir di samping mobil Ridho, karena memang hanya itu satu-satunya tempat yang belum terisi. Siapa yang sangka ia akan melihat gadis ini keluar dari mobil Ridho? Benar-benar di luar dugaan! Dan membuat geram hatinya. Dalam hati ia belum memutuskan akan berlaku seperti apa kepada Ridho, nanti.
Ari melepas helm dan menaruhnya di stang motor. Sengaja ia mengabaikan keberadaan dua orang yang sedang melongo seperti melihat hantu ketika menatapnya. Sengaja ia tidak menatap mereka, pura-pura tidak mengenal. Ari akan melepas jaketnya, sebelum ia menyadari bahwa lengannya dipegang oleh seseorang. Erat-erat. Ari memejam, meneguhkan hati untuk tidak memeluk gadis yang memegang lengannya itu.
“Kak Ari... baik-baik aja… baik-baik aja…” bisik Tari lirih, menahan isaknya.
Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Tidak membutuhkan jawaban. Pernyataan yang membuat Ari ngilu, karena diucapkan dengan nada yang lega luar biasa. Pernyataan yang membuat Ari ngilu, karena kata pertama yang diucapkan Tari bukanlah tuntutan untuk menjawab serentet pertanyaan, namun murni bahagia karena melihat Ari yang baik-baik saja.
Ari membuka matanya. Ia menoleh, menatap Tari yang masih memegang erat jaketnya, seakan Ari bisa saja melesat pergi bila Tari melepas pegangannya. Ari terkesiap melihat keadaan gadis yang berdiri di depannya itu. Berapa banyak berat badan yang turun dalam satu minggu? Tari nampak begitu kurus dan sangat pucat!
Dengan sekali lihat saja Ari tahu bahwa Tari ini sedang tidak sehat. Mukanya pucat dan ada lingkaran hitam di matanya yang bengkak itu. Mau tidak mau Ari teringat MMS Oji semalam yang membuatnya langsung melesat ke rumah Tari. Oji benar. Tari terlalu banyak menangis.
Ari membungkuk agar wajahnya sejajar dengan Tari. Ditatapnya Tari dalam-dalam, dengan penuh kesungguhan. Disentuhnya pipi Tari dengan kedua tangan yang gemetar.
”Iya. Gue baik-baik aja. Seharusnya lo juga gitu, ya.”
Menahan mati-matian hasrat untuk memeluk gadis yang ada di depannya ini, Ari membalikkan badannya. Namun baru beberapa langkah berjalan, Tari menyongsongnya dan memeluknya dari belakang. Punggung Ari sedikit basah. Air mata Tari mengalir deras membasahi baju Ari.
Kepada gadis yang telah diseretnya menuju medan perang. Kepada gadis yang pernah dipaksa berdiri disampingnya, namun akhirnya sukarela menjadi penopang dirinya. Kepada gadis yang pernah dijanjikannya bahagia…
Ia harus melanggar janjinya.
*
Airlangga pagi ini kedatangan tamu yang istimewa. Panglima Perang Brawijaya dan tangan kanannya. Kunjungan diplomatis, begitu spekulasi yang beredar mengenai alasan kedatangan kedua tamu dari
Brawijaya tersebut. Kunjungan yang menandakan bahwa hubungan Airlangga dan Brawijaya memang berjalan baik.
Namun, terlepas dari semua pandangan kagum mengenai membaiknya hubungan diplomatik antara Airlangga dan Brawijaya, ada pandangan tidak suka melihat kedatangan kedua tamu istimewa itu. Panglima Perang Airlangga itu sendiri. Ata.
“Lo ngapain kesini pagi-pagi? Nggak ngomong apapun, lagi!” tegur Ata, menghampiri Angga dan Bram di depan pintu gerbang.
Angga tersenyum, manis.”Elo ini. Belum-belum gue uda lo semprot begitu. Entar gue salah sangka, lho, ngirain lo nggak mau dikunjungin.”
Ata mendesah. Ia harus mengontrol moodnya. Terutama di depan partner in crime nya ini.
”Sori-sori. Ada urusan apa pagi-pagi kesini?”
Masih tersenyum, Angga menjawab pertanyaan Ata halus.
”Gue denger dari Gita kalo sekarang lo udah berhasil misahin dua matahari – Ari dan Tari. Untuk itu, gue ngucapin makasih banyak. Gue jadi bisa ngerebut Tari lagi. Nggak pa-pa, kan?”
Ata mengendikkan bahu, terlihat tidak peduli.
”Terserah lo aja. Udah, gitu doang?”
Kali ini Bram yang menjawab pertanyaan Ata. Dengan super ramah!
“Enggak, lah. Gue sama Angga kesini buat ngasih tau lo, kalo kami – Angga maksud gue, mau lihat kejatuhan kembaran lo itu jauh lebih parah dari ini. Angga pengen nantangin Ari trek-trekan. Honestly, dari dulu dia penasaran sih, ngalahin Ari di adu balap.”
Ata terdiam sejenak. Mencoba mencari celah kejanggalan dari perkataan barusan dan pertemuannya dengan Angga dan Bram sepagi ini. Setelah beberapa saat, Ata menyerah kemudian mengangkat bahu.
“Kalo itu mau lo.”
Angga menjentikkan jempolnya. ”Bagus! Gue minta bantuan elo buat ngegiring Ari ke TKP yang udah Bram siapin,” Angga menepuk bahu Bram, seakan proud Dad. ”Bisa, kan?”
“Oke. Lo kirim waktu dan tempatnya aja. Nanti kita bicarain lagi lebih detailnya. Udah mau bel, nih. Gue masuk, ya?” pamit Ata.
Angga mengacungkan jempolnya, mempersilahkan Ata untuk hengkang terlebih dahulu.
“Eh, ngomong-ngomong, wakil lo, si Ridho, mana?”
Pertanyaan barusan sangat menohok hati Ata. Baru ia menyadari bahwa ia benar-benar sendiri sekarang. Tanpa siapapun yang mendampinginya. Selama ini Ata berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja. Namun Ata tahu betul bahwa segalanya tidak baik-baik saja. Pengkhianatan Ridho sebaiknya tidak ia ungkapkan di depan Angga. Ata memutuskan untuk langsung pergi tanpa menjawab pertanyaan Angga.
*
Angga terenyak dan seketika ia kehilangan seluruh kemampuan motorik dan bicaranya. Melihat pemandangan itu… sangat mengiris hati Angga. Pemandangan itu… di tempat parkir. Ari, berdiri mematung dengan gadis yang memenamkan wajahnya di punggungnya – yang Angga yakin sekali itu adalah Tari.
Ketidaksengajaan melihat pemandangan di tempat parkir itu sebabkan oleh Bram yang sangat kebelet buang air kecil. Dan setelah bertanya pada satpam, diketahui bahwa kamar mandi terdekat adalah di ujung lapangan, dekat tempat parkir. Siapa sangka dalam perjalanan menuju tempat parkir mendapat pemandangan yang bisa mengaduk-aduk perut Angga?
Selama ini memang Angga mendengar bahwa kemesraan antara dua matahari itu memang menghebohkan. Dan kemarin, Gita bercerita bahwa pasca perpisahan Ari dan Tari, mereka berdua terlihat sangat amat nelangsa! Ketika dua pemandangan itu dijadikan satu dan disodorkan pada Angga secara langsung, membuat Angga langsung kacau seketika. Pikirannya berkecamuk. Ingin sekali ia berlari kesana, menarik Tari dalam pelukannya sendiri. Agar gadis itu tidak terlibat dengan segala kehebohan. Agar gadis itu aman dan tenang dalam penjagaannya.
Ia sangat menyesal. Karena dulu sekali… ia telah membuang kesempatan yang tersodor di depannya! Memaksa gadis itu berpaling padanya dan memilih punggung lain untuk bersandar. Punggung musuhnya…
“Ga.”
Suara Bram menyadarkannya. Ia menarik napas. Sudahlah, tidak ada waktu untuk menye-menye. Sesuatu yang lebih besar – hadiah yang lebih besar, menunggu kedua sejoli itu. Angga menatap Bram, yang dibalas dengan anggukan. Mereka berdua pun menghampiri Ari dan Tari – plus Ridho yang melongo melihat pemandangan di depannya.
“Hei.”
Ari dan Tari, seperti tersengat. Keduanya tersadar dan langsung memasang posisi siap tempur. Sedang Ridho langsung ada di belakang Ari, membayangi. Angga tertawa sumbang.
“Ah, Ridho… ternyata lo balik ke majikan lama…” Bram menggeleng, takjub. ”Pantes tadi lo nggak ada sama Ata… barusan kami ketemu sama dia.”
Menanggapi ucapan Bram, Ridho hanya tersenyum tipis. Tanpa mengendurkan kewaspadaannya sama sekali. Ari pun demikian, sudah
dalam posisi menyerang. Melihatnya sikap tersebut, Angga tertawa. Benar-benar mengingatkannya pada tawuran yang sering mereka lakukan.
“Pada serius banget, sih. Lo nggak perlu pasang kuda-kuda di depan gue, Dho. Lo juga, Ri.” Angga tergelak. ”Gue disini nggak mau ngapa-ngapain, kok. Lo tenang, ya, Tar. Ari nggak gue apa-apain, kok – belum.”
Angga berucap manis, sembari menyentuh pipi Tari. Tari langsung menyentaknya, tidak suka.
”Ck! Gue sentuh aja nggak mau.” Angga memasang tampang terluka – dan memang iya. Penolakan Tari barusan menamparnya telak, dan membuatnya semakin bertekad menjalankan rencananya.
Sedangkan Tari... matanya melebar, memelototi Angga. ”Bisa lo nggak ganggu gue? Nggak ganggu Ari?”
“Ck, ck… lo jangan suudzon sama kami, Tar. Karena kami malah mau ngajakin Ari main,” Angga mengedipkan sebelah matanya. Kali ini dilayangkan pandangannya pada Ari.
”Arena 21. Minggu depan. Jam satu malem. Lo kudu dateng. Atau…”Angga tertawa, ”Yah, gue ngerti kalo elo takut.”
“You wish.”
Ari dan Angga. Keduanya berhadapan dengan tatapan ingin membunuh orang yang berada di depannya. Genderang perang telah berbunyi.
Ari dan Angga. Keduanya berhadapan dengan tatapan ingin membunuh orang yang berada di depannya. Genderang perang telah
berbunyi. Dan tidak ada jalan untuk menariknya kembali. Dari peperangan ini, semuanya tidak bisa lari.
Kemudian, dengan langkah gontai kedua pentolan Brawijaya tersebut pergi dari Airlangga.
Merasa semua urusannya sudah selesai – ditambah lagi bel masuk yang telah berbunyi nyaring – Ari turut melangkahkan kakinya menuju kelas. Namun teriak kekhawatiran dari Ridho menahannya.
“Jangan pernah lo dateng memenuhi tantangannya Angga! Tu orang pasti punya niatan busuk, Ri!!”
Ari tertawa datar. “Kenapa lo masih nguatirin gue, sih? Kan udah gue bilang, jangan pernah ninggalin Ata.”
“Ari!”
“Masalah tantangan dari Angga... Itu urusan gue.”
Ridho meremas rambutnya sendiri, jengkel dengan sikap dingin orang yang masih dianggapnya sebagai sahabat. “Denger ya, gue mulai bosen sama kata-kata ‘ini urusan gue’ yang selalu lo lontarin. Sejak kapan lo selalu bertindak sendirian, hah?!”
“Sejak keluarga gue hancur berantakan,” desisnya. “Puas lo?!”
Bukan itu! Ridho tidak pernah bermaksud menyinggung ke arah itu, namun Ari malah menangkap yang sebaliknya.
“Woy, Kuya! Gue serius. Pikirin lagi. Balapan itu bukan sesuatu yang bisa dianggap enteng –“
“Trus lo maunya gue tolak? Dan bikin Angga tertawa puas, makin aja dia ngeremehin gue, gitu? Mau negasin ke semua orang kalo gue lembek? Itu maksud lo?” Ari tertawa miris. “Iya, lah. Pasti itu.”
PLAKK! “Woy, Kuya!”
Ridho menatap Ari dengan tatapan terluka. Ia merasa tersindir. Malu, namun juga sakit hati. Segala akting pengkhianatan yang ia lakukan kemarin emangnya untuk siapa? Untuk apa? Sebenarnya ia tidak suka dan tidak mau mengumbar yang sudah dia lakukan. Namun Ari ini sepertinya harus diberi penjelasan. Kesalahpahaman ini, semuanya harus diluruskan.
“Lo mau menyinggung tentang sikap gue kemarin dulu? Oke, gue jelasin!” Saat ini, emosi Ridho yang sedang menggelegak sangat kontras dengan sikap Ari yang cuek. Namun Ridho tetap bicara. “Lo tau kenapa gue deketin Ata? Supaya gue tau motifnya yang sebenarnya! Sodara macam apa yang tega nyakitin sodaranya sendiri?! Tapi gue sadar, kalo seb –“
Ari mengangkat tangan kanannya, mengisyaratkan agar Ridho berhenti bicara. Ia menghela napas. Sebenarnya ia tidak perlu penjelasan dan Ridho tidak perlu mengklarifikasi. Terlepas dari makarnya Ridho itu dilakukan dengan sukarela atau terpaksa, Ari sama sekali tidak mempermasalahkannya. Baginya, jika hal itu membuat Ridho lebih baik, Ari akan berbahagia untuknya. Apalagi Ridho berlari ke sisi saudara kembarnya yang membutuhkan penopang seperti ia dulu. Ari berharap, Ridho dapat menjaga Ata seperti Ridho menjaganya.
Namun, tidak dapat ia pungkiri, kembalinya Ridho ke sisinya – terlepas apakah cowok itu benar melakukan makar atau tidak – sangat meringankan hatinya. Hanya saja, pagi ini Ridho perlu diingatkan bagaimana caranya ia “bekerja”. Lebih dari apapun, harusnya Ridho mengerti bahwa untuk saat ini, Ari sangat butuh pelampiasan.
Menanggapi tantangan Angga merupakan salah satunya.
“Akhirnya lo sadar kalo sebenernya apa yang terjadi di antara kami murni urusan pribadi!” tukas Ari tandas. “Begitu juga dengan masalah gue dan Angga. Oke? Gue masuk dulu.”
Ridho ternganga mendengar jawaban dingin yang keluar dari mulut Ari. Dilihatnya Ari kembali menutup hati. Ingin sekali rasanya Ridho menghujani Ari dengan tinjuan yang bertubi-tubi, sekadar untuk menyadarkan sahabatnya itu kembali. Namun, jika diingatnya lagi apa yang sudah Ari jalani dalam kehidupannya akhir-akhir ini, mati-matian Ridho menahan agar emosinya tetap terjaga.
“Tar, TARI!! Lo jelasin ke kunyuk satu itu, Tar!”
Tari, yang sejak kepergian Angga hanya diam mematung, terlonjak mendengar teriakan frustasi Ridho tersebut. Berkali-kali ia menarik napas panjang, seakan berpikir keras mengenai apa yang ia akan jawab.
Setelah didera perang bertubi-tubi dan berakhir dengan kekalahan. Setelah ditusuk sana-sini tanpa bisa melawan sama sekali... Tari mengerti bahwa Ari butuh pengakuan. Agar sedikit saja ia mendapatkan kembali pridenya yang telah dinjak-injak. Dan mungkin, mungkin… - muka Tari memerah karena memikirkan hal ini – setelah Ari mendapatkan kembali sisa-sisa kekuatannya… ia akan tersadar bahwa sebenarnya Tari tidak membutuhkan apa-apa dari Ari – kekuasaannya dan kekuatannya – kecuali keberadaan cowok itu disampingnya. Hanya disampingnya.
Setelah melewati pergolakan batin yang rumit, akhirnya Tari angkat bicara. Dengan suara berat karena flu yang dideritanya, dan juga karena apa yang akan ia katakan nanti... Tari berjalan pelan. Menjauh, meninggalkan keduanya.
“Kalo emang lo mau trek-trekan sama Angga... Silakan. Gue nggak punya kewenangan untuk mencegah. Juga Kak Ridho.”
Semakinlah Ridho menganga, stres melihat kelakuan kedua zombie yang telah berjalan menuju kelasnya masing-masing.
*
Pada akhirnya, Tari tetap tidak memiliki tenaga yang cukup untuk mengerjakan ulangan kimia. Itu semua gara-gara kedatangan Angga. Tari sangat takut. Paranoid, malah. Perasaannya berkata… akan ada badai yang sangat besar menerpa mereka. Lagi.
Tari memang berhasil bertahan di ruang kelasnya, namun bukan untuk mengerjakan soal di hadapannya. Yang ia lakukan hanyalah menatap kosong entah kemana, dengan tangan yang sama sekali tidak melakukan aktivitas tulis-menulis. Bu Pur yang tidak sampai hati melihat muridnya nelangsa seperti itu akhirnya memutuskan agar Tari dibawa ke UKS saja ditemani Fio.
“Kalian ulangan susulan saja.”
Sebenarnya anak-anak sekelas ingin protes, namun nggak tega karena kondisi Tari yang seminggu belakangan benar-benar parah. Sudah tidak ada lagi yang sampai hati mencemooh Tari.
Fio akhirnya menuntun Tari keluar kelas, namun tidak ke UKS. Tempat tujuan mereka adalah gudang yang telah dinobatkan sebagai markas mereka berdua.
Disitulah, tangis Tari kembali pecah.
Sungguh, bukannya Fio jahat atau bagaimana. Tapi melihat Tari yang terus-terusan menangis seperti ini, Fio benar-benar nggak tega. Maka, disinilah batas kesabaran Fio. Diangkatnya wajah Tari dan... PLAK!
Kontan saja Tari terkejut karena mendapat tamparan dari Fio. Tamparan tersebut tidaklah terlalu kuat, namun efeknya menggentarkan sampai ke dasar hati terdalam!
“Sadar, Tar! Sadar!” Giliran Fio yang histeris, lebih untuk menutupi perasaan bersalahnya akibat menampar Tari. “Bukannya lo sendiri yang bilang, lo mau jadi kuat demi kak Ari? Bukannya lo sendiri yang bilang, udah cukup tangis-tangisan nggak berguna? Kenapa semuanya selalu lo langgar sekarang, Tar?!”
Ketika dilihatnya Tari mematung dan tak bereaksi, Fio melanjutkan kata-katanya dengan intonasi yang lebih lembut. “Gue disini, sebagai sahabat... Cuma mau ngingetin lo atas semua yang pernah lo janjiin bakal dilakuin dulu. Katanya lo mau kuat demi Kak Ari. Kalo elo sendiri melemah gini, apa Kak Ari juga bakal jadi kuat? Nggak, kan?”
“Tapi, Fi...” suara Tari tersendat-sendat. “Dia selalu menghindar...”
“Tapi bukan jadi alasan buat lo melemah, kan? Coba... sekarang ada apa lagi, sih. Tar?”
“Angga... Angga ngajak dia balapan, Fi. Gue takut. Tapi... tapi gue nggak nyegah dia. Gue malah nyuruh dia pergi –“
Fio menghela napas. Ternyata masih ada satu masalah lagi. Angga.
“Yaudah... Coba lo tenang dulu ya,” dirangkulnya sahabatnya itu dengan penuh empati. “Apa yang lo lakuin udah bener, kok... Lo udah ngedukung Kak Ari. Tapi, lo jadi punya pe-er, Tar...”
Benar. Tari jadi punya pe-er baru. Yang harus segera ia selesaikan. Meskipun ia benci melakukan hal ini, tapi setidaknya... Patut untuk dicoba. Agar masih ada bagian dari dirinya yang tersisa untuk
membantu Ari. Walau tidak dengan berjalan bersisian di samping cowok itu.
*
Siang ini Brawijaya kedatangan tamu istimewa. Sangat istimewa sehingga menimbulkan keributan. Bagaimana tidak, mereka sangat takjub melihat seorang gadis yang memakai bed sekolah musuh, dengan gagah berani berdiri di depan pintu gerbang.
Memang, hubungan Airlangga-Brawijaya sudah membaik. Namun, seperti kata salah satu sitcom di sebuah stasiun TV swasta, nggak gitu juga, kali! Permusuhan antara dua sekolah itu telah berakar, diturunkan entah dari berapa generasi. Keberadaan gadis itu dianggap sebagai tantangan. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan – pengkhianatan Airlangga, misalnya, beberapa orang berinisiatif memanggil Panglima Perangnya dan menyeretnya untuk melihat sendiri ‘tantangan’ yang terpampang di pintu gerbang.
Jika tadi Angga yang dengan seenaknya melenggang di SMA Airlangga, maka sekarang dirinya justru terbengong-bengong karena melihat kedatangan Tari – sendirian – di SMA Brawijaya.
“Tari?!”
Segera Angga menyeret Tari menuju taman sepi yang terletak di belakang SMA Brawijaya untuk meminimalisir mulut-mulut usil yang suka mengambil kesimpulan sembarangan. Rahang Angga mengeras. Ditahannya mati-matian hasrat untuk memeluk gadis yang berada dalam gandengannya ini. Yang tangannya dingin dan mukanya sangat pucat.
Melihat Tari yang sepertinya tidak punya inisiatif untuk melakukan apapun kecuali menjadi arca batu, Angga dengan hati-hati mendudukkan cewek itu di sebuah bangku, sebelum kemudian
mengambil duduk di sebelahnya. Ditatapnya wajah Tari lekat-lekat, dengan rakus, seakan tidak mempunyai kesempatan untuk menatap wajah gadis ini keesokan hari.
Angga mengambil napas dalam-dalam, menyembunyikan kegetiran hatinya. Gadis yang berada di sampingnya ini lemas dan lunglai. Pucat dan tampak tidak sehat. Dan baru Angga sadari, berat badan gadis ini telah merosot tajam semenjak terakhir Angga melihatnya secara jelas. Angga shock. Kini, setelah dilihatnya Tari dengan lebih seksama... Cewek itu jelas hancur! Tak ada keraguan atasnya. Namun, dibalik kehancuran hatinya, Angga melihat cewek ini masih menyimpan harapan, walau sangat kecil.
“Gue... mau bicara sama elo,” Agak tersendat, gadis itu akhirnya berucap memecah keheningan. Suaranya bergetar, namun memaksa untuk mengucapkan setiap kata sejelas mungkin, setegas mungkin.
Setelah beberapa detik ketercengangan, Angga akhirnya tersadar. Ia mengerti tujuan Tari datang menemuinya.
“Ari yang ngutus elo?” tanya Angga sinis dan agak sakit hati. Ia belum bisa memastikan sakit hatinya ini karena gadis yang berada di sampingnya ini selalu saja menjadi perisai Ari dan menghambat ruang gerak Angga, atau karena gadis ini telah berlari pada punggung orang yang sangat amat dibencinya.
“Dia bahkan nggak tau kalo gue kesini,” Tari menjawab datar, kemudian ia menghela napas sebelum melanjutkan, “Apa yang sebenernya lagi lo rencanain, Ga?”
Angga menghela napas panjang. Hatinya sedang bergulat, karena gadis di hadapannya ini. “Semuanya udah jelas. Nggak ada yang perlu gue jelasin lagi.”
“Bohong!” Sergah Tari murka. “Lo... Ngerencanain sesuatu yang berbahaya!”
“Makanya, datang ke gue, Tar! Supaya lo bisa terhindar dari bahaya tersebut!”
Teriakan Angga juga mengandung kesakitan yang mendalam, walau mungkin nggak akan sama bila dibandingkan dengan yang sedang Tari rasakan. “Setidaknya, gue nggak bakal bikin lo tersiksa batin kayak gini...”
“Lo yang pergi, dan lo juga yang datang terlambat...” Tari mendesah lemah. “Harus berapa kali gue tegasin ini, sih?”
“Kalo gitu... biarin Ari menjalani tantangan dari gue,” Angga berujar final. “Apa yang akan terjadi disana, serahkan semuanya pada nasib.”
Angga bangkit dari duduknya, bersiap meninggalkan Tari. Sebelum gadis itu sempat menahannya, Angga langsung menambahkan kalimat penegas.
“Nggak, Tar. Gue nggak akan merubah pikiran lagi tentang tantangan ini.”
Sia-sialah kedatangan Tari ke Brawijaya. Yang ada, Angga malah semakin terluka dan semakin besar tekadnya untuk melaksanakan balap motor tersebut.
*
Seorang ibu memiliki insting yang begitu kuat atas anak-anaknya. Sekecil apapun perubahan sikap anaknya, seorang ibu pasti akan menyadarinya.
Mama dari kedua kembar menyadari, anak-anaknya saat ini sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Keduanya seperti saling menghindar
satu sama lain. Apalagi, beberapa minggu terakhir ini Ari jarang tidur di rumahnya. Juga berbagai keanehan lainnya.
Jika Ari ada di rumah, maka Ata tidak akan pernah terlihat di rumah. Sebaliknya, jika Ata sedang di rumah, Ari lebih memilih untuk langsung berpamitan pergi ke tempat lain. Mama sampai pusing dengan keanehan sikap kedua mataharinya itu.
“Mama jangan khawatir,” ucap Ari pada suatu ketika, saat ia coba mengorek keterangan. “Kami baik-baik aja, kok.”
“Benar, Ari sama Ata baik-baik aja? Nggak lagi berantem, kan?” pertanyaan cemas dari mamanya membuat Ari tertawa geli.
“Kami kan bukan anak SD lagi, Ma. Yang kalo berantem trus ngambek lamaaa banget. Yah... Biasa deh, Ma. Persoalan lelaki,” Ari menjawab dengan memasang mimik muka selucu mungkin, mencoba menghilangkan kegundahan hati sang mama.
Ari perlu menenangkan hatinya, demi menghadapi jadwal balapan dengan Angga yang semakin dekat.
Dan, menenangkan hatinya berarti juga menenangkan hati sang mama, agar menghilangkan kecurigaan pada sikap anak-anaknya yang memang sedang dirundung permasalahan serius.
*
Kantin kelas dua belas. Ata duduk sendirian disana, dengan sebelah tangan memegang rokok. Sudah sangat lama sejak Ata memutuskan untuk tidak merokok. Namun, kejadian akhir-akhir ini membuatnya kembali memasok tubuhnya dengan nikotin.
Kata-kata Gita saat itu selalu ia pikirkan, hingga kini. Kata-kata yang menohoknya dengan keras, namun mati-matian ia lakukan penyangkalan dan pembenaran. Ingin sekali rasanya Ata berteriak, Gita salah!
Apa semua orang selalu hanya melihat Ata sebagai orang yang bersalah? Apa nggak ada yang bisa melihat kalo dirinya juga hancur?
Miris. Bahkan setelah segala sabotase, konspirasi dan skenario yang telah ia susun dengan begitu rapi dan sempurna umtuk menjatuhkan kembarannya itu... kini kembali Ari yang menjadi pemenangnya. Ari yang baik. Ari yang menderita. Lagi-lagi… Ari!
Ata tidak pernah – sekalipun tidak pernah – mendapatkan sahabat seperti Ridho. Yang sangat memerhatikan detail terkecil dari sahabatnya. Yang begitu setia, yang mengobservasi dengan teliti, yang merengkuhnya saat jatuh. Tidak. Kesibukannya menjaga Ari membuatnya tidak sempat memikirkan hal-hal remeh seperti hubungan pertemanan. Bahkan hingga kepindahannya ke Malang saat SMA. Keberadaan Ridho disampingnya membawa secercah harapan untuknya. Bahwa ternyata Ata bisa memiliki teman yang begitu setia. Namun ketika kenyataan terungkap bahwa ternyata Ridho hanya mata-mata, bagaimana ia tidak murka? Karma… benar-benar memukulnya tepat di wajah.
Ata tidak pernah bermaksud menghancurkan segalanya. Target Ata jelas, hanya Ari! Bahkan Tari pun, sebelum ia memulai ini semua, sudah ia peringatkan. Namun gadis itu memilih maju, memilih pasang badan untuk melawan dan melindungi. Ata sudah pernah memperingatkan Tari.
Makanya Ata tidak pernah sekalipun melarang Tari berjuang bersama Ari, sebenarnya agar... ia sendiri bisa memperlunak sikapnya. Agar apa yang ia lakukan masih masuk dalam batas kewajaran.
Sewajar-wajarnya, segini saja sudah membuat semua pihak tersakiti. Dan dikira mereka semua, dirinya tidak ikut tersakiti?
“Kak Ata...” Gita menyapanya pelan.
Kedatangan Gita memaksa Ata untuk mengendurkan ketegangan di wajahnya. Kepada gadis yang beberapa hari ini membayangi langkahnya, kepada gadis yang tanpa rasa takut sedikitpun berada disampingnya, kepada gadis yang mati-matian berusaha memahami tanpa menghakimi… ia menaruh beribu hormat. Karena hanya gadis ini yang tanpa kenal lelah tetap bertahan menghadapi dirinya dan segala ketidakjelasan perasaannya. Dan dalam diri gadis ini pula dilihatnya sebuah harapan, meski Ata sama sekali tidak berani berharap.
Gita menepuk bahu Ata pelan sebelum ia mengambil tempat duduk di samping Ata. Ata membenarkan posisi duduknya, memberikan tempat yang lapang bagi Gita untuk duduk.
Gita memilin rambutnya, khas Gita menunjukkan kegelisahannya. Ata hanya menatap Gita tanpa melakukan apapun. Beberapa minggu bersama gadis ini ia belajar bahwa gadis ini sangat pemalu dan tidak terbiasa mengungkapkan apa yang dipikirannya secara lugas. Beberapa minggu bersama gadis ini, dia belajar untuk bersabar menunggu Gita menyusun kata-katanya terlebih dahulu sebelum berbicara. Karena kalau Ata main menyela begitu saja, Gita langsung menelan segala kata-katanya, tidak jadi berbicara.
Setelah menarik napas panjang, seakan mengumpulkan keberaniannya, Gita membuka mulutnya,“Balapan Sabtu nanti, apa Kakak –“
“Gue datang,” jawabnya lugas. “Pasti.”
Gita menggigit bibir bagian bawahnya. Ata salah paham. Bukan itu maksud pertanyaan Gita. Apa yang ia maksudkan adalah...
“Nantinya... Kakak ada dimana?”
Dimana? Pertanyaan itu yang sampai sekarang belum mampu Ata jawab. Kesal, ditekannya puntung rokok kuat-kuat ke meja kantin.
*
Setelah mengiyakan tantangan Angga, Ari segera bersiap diri sebaik mungkin tanpa membuang-buang waktu. Harus sebaik mungkin, karena ia tidak mau ditumbangkan lagi. Harga dirinya tidak mengizinkan. Karenanya, disinilah Ari. Berdiri di sebuah bengkel milik teman lamanya, Raka, untuk memeriksakan keadaan motornya.
“Gimana, Ka?”
“Oke, motor lo dalam kondisi prima. Siap untuk meluncur.”
“Yakin?”
“Weits, lo masih ngeraguin keahlian gue?”
Suara Raka yang terdengar tersinggung membuat Ari tertawa geli. “Bercandaaaa. Thanks, ya.”
Raka melap tangannya yang berlumuran oli, sebelum kemudian mengambil duduk di samping Ari. Sudah mengenal Ari sejak kecil, sekali melirik pun Raka sudah tahu bahwa ada sesuatu yang salah dan berbeda. Apalagi ditambah rona wajah Ari yang terlihat lebih kelam, tubuhnya pun lebih kurus daripada biasanya.
“Ada masalah, Bro?”
Ari tersenyum, jenis senyum yang dipaksakan.
“Lusa... Temenin gue, ya? Jaga-jaga kalo motor gue kenapa-napa...”
“Emangnya ada apa?” Tanya Raka heran. Ari hanya menjawab dengan rangkulan yang terasa dingin.
*
Besok adalah hari dimana Ari akan menyambut tantangan dari Angga. Tari sudah menyiapkan hati sejak jauh-jauh hari. Tentang kejadian apalagi yang akan mereka jumpai di depan sana, Tari sudah menyerahkan semuanya pada Yang Maha Menentukan.
Hanya saja, hati Tari tidak berhenti merasa gusar. Makanya malam ini, Tari memutuskan untuk curhat dengan mamanya.
Mama sangat mengerti kecemasan hati Tari. Setelah dituntunnya Ari menuju jalan pulang, kini anaknya harus membantu Ari untuk memecahkan serangkaian masalah rumit lainnya. Mama merasa iba pada Ari. Lebih iba lagi pada takdir yang harus dipikul oleh Jingga Matahari-nya, yang menjadi medium bagi banyak hati yang terluka itu. Bahkan harus ikut terluka lebih dalam, seiring dengan proses penyembuhan yang perlahan tapi pasti mulai menampakkan khasiatnya.
Apa yang bisa mama lakukan sekarang hanyalah menenangkan hati anaknya. Karena, jika hati Tari sendiri tidak tenang, luka-luka baru bisa saja tercipta.
*
Hari penentuan!
Hari ini, sengaja Ari datang ke rumah mamanya pagi-pagi. Manja minta dibuatkan sarapan. Manja minta disuapin. Berkali-kali merangkul lengan ibunya, seperti yang sering ia lakukan saat masih kecil.
Air muka Ari terlihat sangat tenang. Pada wajahnya tidak terlihat beban sedikitpun, malah senyum sumringah tak pernah lepas dari wajahnya.
Tidak, Ari bertekad tidak akan merusak moodnya hari ini, setidaknya di depan Mama.
Jarum jam menunjukkan pukul lima sore. Masih terlalu dini, memang. Tapi Ari butuh persiapan lain selain persiapan mental. Ia harus memahami medan perangnya nanti. Belum lagi berkonsultasi dengan Raka, sekaligus melakukan pengecekan terakhir atas kesehatan motornya.
Karena Ari sudah bertekad. Apapun alasannya, hari ini ia akan tetap maju dengan gagah. Kalah, apalagi mengalah, tidak ada dalam tujuan hidupnya kali ini. Apalagi mengalah pada orang yang menaruh amarah padanya tanpa alasan yang jelas.
“Ma...” Ari menyapa pelan mamanya yang sedang asyik merajut. Seketika mama menolehkan kepalanya.
“Ari mau pamit.”
“Lho... Kamu mau kemana?” tanya mama heran. Ari menjawab dengan senyum tenang.
“Ari mau main, Ma. Biasa, anak muda.”
Mama ikut tersenyum. Namun, hatinya merasa gusar. Apa ini? Kegusaran yang tak terpahami.
Ari mengecup punggung tangan mamanya dengan khidmat, dan lama. Menaruhkan harapan serta doa disana, berharap kali ini Tuhan tidak mengajaknya bermain lagi.
“Doain Ari ya, Ma. Semoga mainnya sukses, gitu,” Ari tertawa geli. “Dah, Mama...”
*
Ata menyaksikannya dari celah pintu kamarnya. Ari sudah pergi.
Sedang dirinya? Sampai saat ini belum mengambil keputusan.
Ada dimana? Di posisi mana kali ini lo berdiri?
Mendalangi kejadian-kejadian yang membuat kembarannya itu jatuh dan terpuruk sama sekali tidak membuat perasaannya merasa puas. Membalas sakit hatinya yang berakar ternyata tidak meringankan hatinya. Malah, kejadian demi kejadian membuatnya menorehkan luka yang baru, membuat hatinya makin tersayat.
Pada setiap kejatuhan dan keterpurukan yang Ari dapatkan, Ata menemukan hatinya serasa diremuk. Pada setiap luka yang ditorehkan
pada kembarannya, mata pisaunya mengiris hatinya jauh lebih tajam. Pada setiap hati yang ia hancurkan, serasa dadanya dihunus pedang.
Perang ini juga menyakitinya. Perang ini… perang yang tidak dapat ia menangkan. Karena yang dihadapi adalah orang yang sembilan bulan telah berbagi rahim sang ibu dengannya. Perang ini adalah perang yang tidak dapat ia menangkan. Karena yang dihadapinya adalah cermin!
Namun mengingat sakit hati itu… luka itu… jalan terjal yang harus dihadapi… Ata jadi ragu.
Ada dimana? Posisi mana kali ini lo berdiri?
Pertanyaan itu terngiang-ngiang di otaknya, membuatnya sakit kepala. Gusar, diambilnya ponselnya dan dihubunginya satu nomor.
“Git?” sapanya serak. “Kita pergi bareng, ya. Lo siap-siap. Gue otewe ke rumah lo.”
*
Ruang tamu rumah Tari beralih fungsi menjadi tempat transit. Oji, yang sudah lama tidak berkumpul Ridho plus dua gadis yang bisa ia goda menyambut pertemuan dengan sangat bersemangat. Atmosfernya memang panas dan tegang. Namun Oji berprinsip, selagi bersama, gunakan waktu sebaik mungkin untuk quality time!
Tapi harapan hanya harapan. Asumsi Oji itu, kalau tidak bisa dibilang bodoh, sangat berlebihan. Bahkan pemakaman lebih ramai daripada suasana di ruang tamu rumah Tari sekarang. Tidak ada yang berbicara, semuanya hanya menunjukkan raut wajah tegang – Tari, Fio dan Ridho. Hanya Oji yang berusaha rileks, berusaha melucu... Tapi gagal total.
Percuma.
Ketiga orang di hadapannya sedang menjelma menjadi arca batu. Hanya diam memandangi satu titik dengan wajah datar dan pucat. Padahal, apa yang mereka pikirkan sama dengan apa yang sedang Oji pikirkan.
“Udahlah...” ujar Oji pada akhirnya seraya bangkit dari sofa ruang tamu rumah Tari. “Bermuram durja kayak gini nggak bakal menghasilkan apa-apa. Justru kita harus rileks, kita harus semangat, supaya Ari ntar bawa motornya konsen. Kalo muka kalian semua kayak zombie gitu, kalian pikir itu bisa bikin Ari menang tanpa tergores, apa?!”
Masuk akal. Fio yang pertama kali merespon kalimat Oji tersebut.
“Bener, Tar. Kita yang harusnya bersemangat! Kita yang harusnya kuat! Demi Kak Ari!”
Demi Kak Ari.... Kalimat itu hanya menggaung di relung hati Tari.
*
Arena 21, pukul 00.45.
Angga sudah bertengger manis di motornya bersama Bram. Di sebelahnya, Ari sedang mengamati Raka yang sekali lagi mengecek motor hitam milik Ari.
“Oli udah diganti. Mesin oke. Rem pakem. Jari-jari oke. Ban prima. Motor lo udah siap tempur,” ujar Raka sekali lagi. Melihat raut wajah suporter yang kaku, Raka dapat menebak bahwa ini bukanlah balapan biasa.
Suporter yang dimaksud oleh Raka adalah... siapa lagi kalo bukan Tari, Fio, Ridho dan Oji. Fio hanya berdiri di samping Tari seraya merangkul sahabatnya itu, takut tiba-tiba Tari pingsan karena kondisi tubuhnya yang masih lemah. Sementara Ridho dan Oji sedang galau,
hanya mondar mandir antara tempat Tari berdiri dan Ari. Ingin mendekati Ari, namun takut cowok itu kalap atau menjadi tidak fokus.
Akhirnya, beberapa menit sebelum pukul satu dini hari, dua orang lagi datang ke Arena 21.
Ata dan Gita.
Senyum sinis Angga langsung tercetak lebar, sementara Bram hanya menatap keduanya dengan muka datar. Namun, baik Ata maupun Gita tidak mengambil posisi di dekat Ari atau juga di dekat Angga. Keduanya memilih netral.
“Akhirnya lo datang juga, Ta,” sapa Angga sok akrab. “Bentar lagi permainannya dimulai. Lo datang tepat waktu.”
Ata tidak menanggapi pentolan Brawijaya tersebut. Dilihatnya Angga melirik Bram yang sedang mengecek motor kedua “kontestan” dengan lirikan kemenangan. Ada firasat buruk yang menggerayap, namun tidak ia hiraukan. Ini efek tegang. Begitu ia menghibur dirinya sendiri. Ditariknya Gita agar lebih merapat untuk dipeluk, sekadar menenangkan kegundahan yang tiba-tiba muncul.
“Sebelum kita mulai, Ri... Ada yang harus gue sampein.”
Ari menatap Angga seraya memicingkan mata. Begitupun dengan Ata. Skenario ini… sama sekali tidak terduga. Apakah Angga ingin membuat pidato intimidasi? Apa ini adalah bagian dari rencana?
“Gue mau minta maaf.”
Apa yang keluar dari mulut Angga tak ayal membuat Ari terheran-heran. Angga, minta maaf? Untuk apa?
“Gue minta maaf karna selama ini selalu menyerang lo tanpa alesan. Tapi sebenarnya... justru sangat beralasan.” Angga menggenggam erat stir motornya untuk menahan emosi. “Waktu kita
SMP dulu, Ri. Lo pernah liat adek kelas kita yang kakinya pincang? Pernah?”
Ari menggeleng ragu-ragu. Sedangkan Ata malah menegang, tangannya mencengkram bahu Gita erat. Angga melanjutkan ceritanya.
“Gadis itu... Namanya Kirana. Ata pasti tau siapa dia,” Angga menyunggingkan seringai sinis. “Gadis itu sekarang di luar negeri. Tau alesannya kenapa?”
Pertanyaan itu tidak lagi ditujukan pada satu orang, namun pada Ari dan Ata sekaligus. Seketika Ata membeku di tempat.
“Gadis itu... ditolak cintanya sama elo, Matahari Senja!”
Ari, yang merasa sama sekali tidak tahu tentang hal tersebut langsung membantah, “Bentar, gue nggak ngerasa –“
“Emang nggak!” Potong Angga kasar. “Lo emang nggak pernah secara langsung menolaknya. Tapi kembaran lo itu... DIA NGEROBEK SURAT YANG ADEK GUE BIKIN KHUSUS BUAT ELO!! Ya, Kirana itu adek gue, asal kalian semua tau!!”
Bagai petir yang menyambar di tengah sunyinya arena balapan tersebut. Ata terduduk sempurna di tanah. Sementara Ari... masih berusaha mencerna informasi ini. Ditatapnya Angga dengan pandangan tidak mengerti.
“Asal lo tau, Ri,” kali ini suara Angga melengking tak terkendali. “Kirana suka banget sama lo. Bahkan sampe taraf memuja! Cuma karena lo pernah nolongin dia waktu SMP. Tapi kembaran lo itu, yang waktu SMP selalu nguntit kemanapun lo pergi, bikin adek gue jadi patah hati!! Karena Ata, yang dikira adek gue adalah elo, ngerobek surat yang Kirana kasih tanpa sekalipun dibaca isinya! Tanpa penjelasan! Tanpa klarifikasi!”
Satu fakta lain yang membuat Ari akhirnya ikut tersungkur. Ata? Mengikuti dia? Dipandanginya wajah pias saudara kembarnya, yang kini telah didekap oleh sepupunya Angga. Shock!
Fakta bahwa Kirana adalah adik dari orang yang selama ini berkomplot dengannya untuk menggulingkan Ari benar-benar membuat otaknya kosong. Pantas saja! Pantas saja Angga jadi berubah setelah ia bercerita tentang si Gadis Pincang! Ata memandangi Gita dengan wajah pucat.
“Lo... udah tau?” Gita hanya mengangguk tanpa suara. Semakin membuat Ata lemas! “Dan lo... nggak ngasih tau gue?”
Maaf, Kak... Bahkan untuk menyuarakan kata itu saja, Gita sudah tidak sanggup. Ia speechless. Tega sekali sepupunya itu membocorkan fakta ini saat sebelum mereka bertanding. Untuk apa?!
Dengan mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, Ari berjalan pelan menuju Ata. Dengan mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, Ari mengajukan pertanyaan yang paling ia ingin dengar langsung dari mulut Ata.
“Bener, waktu kita SMP, lo... Lo masih...?”
Ari tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Namun, anggukan pelan dari Ata justru menjawab segalanya. Mendadak hati Ari terasa mencelos.
Ternyata benar. Ternyata selama ini Ari tidak berhalusinasi. Ternyata rumor yang Ari dengar juga benar.
Saat SMP dulu, Ari sering mendapat laporan tentang kemunculan dirinya di berbagai tempat, kebanyakan tempat musuh. Padahal, Ari tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di daerah lawan kecuali memang keadaannya sangat mendesak. Ternyata... jawabannya baru tersaji bertahun-tahun kemudian!
“Udah, cukup klarifikasinya!!” Angga kembali bersuara dengan lantang. “Sebenernya gue nggak terlalu merasa bersalah ke elo, karna emang lo sumber masalahnya, dan kembaran lo itu yang meledakkannya! Gue yakin, kalian pasti akrab dengan yang namanya rasa sakit. Balas dendam atas tersakitinya orang yang kalian sayangi. Saudara kalian. Well...”
Angga menstarter motornya.
“Tolong, Ri. Sebagai orang yang pernah sangat dicintai oleh adek gue, tolong penuhi keinginan gue supaya kelakuan Kakak kembar lo itu... termaafkan!”
Ata langsung bangkit menghampiri Angga, meski jalannya agak terhuyung. Fakta ini benar-benar mengguncangnya.
“Ga! Lo jangan seenaknya aja! Ini masalah pribadi gue sama elo, jangan bawa-bawa Ari!”
Angga tertawa getir. ”An eye for an eye, Ta! Lo sakitin adek gue… gue bales ke adek lo! Impas, kan?!”
Ridho, yang sejak tadi hanya terdiam saja melihat percakapan ketiga orang itu, tiba-tiba merasa ikut terbakar hatinya dan ingin angkat bicara. Mereka juga harus memahami bagaimana perasaan Ata saat menyakiti Kirana dua tahun silam. Karena disana, Ata bukan hanya merobek hati Kirana, namun juga hatinya sendiri!
“Tapi sebenernya Ata –“
Ucapan Ridho itu dipotong Ata dengan isyarat tangan yang menyuruh Ridho untuk tutup mulut. Ata memang salah dan Ridho tidak perlu mengajukan pledoi untuknya. Dengan badan yang dipaksa berdiri tegak dan wajah yang dipaksa untuk tenang, ia menghampiri Ari.
“Siniin kontak lo.”
Ari menggeleng, menggenggam erat kontak motornya, mengisyaratkan jangan harap gue bakal kasih dengan sukarela. Karena Ari sangat paham. Begitupun dengan semua – termasuk Ata yang sebenarnya tidak rela – yang mendengar permintaan Angga barusan.
Pada akhirnya, ini semua adalah urusan hati. Urusan bagaimana menyembuhkan hati dengan cara melukai hati yang lain. Dan hati yang terluka di depannya ini... menuntut dirinya langsung yang turun agar sakitnya segera hilang. Agar balas dendam ini segera berakhir.
Angga menuntut Ari, dan bukan Ata, yang menjalani pembalasan ini. Karena yang tersakiti adalah saudaranya, maka akan lebih menyenangkan jika kisah pembalasan ini dilakukan bersama-sama dengan saudara dari orang yang menyakiti hati Kirana. Bukannya impas?
Bram sudah siap melakukan pengecekan.
“Bisa kita mulai.”
Kata-kata itu keluar dari mulut Ari, yang entah sejak kapan sudah bersiap di motornya. Dirinya sudah siap. Bahkan lebih dari siap. Dipandangi satu persatu wajah orang-orang yang hadir mendukungnya. Ridho, Oji, Fio.... dan Tari. Tari yang sejak tadi hanya terdiam. Tari yang terlihat menggigil. Tari yang pucat. Tari yang pada wajahnya tidak menyiratkan apapun selain kehampaan. Pada wajah itu, Ari tersenyum. Senyum pertama sejak ia memutuskan untuk menyerah atas gadis itu.
Dan... pertandingan pun dimulai!
Kedua motor sport yang dikendarai oleh Ari dan Angga melaju kencang melintasi area balap yang awalnya hanya lurus, namun menjelang pertengahan lintasan terdapat banyak tikungan tajam.
Sejauh apapun motor-motor tersebut melaju, keduanya masih dalam jarak pandang.
Angga melaju rapat di sisi Ari. Keduanya terlihat sangat berkonsentrasi. Ari berusaha mendahului. Ditariknya gas motornya agar ia melesat lebih kencang. Sayang, perhitungannya kurang matang. Beberapa detik lagi Ari akan menemui tikungan yang tajam ke kanan. Sebelum semakin terlambat, ditekannya rem kuat-kuat.
Namun...
Tidak berfungsi!
Sementara Angga sudah tertinggal di belakangnya, Ari terus mencoba menekan remnya kuat-kuat. Nihil!
Sebelum ia sempat merutuki nasib, motornya telah membentur pagar pembatas yang menandakan tikungan. Bak kejadian di film action, motor yang dikendarai Ari terpental melayang sebelum akhirnya jatuh berdebum dan menyeret tanpa awak. Si pengendara yang terlempar beberapa meter, terjatuh di pinggir lapangan rumput dekat lintasan kemudian… menggelepar.
Demi melihat terpentalnya Ari dari motor, semuanya hanya bisa mematung. Dan yang bereaksi pertama... tentu saja Tari.
“KAK ARIIIIII!!!!”
Dengan kalap, Tari berlari ke tempat dimana Ari terjatuh. Tak peduli jaraknya sejauh apapun, tak peduli segala sumpah serapah yang keluar dari mulut Oji, ataupun tindakan pertama yang Ridho lakukan dengan mengambil sedan putihnya untuk mengangkut Ari.
Semuanya berlarian menghampiri Ari, yang saat dihampiri... Badannya bersimbah darah! Darah keluar dimana-mana. Mulut, hidung, telinga dan bagian tubuh Ari lainnya yang tergores. Matanya terpejam. Badannya menggelepar seperti ikan yang ditaruh di darat.
Raka dan Oji berteriak dan memaki entah siapa, untuk menahan tangis mereka yang akan tumpah. Ata hanya bisa mematung sementara Gita memeluknya erat. Ridho, tangannya memegang setir namun badannya berguncang hebat. Tari menangis histeris seraya memeluk badan yang bersimbah darah tersebut. Sama sekali ia tidak mau melepaskan pelukannya. Baru menurut ketika Fio – yang juga tergugu – membujuknya lembut untuk melepas peluknya agar Ari bisa diangkut di mobil Ridho.
Angga, yang telah memarkir motornya dari posisi yang tak jauh dari tempat mereka start, akhirnya tersenyum puas. Rasakan!!!
Rumah sakit. Disanalah saat ini Ata, Tari, Fio, Ridho dan Oji berada. Mereka bersebelahan, tanpa bicara sama sekali. Duduk dalam isakan, dan air mata yang tak henti mengucur. Mereka larut dalam pikiran mereka masing-masing yang meneriakkan hal yang sama : Ari!
Ridho melakukan komunikasi dengan Raka. Dari hasil penelusurannya, Raka mendapati bahwa rem motor Ari telah disabotase! Dan Raka menjadi sangat tersinggung akan hal ini, karena saat ia mengecek untuk terakhir kalinya, motor hitam itu berada dalam keadaan sempurna.
Ridho menggeram. Dasar Angga sialan!! Ceritanya tadi, selain menjadi ajang curhat, pastilah menjadi ajang untuk menyabotase motor Ari. Pantas saja Bram terlihat sok melakukan pengecekan akhir nggak penting.
“AAAARRRGGGHHH!!!”
Ridho merasa sangat bodoh karena tidak peka terhadap hal tersebut. Ingin rasanya ia mengejar kedua pentolan Brawijaya tersebut, kalau saja tidak dilihatnya kedua orang tua Ari dan Ata yang berlari menghampiri mereka.
“Ariiii! Ari dimanaaa?!” Mama berteriak histeris. Papanya Ari merangkul mantan istrinya tersebut, mencoba menenangkan. Tak lama, dokter keluar dari ruang ICU.
“Luka di tubuhnya berhasil ditangani. Hanya saja... Ari mengalami pendarahan yang cukup serius di organ tubuh bagian dalamnya. Kita harus secepatnya melakukan operasi sebelum terlambat.”
Hanya itu. Kata-kata yang sama sekali tidak menenangkan, membuat semua yang mendengarnya seketika lemas. Tubuh Mama langsung terkulai dalam pelukan Papa. Wanita itu kehilangan kesadarannya.
Tuhan.... bantu Kak Ari untuk melewati ini semua...
*
“KELAKUAN KALIAN ITU BISA BIKIN ANAK ORANG MATI!!”
Entah sudah berapa kali Gita berteriak histeris pada dua cowok yang tidak sedikitpun menunjukkan rasa bersalah. Keduanya malah menampilkan seringai puas, seakan-akan baru pulang dari Dufan dan berhasil mencoba seluruh wahana yang tersedia tanpa harus mengantri. Angga malah membutakan hati dan telinganya.
“Apa yang kalian lakuin bukan pembalasan dendam. Bukan...” Gita mendesis marah. “Ini tuh kriminal!! Lo semua bisa dipenjara karna hal ini!"
Gita memalingkan wajahnya untuk langsung menatap Angga. “Lo pikir Kirana bakal seneng dengan pembalasan yang seperti ini?! Yang ada malah dia bakal benci sama lo, SELAMANYA!”
“CUKUP!!!”
Disingungnya nama Kirana berhasil membuat emosi yang sengaja ia tahan agar tidak kalap pada saudaranya sendiri, akhirnya bangkit. Bahkan, sampai hati ia menampar sepupu kesayangannya itu, dua kali!
“Jangan coba-coba nasehatin gue lagi!”
Gita terkesiap, sorot matanya nampak terluka. Bukan karena tamparan Angga, tapi karena kecewa. Sama sekali tidak menyangka bahwa sepupu kesayanganya, panutannya sejak kecil, telah berubah menjadi monster pembunuh akibat rasa dendam yang ia pendam selama bertahun-tahun.
“Baik. Nggak akan. Ini yang terakhir kalinya.”
Gita berjalan lemah meninggalkan Angga dan Bram. Saat itulah baru Bram bersuara, menanyakan tujuan Gita.
“Ke tempat dimana ada hati yang lebih manusiawi serta lebih terbuka menerima pertolongan.”
*
Di pojok ruangan, di tempat yang terpisah dari teman-temannya. Disitulah Ata berada. Ata sedang mencerna seluruh kejadian yang terjadi hari ini dengan hati yang luar biasa sakitnya sehingga ia berpikir bisa mati karenanya. Ia sengaja tidak mendekat. Ia tidak berani mendekat. Bukan, ia bukannya takut dengan kecaman seluruh orang. Bahkan kalau itu membantu, ingin sekali ia dihajar – siapa saja boleh, dengan sangat brutal, agar ia merasakan sakit yang sama. Tapi bagaimanapun hebatnya ia dihajar… ia tahu, tidak ada yang bisa menghilangkan perasaan berdosa ini darinya.
Apa yang sudah ia lakukan? Menyetujui adiknya melakukan balapan dengan Angga, yang ternyata menyimpan dendam bukan kepada Ari secara khusus, namun kepada dirinya?
Apa yang telah Ata perbuat? Menggulingkan Ari dari tahtanya di SMA Airlangga, merebut semua yang Ari miliki disana, namun... Ari tetap mengisi tempatnya dalam pembalasan dendam yang Angga rencanakan?
Kakak macam apa? Saudara macam apa? Yang tega menyeret adiknya ke dalam permasalahan yang bahkan menyangkut nyawa seperti ini!
Ata menyesal. Lebih dari itu, ia... Ia merasa kotor. Baru saat ini ia benar-benar menyadari kesalahannya.
Ari saja bisa dengan ikhlas melupakan kesalahan dan kekejaman yang Ata lakukan terhadapnya beberapa bulan terakhir ini. Ari bahkan rela meninggalkan semuanya demi Ata. Ari bahkan tidak menyebut-nyebut semuanya! Ia lakukan itu dalam diam, tanpa pernah diungkit ke permukaan. Sedangkan Ata? Ya, ia pamrih. Ya, ia tidak ikhlas. Ya, ia menjalani semuanya dengan perasaan tertekan. Kenapa?
Kali ini, kejatuhan yang dialami oleh Ari... menjatuhkannya juga dengan sempurna.
Tuhan... jika masih pantas aku meminta, tolong... Tolong selamatkan nyawa orang yang telah merelakan segalanya demi keserakahanku...
*
Sudah seminggu. Seminggu yang meletihkan. Seminggu yang penuh dengan perasaan harap-harap cemas. Seminggu menunggu sosok matahari yang saat ini terbaring di rumah sakit untuk bersinar lagi.
Seminggu yang menyesakkan. Ari masih saja tertidur, koma, membuat perasaan kalut tidak dapat dihilangkan dari hati tiap orang yang menyayanginya.
Mama, yang setiap hari, setiap detik, berada di samping Ari. Hampir tak pernah melepas tangan anak bungsunya itu, seakan menyalurkan kekuatannya melalui genggaman tangan. Mama, setelah histerianya hari pertama, tidak pernah lagi menangis. Beliau Nampak sangat pasrah. Duduk di samping Ari, terkadang di sebelah telinganya, beliau melafadzkan doa yang tidak putus-putus.
Papa, yang melepaskan segala urusan kantor dan memutuskan untuk selalu berada di rumah sakit. Berdua dengan mantan istrinya, ia menunggui putranya yang sedang terbaring koma. Papa tidak berbicara apa-apa, tidak melakukan apa-apa. Hanya saja, setiap malam, ketika semua orang sudah terlelap tidur, isaknya mengalun pelan.
Ridho dan Oji, yang ikut berjaga di rumah sakit, kecuali saat-saat mereka harus ke sekolah atau bimbel. Mereka duduk di sebelah Ari, bercerita tentang kejadian di sekolah dan kegiatan mereka hari itu, bercerita tentang berita apa saja, dari mana saja, seolah-olah sahabatnya itu ikut bergabung dengan kehebohan mereka. Berusaha agar segalanya nampak normal meski mata mereka tidak dapat menyembunyikan rasa pilu.
Fio mungkin posisinya lebih tepat disebut sebagai penjaga Tari dibanding menunggui Ari. Gadis itu selalu menjadi penopang teman sebangkunya di sekolah, karena dilihatnya kondisi Tari yang sangat tidak stabil. Walau begitu, Fio tetap melantunkan doa-doa yang tulus di telinga Ari setiap ia memasuki ruangan perawatan.
Tari, yang nyaris tidak pernah meninggalkan rumah sakit – bahkan untuk sekolahpun tidak – dan menolak untuk meninggalkan ruang perawatan Ari meski tidak masuk ke dalam sama sekali. Aneh, memang. Tapi Tari sama sekali tidak menangis. Hanya saja, ia harus diseret untuk istirahat dan harus disuap Fio agar mau makan dan
minum. Keadaannya jauh lebih memprihatinkan dibanding menjadi manusia slang air tempo hari.
Namun, diantara semua keadaan, tidak ada yang dapat menandingi kegetiran Ata. Ata memandangi Ari yang pada tubuhnya terdapat banyak selang dan kabel yang menempel. Pada tubuh yang diam itu, Ata... mengakui kesalahannya. Selalu. Setiap hari. Pertahanannya runtuh.
“Maafin gue...” Selalu itu yang dia ucapkan. “Lo selalu jadi adik yang sempurna. Lo selalu jadi anak yang bersikap manis. Kalo sampe lo kenapa-napa sekarang, itu... sudah dapat dipastikan kalo itu salah gue...”
Ari tetap tidak bereaksi. Ata paham. Mungkin Ari butuh waktu untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya lebih lama lagi. Karena dalam komanya ini, Ata melihat wajah Ari sangat tenang, damai, tidak tertekan seperti sejak kedatangannya. Wajah itu... seperti tidak memiliki beban.
Ata teringat percakapannya dengan Papanya kemarin, saat Ari akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan.
“Sudah puas, Nak?” Papa berujar pelan. Nada kecewa tidak dapat dihilangkan dari suaranya. “Sekarang, kembaranmu sedang terkapar, berjuang mempertahankan apa yang masih tersisa dalam dirinya. Nyawa. Yang sewaktu-waktu nggak bisa kita ketahui, apakah nyawa itu dapat bertahan atau juga pergi. Hanya, saja... Papa berharap agar nyawa itu tetap tinggal disana. Seperti sahabat-sahabatnya yang sempat kamu jauhkan dari Ari, yang akhirnya kembali. Papa harap kamu juga menemukan jalan untuk hatimu kembali seperti dulu, Nak. Ata yang jagoan. Ata yang melindungi dan menyayangi Ari. Ata... anak kebanggaan Papa dan Mama...”
Ata dapat mengerti kekecewaan Papa. Juga tatapan Mama padanya. Walau Mama tidak mengatakan apa-apa, namun Ata mengetahui artinya. Karena dulu, sebelum mereka pindah ke Malang, Mama pernah mengatakannya.
“Ata dan Ari... dua-duanya anak kebanggaan Mama. Sampai kapanpun, Mama nggak akan pernah bisa memilih kalian. Kasih sayang Mama untuk kalian... seutuhnya.”
Ata sudah pernah mendengarnya, namun kenapa ia masih saja merasa wajib untuk mengisi tempat Ari, yang berujung pada ketidakikhlasan hatinya dalam melakoni peran sebagai seorang anak?
“Maafin gue....”
Ata kembali terisak pilu.
*
Seorang ibu adalah penjaga paling setia. Yang ia serahkan bukan hanya tenaganya, namun juga kesungguhan dalam berdoa. Berharap agar anaknya sembuh kembali. Berharap agar anaknya dapat berbahagia kembali. Berharap semua kepedihan yang menimpa keluarganya, saat ini... benar-benar usai.
Mama megengangi tangan Ari, mengusapnya dengan saputangan basah yang sudah disiapkan untuk membersihkan tubuh anaknya. Hatinya terasa sakit saat melihat ketidakberdayaan Ari ini. Sungguh, kalau memang bisa... Ingin rasanya ia menggantikan posisi Ari. Namun, mana mungkin hal seperti itu terjadi...
“Ari... Cepat bangun ya, Sayang. Ari nggak kangen sama Mama? Ata? Ata sekarang selalu menunggui Ari di rumah sakit, Nak...”
Seperti itu. Mama sering melakukan monolog, untuk ‘memanggil’ Ari kembali.
Mungkin... Monolog kali ini membuahkan hasil. Jari yang sedang beliau usap saat ini... Jari itu bergerak lemah! Cepat-cepat mama mengedarkan pandangannya pada wajah Ari.
Mata itu... sedang berusaha membuka.
“ARII?!” Pekik Mama histeris. “Ariii... Kamu sadar, Nak?!”
Pekikan sang mama yang begitu keras membuat Ata, Ridho, Oji dan Fio tersentak. Cepat-cepat mereka masuk ke dalam ruangan.
*
Angga tetap mengeraskan hatinya. Namun, tak urung ia penasaran. Seminggu lebih Ari terbaring di rumah sakit tanpa ada perkembangan yang berarti, begitu kata Gita setengah mengecamnya. Seminggu lebih juga Tari tetap setia di rumah sakit, namun tidak berani masuk ke dalam. Tidak berani melihat Ari yang ada tubuhnya ditempeli berbagai macam selang dan kabel. Ketika Angga menanyai kondisi gadis itu lebih detail lagi, Gita hanya mendesah lemah.
“Datang dan liat sendiri, kalo emang lo bener-bener peduli.”
Disinilah Angga sekarang. Memerhatikan Tari, walau hanya dari jauh. Melihat dengan jelas, apa yang sepupunya suruh untuk ia lihat sendiri.
Gadis yang saat ini sedang ia amati... tidak lagi terlihat seperti apa yang tersisa dari memorinya. Jingga Matahari yang ia kenal adalah gadis yang enerjik, pemberani, dan gampang tertawa. Sedangkan gadis yang ia lihat sekarang... Lebih mirip seperti mayat hidup. Bahkan matanya kosong, tidak menunjukkan cahaya apapun berkaitan dengan kehidupan.
“Tari, Kak Ari sadar!”
Pekikan Fio yang mengoncang-goncangkan tubuh Tari membuat Angga menegang.
Cowok itu... berhasil bertahan. Angga memanjatkan doa dalam hatinya dengan sungguh-sungguh. Mengharapkan kesembuhan rivalnya yang telah ia jatuhkan dengan cara curang. Kesembuhan yang... semoga saja bisa membuat gadis yang ia cintai kembali menjadi secerah matahari.
*
Ari mengerjapkan matanya lemah, berusaha beradaptasi dengan sinar dari luar matanya. Wajah pertama yang ia lihat adalah... Wajah Mama yang penuh dengan air mata. Ari berusaha tersenyum.
Wajah kedua yang ia lihat adalah wajah para sahabatnya, Ridho dan Oji. Keduanya berangkulan erat, menampilkan senyum sumringah serta puji-pujian terima kasih atas ‘kembali’nya Ari dari tidur panjangnya.
Wajah selanjutnya yang ia lihat adalah... Wajah yang serupa dengan dirinya. Ata.
Tanpa peringatan sebelumnya, Ata langsung melesat memeluk kembarannya itu. Ari tidak bisa balas memeluk. Tenaganya bahkan belum cukup kuat untuk tersenyum lebih lebar lagi.
Namun, Ari merasa ada yang kurang. Ada wajah yang belum ia lihat. Wajah milik...
“Tari mana?”
Suaranya yang pelan terdengar sangat jelas di telinga orang-orang yang berada di ruangan tersebut. Lantas, semuanya memandang pada satu titik: pintu masuk ruangan tempat Ari dirawat.
Disana, Tari berdiri goyah. Antara sadar tidak sadar, antara percaya tidak percaya. Ia takut semua ini hanya fatamorgana. Ia takut bahwa ia hanya membayangkan kesadaran Ari saja.
Ari merasa pilu. Gadisnya… sangat kacau. Dipanggilnya gadis itu dengan suara pelan. Gadis itu masih terpaku. Disamping gadis itu, Fio berbisik, membujuk Tari pelan untuk menghampiri Ari. Disana, tangan gadis itu gemetar seakan menahan gejolak di dadanya. Perlahan, gadis itu mendekati ranjang tempat Ari saat ini terbaring dan duduk disana, di tempat paling ujung.
Seakan paham, kini ruangan itu hanya diisi oleh mereka berdua, sementara yang lain dengan kesepakatan yang tak disuarakan, langsung berjalan meninggalkan mereka.
Keduanya butuh privasi, keduanya butuh penawar. Dan yang satu... jelas merupakan penawar bagi yang lain.
“Hei...”
Suara itu menyapa lemah, dengan tak lupa menyertakan sebentuk senyum. Tari masih tidak dapat bereaksi. Otaknya sedang benar-benar memastikan bahwa ini... Orang ini, sepenuhnya telah kembali.
Lebih dari sekedar kesadaran fisik.
“Lo nggak seneng... gue sadar?”
“Kesadaran seperti apa?” Akhirnya Tari mampu menyuarakannya. Ari paham. Diisyaratkannya Tari untuk merebahkan kepalanya di pundak cowok itu. Tari menurut.
“Lo pasti udah ngelewatin hari-hari yang sangat sulit.”
Itu pernyataan. Bukan pertanyaan. Tari menggeleng lemah, membantah. “Nggak... nggak sesulit yang Kak Ari lalui.”
Beberapa saat yang sunyi. Tangan Ari tetap bermain di puncak kepala gadis itu, mengelusnya lembut. Sebentuk kecil dari berbagai macam kebiasaan Ari yang sangat gadis itu rindukan.
“Apa kabar, Tar? Lo keliatan kurus.”
Tangis gadis itu akhirnya pecah. Perhatian itu... itulah yang dia inginkan. Itulah yang ia rindukan. Sebentuk perhatian kecil dari Ari!
“Lo selalu jahat kalo udah di rumah sakit, ya,” kata Tari sambil terisak, “Kenapa selalu tidur lama-lama, sih? Seneng liat orang kuatir?! Sebel!”
Demi untuk menenteramkan hati gadisnya, Ari kembali mengelus lembut kepala gadis itu.
“Maaf...”
“Selalu minta maaf!” tukas Tari keras. “Gue butuh tindakan nyata...”
“Iya, gue tau...” Ari memegang lembut dagu Tari, sehingga bisa dilihatnya wajah manis gadis itu dari dekat. “Nggak akan ada lagi kata menyerah. Nggak ada lagi yang meninggalkan, baik ikhlas maupun nggak ikhlas. Yang ada hanya menetap.”
Tari tersenyum lega. Memang itulah jawaban yang ia butuhkan. Menetap. Sebentuk senyum akhirnya tergambar di wajah Tari.
Sebentuk senyum menggemaskan itu... menggoda Ari untuk mengunci senyuman itu dengan bibirnya. Dikecupnya senyuman itu dengan lembut.
Kecupan kali ini... Bukan seperti sebelumnya. Kecupan kali ini seakan menyatukan perasaan untuk waktu yang tak terhingga. Simbol penyatuan hati yang... semoga saja abadi.
EPILOG
Tari gelisah, mondar mandir di ruang tamu, sesekali matanya melirik jam tangan. Gimana, sih! Tumben-tumbenan tuh orang telat! Rutuknya dalam hati. Ketika akhirnya didengar suara klakson mobil, Tari terlonjak. Dengan sekali lagi memastikan ikatan rambutnya sudah terlihat rapi, pin mataharinya sudah terpasang di cardigan oranye yang dipakainya, serta lipatan rok yang tidak salah jalur, Tari menyambar tas selempangnya dan pamit pada Mama. Mama hanya tersenyum, menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan anak gadisnya itu.
“Buruaaan!!”
Tari terpana, yang tadinya ingin langsung mengomel, tapi seketika semuanya teredam. Di hadapannya sekarang telah berdiri seorang cowok yang... baru disadarinya kalo cowok itu sangat tampan.
Matahari Senja.
Bagaimana mungkin Tari tidak pernah menyadari bahwa Ari ternyata sekeren ini? Yah... Pernah, sih. Saat pertama kali mereka bertemu. Itu juga sebelum drama mereka dimulai. Namun akhir-akhir ini, ketika posisinya sebagai perempuan satu-satunya yang bisa berada di sekitar Ari, yang bisa melakukan apapun, yang bisa melakukan tugasnya sebagai kekasih yang baik... Tari tidak pernah benar-benar memerhatikan penampilan Ari.
Ari menjentikkan jarinya di depan muka Tari. Gadis itu langsung terlonjak dan kembali memasang muka judesnya. Iya sih, ni orang emang cakep, bersih, tinggi. Sempurna, deh! Asal sikap seenaknya itu diilangin aja, sempurna banget, deh! Tari menggerutu dalam hati. Kesal karena hari ini Ari terlambat menjemputnya.
Dengan dorongan lembut dari kedua tangan Ari yang nongkrong di bahunya, Tari berjalan memasuki sedan hitam milik cowok itu, satu hal lagi yang membuatnya kesal di pagi ini. Pantesan telaaat!
“Udah... Jangan cemberut gitu, dong. Kan yang punya kepentingan gue. Kenapa jadi lo yang sewot?” ujar Ari menenangkan. Tari tetap melancarkan aksi bungkam, namun dengan kelegaan lain yang menyergapi hatinya.
Pada kesembuhan Ari yang datang bagai mukjizat, Tari merasa sangat bersyukur. Pada sikap seluruh warga SMA Airlangga – baik itu para siswa, para guru, para penjual makanan di kantin, sampai para satpam dan cleaning services – Tari juga sangat terharu karena semuanya memperlakukan Ari dengan sikap hangat. Termasuk... Ata.
Tari bersyukur. Segalanya kembali berjalan normal sebagaimana mestinya. Walau belum sempurna, walau butuh proses... Yang pasti, semuanya terpuaskan. Semuanya lega. Segala beban hati yang rasanya berat telah terangkat, membuat hati yang hitam menjadi putih. Dan keikhlasan, pelan namun pasti, menyelimuti tiap-tiap jiwa yang pernah tersesat.
“Iya, buruan jalan, yuk. Berdoa aja nggak kena macet!”
Ari tertawa geli. Digenggamnya tangan gadisnya itu dengan hati yang hangat. Penopangnya, yang selalu setia menuntunnya untuk kembali bersinar.
*
Pagi yang sangat cerah. Matahari memancarkan sinar keemasan yang hangat, langsung menerpa wajah Ata yang sedang berdiri di depan pintu gerbang Universitas Sagadharma pagi ini, memandangi gadis yang sedang mondar-mandir gelisah di dekatnya dengan cemas.
Ini hari kuliah perdananya! Bisa-bisa ia terlambat karena gadis ini keukeuh menunggu seseorang.
“Udahlah, Git… nanti juga ketemu di kampus, kan.”
Mata Gita melebar, seakan Ata menyuruhnya menelan jamu brotowali.
”Kita ini udah janjian, Kak Ataaa…”
Ata hanya bisa mengerucutkan bibirnya, menurut saja agar gadisnya tidak berubah menjadi hulk.
Gadisnya? Ata tersenyum. Dengan bangga, Ata sekarang dapat menyebut Gita sebagai gadisnya. Setelah beberapa waktu menjalin hubungan secara de facto, akhirnya Ata memutuskan untuk meresmikan hubungan dengan gadis yang telah menjadi lentera untuknya. Seperti Tari untuk Ari, begitulah arti Gita untuknya.
Hubungan itu jelas saja membuat Angga hampir terkena serangan jantung. Namun setelah Gita berbicara pada kakak sepupunya itu – yang Ata yakini bahwa Gita memainkan sifat manipulatifnya – akhirnya Angga mengeluarkan keputusan terserah lo aja.
Selama hubungan itu berlangsung, Ata mempelajari bahwa sebenarnya Gita ini sangat galak. Jenis pacar cerewet yang memperhatikan detil-detil tertentu. Jenis pacar yang langsung melemparkan tatapan membunuh pada lawan jenis yang ganjen. Namun Ata tidak mengeluh. Kecerewetan Gita adalah bentuk perhatian nyata dan berkat Gita yang over protective, tidak ada cewek seagresif Vero yang berani mendekatinya. Ata tidak mengeluh.
Bagaimana mungkin Ata akan mengeluh, jika ia mengingat bahwa gadis itulah yang telah membuat hatinya menemukan jalan pulang? Jika gadis itu, bersama-sama dengan Tari, selalu mengupayakan segala
macam bentuk perdamaian dan usaha untuk mendekatkan dirinya kembali dengan bayangannya, dengan cerminnya?
Ata tersenyum samar, ungkapan tulus rasa bersyukurnya atas kehadiran hal-hal baik dalam kehidupannya akhir-akhir ini.
Tak berapa lama kemudian, sebuah motor berhenti di depan mereka. Oji membuka kaca helmnya sembari nyengir untuk menyapa Ata dan Gita.
“Kak Oji nggak liat tuh anak dua?” Tanya Gita, tanpa membiarkan Oji mengucapkan salam terlebih dahulu.
Oji mengangkat bahu.
”Entahlah. Keberadaan mereka saat ini, siapa yang tahu? Mungkin saja mereka tertinggal di belakang. Mungkin saja mereka berhenti sejenak, menikmati pemandangan padatnya jalanan Jakarta sebagai suatu mahakarya indah. Entahlah. Saya berjalan terlebih dahulu, di tengah deru mobil, berdua bersama motor di samping saya ini. Bergerak menyongsong mentari pagi.”
Gita langsung mencubit lengan Oji sedangkan Ata tertawa terbahak-bahak mendengar Oji bersyair. Memang, semenjak diterima di jurusan Sastra Indonesia, Oji jadi gemar bersyair.
Tak butuh waktu lama untuk Oji pamit pergi akibat cubitan Gita memberikan efek yang sangat dahsyat. Hanya sepersekian detik, giliran sedan putih Ridho yang berhenti di depan Ata dan Gita. Ridho tidak turun, hanya membuka kaca jendela.
“Oji tadi bersyair lagi?” Tanya Ridho geli, yang dijawab dengan suara tawa milik Ata serta wajah merengut milik Gita. Sembari menggeleng seakan malu mempunyai teman seperti Oji, Ridho langsung pamit untuk pergi. Dilambaikannya KUHP yang sepanjang perjalanan menuju kampus selalu ia pangku.
“Astaga… itu mereka!” pekik Gita histeris. Tangannya menunjuk sepasang kekasih yang baru saja turun dari bus. Terdengar suara omelan dari gadis itu sedangkan muka si lelaki nampak pasrah dengan omelan ceweknya.
Gita dan Ata sama-sama menggeleng melihat pemandangan yang tersaji di hadapan mereka dan memutuskan untuk pura-pura tidak mendengar apapun. Lambaian tangan Gita pada mereka berdua membuat si cewek sejenak menghentikan omelannya, balas melambai dan berlari menghampiri Ata dan Gita.
Ari dan Tari berlari hingga sampai di tempat Ata dan Gita berdiri. Setelah mengatur napas, Tari lanjut mengomeli cowok yang tadi berlari bersamanya.
“Kan tadi udah dibilang jangan bawa mobil, pasti macet. Nggak percaya, sih!”
“Lho, kan udah gue bilang juga kalo motor gue masih di bengkel!”
“Kan tadi udah mau manggil ojeeek!”
“Ya ampun, Jingga Matahariiii. Emangnya gue mau ke pasar?!” Ari menjitak lembut kepala Tari. Gadisnya itu... terkadang idenya suka ngawur!
“Lho, mobil Kak Ari emang dimana?” Tanya Gita penasaran. Ari hanya menjawab dengan cuek.
“Gue tinggalin aja di pinggir jalan. Udah nelepon Raka, sih, buat ambil.”
Dasar orang kaya! Rutuk Tari kesal. Pandangan matanya kemudian menatap Ata, yang sedang tertawa geli melihat kejadian di depannya. Ari juga melihat sebentuk tawa itu, yang akhirnya turut menyumbang senyum di wajahnya.
Hari yang baru. Kehidupannya sebagai saudara yang saling menjaga dan melindungi... perlahan disongsongnya kehidupan itu. Memang tidak mudah pada awalnya menyatukan kembali hati yang telah usang. Perlu ada perbaikan disana-sini.
Namun, Ata dan Ari percaya... Lambat laun, keduanya akan kembali utuh seperti masa sepuluh tahun silam.
Seperti janji matahari di langit senja. Walaupun sempat menghilang beberapa saat, walaupun sempat membuat gelap sekeliling, namun kedatangannya untuk kembali menyinari bagian tergelap itu pasti. Sepasti kebahagiaan baru yang datang dalam kehidupan kedua matahari kembar tersebut.
Seraya melemparkan senyum perdamaian, Ata dan Ari berjalan memasuki gerbang kampus diiringi dengan gadisnya masing-masing, Gita dan Tari.
_ PRINCESS, FLOWER AND STORY_ TAMAT

Karya : Esti Kinasih

 

vhy_vhyy Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea